Oleh: A. Warits Rovi
di celah mulut gua ini, sunyi lahir jadi nabi, tujuh kelelawar di dinding batu, merumahkan dingin angin ketujuh—yang silir mendesir usai menyisir daunan Desa Payudan, dalam wangi bunga tembakau dan sanggul mayang; mempelai alamiah yang mengikat nikah di latar lembut pelaminan kemarau, di antara rajut renda langit kemilau, di latar bagau, di dekat sinau.
Potre Koneng, si petapa perempuan itu, menumis harum laru ke tubuhnya yang beku, dalam bulan-bulan sediam batu, ia memeluk waktu dengan kedua lengan yang kukuh dan mimbar dada yang teguh—kun, dalam dirinya nyala kandil semesta, bersumbu bisik fatihah. kun, dalam batinnya menganga tempayan kaca; segala pinta dalam tapa akan bermuara ke palung wadah—pelengkap lempung mawaddah.
lalu sunyi, angin silir kembali, seiiris melati di sayap dadali membawanya ke rahim mimpi—panjang beranjang kembang dan gema tembang. Kemudian Adi Poday datang sebagai utusan sepi, jadi kekasih sampai pagi, habis embun dicucup berahi, menetes pada kegaiban azali, mimpi jadi benih, jadi mani yang memusat ke ovarium suci, __kelak lahir bayi yang dicemburui matahari; bernama Jokotole yang gagah berani, penebas yang keji, penebus yang dinanti.
Ya, di rahim gua ini Jokotole mula dicipta, dalam sua maya yang nyata rasa dari sepasang pecinta—Potre Koneng-Adi Poday, seperti pecah rahasia perkawinan bulan dan malam yang melahirkan jutaan kunang-kunang. Jokotole lahir kepada masanya sendiri; tumbuh mewarisi raga dan jiwa gua, bertubuh baja, berjiwa permata—yang pertama menerbangkan Mega Remmeng ke langit Madura; si kuda bersayap yang sekali melompat melangkahi gumpalan kabut, membuka tali jirat cuaca di jantung udara, dan saat ia nenunggangi si kuda terbang itu, sekali pecut dilecut, pecahlah perahu terbang musuh yang ditunggang Dempo Abang—lebur jadi abu sejarah, dan di atasnya Jokotole taburkan bunga-bunga rekah.
Semua cerita itu terikat garis kuat ke mulut gua ini—gua yang berbicara kepada dirinya sendiri di dalam puisi ini.
Rumah Filzaibel, 2022