Pamrih

Oleh : Zainul Muttaqin

Masjid itu satu-satunya yang ada di kampung Lambicabi. Bangunan itu terlihat mewah, berlantai keramik, lampu-lampu terpasang di setiap sudutnya. Temboknya seputih susu, jendelanya bersegi empat dengan warna cat mengkilap. Dan diperkirakan masjid itu bisa menampung 300 orang jemaah.

Bagi Haji Zubaidi, keadaan masjid itu menyenangkan hatinya. Sejak masjid itu selesai dibangun, dia dipercaya untuk menjadi ketua takmir masjid. Kegembiraan Haji Zubaidi lantaran melihat gairah warga kampung untuk selalu menunaikan salat berjamaah. Hal ini, batin Haji Zubaidi sama artinya warga kampung Lambicabi betul-betul sebagai orang-orang yang taat beribadah.

Kegembiraan lain Haji Zubaidi adalah masjid itu dibangun atas sumbangan warga. Tak sepeser pun pembangunan masjid itu diperoleh dengan cara meminta sumbangan di jalan raya—seperti dilakukan banyak orang. “Tak perlu kita mengemis seperti itu,” kata Haji Zubaidi sewaktu mengobrol bersama beberapa penduduk.

Rupanya, warga kampung begitu antusias agar masjid itu segera diselesaikan. Mereka bahu membahu menyumbang dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Ada yang menyumbang semen, batu bata, pasir, sebagian lagi berupa uang tunai. Haji Zubaidi menitikkan air mata mengingat ada sebagian warga yang sampai rela menjual satu-satunya kambing miliknya hanya untuk disumbangkan pada pembangunan masjid.

Kepada orang-orang Haji Zubaidi mengatakan, “Insya Allah sumbangan itu akan menjadi amal jariyah, amal yang terus mengalir kepada kalian, amal yang akan menyelamatkan dari ancaman api neraka.”

Tentu saja, warga kampung girang mendengar penjelasan Haji Zubaidi. Berbinar-binar wajah mereka. Betapa sumbangan yang diberikan ke masjid itu tak akan menjadi sia-sia. Dengan menyumbang pembangunan masjid itu, warga kampung memang mengharap jika di akhirat nanti dikejar-kejar api neraka maka pahala sumbangan masjid itu dapat menolongnya.

“Tak usah ragu. Allah tak akan mengingkari janji-Nya. Kalian pasti mendapat pahala besar karena sudah  mau membangun rumah Allah ini. Insya Allah dijauhkan dari api neraka.” Haji Zubaidi mengatakannya dengan sangat meyakinkan. Warga kampung mengangguk-anggukan kepalanya.

Pembangunan masjid itu rampung dalam hitungan bulan. Terbilang sangat cepat untuk ukuran masjid mewah semacam itu. Ini bisa terjadi karena dana pembangunan tercukupi sehingga pengerjaannya bisa dilakukan setiap hari. Terlebih lagi, para pekerja itu terdiri atas warga kampung Lambicabi sendiri. Selalu setiap hari, mereka bergantian. Jumlah mereka  itu pun terbilang cukup banyak.

Semakin hari masjid itu tak pernah sedikit pun berkurang jemaahnya. Setiap masuk waktu salat lima waktu, saf selalu penuh hingga keluar teras masjid. Begitu azan dikumandangan oleh Durahman, dalam sekejap warga kampung berbondong-bondong menuju masjid. Mereka secepat mungkin meninggalkan pekerjaan apapun yang tengah dikerjakannya. Tak boleh ketinggalan salat berjamah.

“Salat jamaah pahalanya lebih besar daripada salat seorang diri,” ujar Haji Zubaidi kepada warga kampung. Dan karena perkataan inilah seluruh warga kampung sangat bergairah untuk tetap menjaga salat jemaah lima waktu.

***

Se;esai salat Jumat, hujan jatuh disertai angin yang menggebu-gebu. Beberapa pohon mangga di halaman masjid hampir tumbang. Daun-daunnya berjatuhan. Barulah satu jam kemudian langit petang yang temaram kembali berwarna biru. Matahari muncul dari balik dekapan awan. Satu persatu orang-orang meninggalkan masjid entah kemana.

Haji Zubaidi dan beberapa pengurus masih duduk bersila di lantai masjid. Mereka membicarakan perkembangan masjid yang dirasa memang mengalami kemajuan. Namun bagaimana pun, kata Haji Zubaidi kepada pengurus lainnya bahwa masjid itu perlu biaya perawatan supaya kemegahan masjid itu tetap terjaga. Beberapa pengurus itu diam. Berpikir.

“Kita buat kotak amal. Saya yakin warga kampung pasti akan selalu mengisinya,” usul pengurus masjid berjenggot panjang itu.

“Ya betul. Terlebih lagi, mereka tahu merawat rumah Allah artinya pahala. Dan pahala itu bisa membawa ke surga. Siapa yang tak mau masuk surga?” Pengurus masjid dengan tubuh kurus serupa tulang belulang itu berujar. Haji Zubaidi mengangguk sambil lalu memandang lelaki kerempeng itu.

Ketika hangat-hangatnya mereka mengobrol, tiba-tiba saja mata Haji Zubaidi menangkap seorang lelaki yang sedang berdiri di bawah pohon mangga. Lelaki itu menatap ke arah mereka. Tatapan penuh selidik. Tatapan kebencian. Tatapan meremehkan. Haji Zubaidi dapat merasakan lelaki itu sedang mengawasinya. Bergidik beberapa pengurus masjid itu melihat cara lelaki itu memandang.

Dengan mengumpulkan nyali, Haji Zubaidi ditemani dua pengurus masjid menemui lelaki itu. Jika diperhatikan lebih seksama, usia lelaki itu pastilah sangat tua. Tubuhnya bengkok disana-sini dengan tongkat kayu di tangan sebelah kanannya. Ia sama sekali tak menggeser posisinya berdiri.

“Siapa kakek ini? Apa kakek mau salat?” Haji Zubaidi bertanya, rendah suaranya.

“Salat. Hah!” Lelaki itu tertawa terpingkal-pingkal. Haji Zubaidi mengerutkan keningnya. Dua pengurus masjid yang berada di dekat Haji Zubaidi mengangkat kedua bahunya.

“Salat agar masuk surga. Itu maksudmu, bukan?” Lelaki itu berkata seraya memandang wajah Haji Zubaidi.

“Salat itu perintah agama. Sebagai seorang hamba kita wajib mentaati perintah-Nya.”

“Apa kau ikhlas jika salatmu diganjar dengan neraka?”

“Itu tidak mungkin.”

“Sok tahu kau! Allah yang punya kuasa. Terserah Dia mau memasukkanmu ke neraka atau ke surga. Kenapa kamu tuntut Allah supaya memasukkanmu ke surga? Kau sudah merasa pantas di surga?”

Perasaan Haji Zubaidi tidak menentu mendengar pertanyaan dari lelaki itu.  Tertusuk karena kata-kata lelaki itu, maka mereka meninggalkan lelaki tua tersebut. Gegas mereka melangkah pulang ke rumah. Wajah mereka seperti selembar kain kafan. Degup jantung mereka terasa tak normal.

***

Selama satu minggu ini, lelaki tua itu masih saja terlihat berdiri di bawah pohon mangga. Ia ada setiap menjelang salat lima waktu. Kehadiran lelaki itu mengundang tanya para jemaah masjid. Tidak seorang pun berani menegur lelaki itu. Orang-orang lewat di dekatnya dengan perasaan was-was, khawatir lelaki itu mengamuk. Lelaki itu kerap memandang aneh semua orang yang berduyun-duyun masuk ke dalam masjid itu.

Karena penasaran, dua orang jemaah masjid menghampiri lelaki itu, selepas salat maghrib. Lelaki itu menyambutnya dengan senyum mengejek. Semula dua orang jemaah itu takut untuk mengajukan pertanyaan karena penampilan lelaki itu seperti orang tak waras. Ia kadang tertawa tanpa sebab apapun. Kadang marah, mengumpat tanpa diketahui alasannya.

“Kenapa kakek berdiri di sini?”

“Saya hanya ingin melihat orang-orang yang akan menemani saya di neraka.”

“Siapa yang kakek maksud? ”

“Mereka.” Lelaki itu menunjuk ke arah masjid. Tentulah, maksud lelaki itu adalah orang-orang yang dilihatnya setiap hari salat jemaah di masjid itu. Dua orang itu tercekat mendengar jawaban lelaki itu.

“Tidak mungkin. Mereka yang salat di masjid itu adalah orang-orang yang sedang mengejar surga-Nya.”

“Pamrih! Mau salat karena surga. Mau bangun masjid karena surga. Mau sumbang masjid karena surga. Semuanya butuh imbalan!” Lelaki itu meludah. Dua orang jemaah masjid yang sedang mendengar perkataan lelaki itu dibuatnya tak dapat berkata apa-apa selain menahan sesak di dadanya.

“Apa kakek tidak mau masuk surga?”

“Tidak!  Saya ingin ke neraka. Saya tak pantas di surga. Kamu mau ikut saya?” Pertanyaan lelaki itu membuat dua orang itu buru-buru mengangkat kakinya menjauhi si lelaki itu. Wajah mereka pucat. Lelaki itu tertawa terpingkal-pingkal melihat reaksi dua orang itu.

Sejak itu, tak ada seorang jemaah masjid yang berani mengusik lelaki itu. Mereka membiarkan lelaki itu berdiri di bawah pohon mangga. Namun pembicaraan jemaah masjid kerap bermuara pada perkara keinginan lelaki itu yang ingin ke neraka.

Ketakutan melingkar di wajah mereka. Terbayang dalam mata mereka, api neraka yang sanggup mengelupas kulit dalam sekejap. Tubuh-tubuh yang diremukkan, dikembalikan lagi seperti sediakala, diremukkan lagi dan begitulah seterusnya. Alangkah mengerikan bayangan itu.

Haji Zubaidi mengatakan supaya tidak perlu risau dengan ucapan lelaki itu. Menurut Haji Zubaidi, lelaki itu hanya menggertak. Lelaki itu hanya meneror. Pastinya, kata Haji Zubaidi, surga tetap akan diberikan kepada mereka yang menjalankan perintah Tuhan.

Dari bawah pohon mangga, si lelaki tua itu meludah mendengar perkataan Haji Zubaidi.

Pulau Garam, 2021

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami