Pelajaran Sejarah di Kelas Pak Saiman
Oleh: Sapta Arif
Siapa yang lebih mengerikan dari pada iblis, Mbah Kiai pernah bertanya padaku. Aku diam tercenung, mencari nama yang barangkali belum pernah kudengar sekalipun, tetapi nihil. Belum sempat bertanya balik, Mbah Kiai berbisik. Mereka yang mengaku ber-Tuhan, tetapi hatinya ingkar. Seketika dadaku bergetar, timbul perasaan asing yang membangunkan bulu roma. Aku terus mengulang-ulang memori itu. Dan suara itu terus berputar-putar di dalam kepalaku, seperti suara iklan layanan masyarakat yang diputar berulang kali dari radio tua.
Bukan tanpa sebab aku kembali memutar balik ingatan tentang pesan Mbah Kiai. Selepas sholat Isya, aku kembali dipanggil berkumpul di lapangan dekat kecamatan. Seorang tentara sudah menunggu kami di bawah tiang bendera. Ia menyodorkan daftar nama, lantas aku membacanya dengan teliti. Suara Mbah Kiai tiba-tiba hadir, seperti suara gema gua yang kering di musim kemarau saat untuk ketiga kalinya aku mengeja satu nama. Saiman.
“Kamu tahu, nama selalu mengandung doa. Orang tuamu tidak akan sembarang memilihkan nama untukmu, namaku juga,” Pak Saiman pernah berkata padaku, ah tepatnya kami—siswanya. Saat itu, ia berdiri di depan kelas, setelah mengulang kembali kisah Hasan, Rusli, dan Kartini, Pak Saiman bertanya padaku, apa arti namamu Min? Aku diam dan ragu untuk menjawabnya.
Pak Saiman gemar menceritakan buku-buku yang pernah ia baca. Satu di antaranya kisah Hasan, Rusli, dan Kartini, tiga tokoh dalam novel karya temannya, Aki. Namun, setelah Aki menetap di Australia, mereka tak pernah bertemu. Menyisakan rindu yang berkepanjangan dalam diri Pak Saiman. Kenangnya, Aki adalah bocah yang giat membaca. Meski ayahnya seorang pegawai, tidak membuat Aki merasa lebih beruntung. Ia justru kerap mengajak Saiman kecil mampir ke rumah. Menceritakan buku-buku yang sudah ia baca, hingga membuat Saiman jatuh cinta pada sastra.
Pak Saiman begitu gandrung pada novel karya Aki. Di hadapan kami, ia katakan betapa novel bersampul hijau itu telah menyihir batinnya. Corak merak serupa percikan darah ia tafsirkan sebagai gairah. Seperti yang ia rasakan kala itu, gairah yang menumbuhkan kerinduan yang amat dalam pada sahabatnya.
Sejujurnya, Pak Saiman adalah guru sejarah yang istimewa. Alih-alih meminta kami untuk menghapal tahun, tokoh, dan peristiwa, Pak Saiman justru mengajak kami menyelami setiap kisah-kisah bersejarah. Mulai dari pergerakan sekumpulan mahasiswa STOVIA yang mendirikan Budi Utomo, hingga berbagai sisi lain kisah kemerdekaan Indonesia. Pak Saiman bercerita seolah mengenang pengalaman yang pernah dialaminya. Pernah suatu ketika ia bercerita tentang kisah Supratman. Pak Saiman memanggilnya dengan Kang Pratman.
“Kalian tahu, lagu kebangsaan kita ini lahir dari idealisme Kang Pratman!” Pak Saiman duduk di meja. Tangannya bergerak ke sana sini, dengan ekspresi yang berubah-ubah, sesekali ia menciptakan banyolan yang membuat kami tertawa.
Kenangnya, tahun 1924, Kang Pratman membaca sebuah artikel di majalah Timbul dan terdapat pernyataan begini, alangkah baiknya jika ada seorang pemuda Indonesia yang mau menciptakan lagu kebangsaan. Kang Pratman yang berprofesi sebagai wartawan Sin Po merasakan darah mudanya bergejolak, terlebih ia juga mengetahui bahwa sebuah negara yang merdeka sudah pasti memiliki lagu kebangsaan. Ia pun mulai merancang lagu yang sering kita dengarkan setiap upacara bendera, cerita Pak Saiman.
Aku pun mengenang kisah lain, yang menceritakan bahwa majalah Sin Po adalah majalah pertama yang memuat teks lagu Indonesia Raya secara utuh. Semua berkat cerita dari Pak Saiman. Aku tidak paham seberapa dekat hubungan Pak Saiman dengan Kang Pratman, ia menceritakan seolah-olah Kang Pratman adalah teman akrabnya.
Di lain waktu, ia pernah bercerita dengan amat serius kisah tentang Mbah Tjokro. Selalu saja, setiap kisah akan Pak Saiman mulai dengan pertanyaan, apa kalian pernah mendengar kisah tentang…
Dan selalu saja, kami menggeleng mantap, seolah sepakat untuk mengatakan: ya kami tak tahu Pak Saiman, tolong segera ceritakan!
Aku pun dibuat tak percaya bahwa Mbah Tjokro adalah guru dari tiga tokoh penting yang berbeda haluan. Pak Karno yang mendirikan Partai Nasional Indonesia, Kartosoewirjo berjuang melalui Darul Islam, sementara Semaoen mendirikan Partai Komunis Indonesia. Kami selalu menantikan cerita-cerita dari Pak Saiman. Merindukan mata pelajaran sejarah melebihi kami mengharapkan suara lonceng pulang. Tetapi, kerinduan kami menjadi jalan panjang yang tiada akhir. Kerinduan yang beranak pertanyaan. Lantaran pada suatu pagi, seorang guru berjanggut putih dengan dahi hitam menggantikannya. Ia datang bersama kepala sekolah dan mengatakan bahwa Pak Saiman mendadak mengajukan pindah.
Kenangan akan Pak Saiman terus menerus berputar di dalam kepalaku. Bahkan ketika aku duduk dalam bak truk tentara yang menuju ke arah utara. Menuju ke sebuah lembah yang dikenal dengan Watu Rongko. Tanpa sadar, di tengah deru suara truk, aku mendendangkan lagu genjer-genjer sambil bergumam. Lagu ini adalah pernah kudengar dari Pak Saiman. Sebuah lagu yang menyadarkanku akan rasa syukur. Tetapi, tiba-tiba Jarwo menjawil pundakku, huss! Ngawur! Kamu lagi nyanyi apa! bentaknya. Sekilas aku pun mengedarkan pandang, orang-orang duduk dengan raut wajah yang tegang, menatapku.
Pagi tadi, Mbah Kiai memanggilku sambil mengulurkan sebuah pedang. Aku membukanya dengan tangan gemetar. Mata pedang itu mengkilap, memantulkan cahaya pagi. Genap seminggu aku dipercaya menjadi algojo untuk orang-orang yang masuk daftar partai merah. Kepercayaan diriku melambung, lantaran ini adalah amanah dari panutanku.
“Amin, negara kita sedang genting. Urusan negara adalah urusan agama, diperlukan orang yang berani dan tegas. Kuatkan jiwamu, mereka tidak ber-Tuhan. Kita berjuang di jalan Allah,” suara Mbah Kiai yang lembut masih terdengar nyaring. Seperti sebuah minyak yang membakar bara amarah, seketika aku mantap mengemban amanah.
Bukan tanpa sebab aku begitu membenci PKI. Kedua orang tuaku meninggal oleh kebengisan mereka. Pada satu malam yang keparat, gerombolan orang menyerang jamaah sholat Isya yang melewati perbatasan desa. Aku tak paham oleh sebab apa mereka melakukan itu. Yang kutahu, Abah pulang dengan luka bersimbah darah dan mengabarkan Ibu sudah tiada. Tidak sampai di situ, berkali-kali aku hampir saja dibunuh. Mereka kerap mencari gara-gara seolah-olah memancing kami untuk melawan dan terjadilah pertumpahan darah. Tetapi, Mbah Kiai selalu menenangkan suasana. Hingga pada satu malam terjadi penyerangan pada keponakan Mbah Kiai, kami sudah tidak bisa diam.
Awalnya aku tidak serta merta menangkap sinyal keterlibatan Pak Saiman. Tetapi pada suatu pagi, Pak Saiman pernah bertanya pada seluruh siswa setelah menceritakan novel karya Aki yang berjudul Atheis.
“Apa kalian percaya pada Tuhan?”
Belum sempat kami menjawab bersama-sama dengan tegas, Pak Saiman menimpali. “Coba kalian tutup mata,” seperti sebuah dolanan untuk anak-anak, kami menurut saja.
“Katakan benda apa yang paling kalian suka dan mintalah pada Tuhan dengan lantang!” kelas bergemuruh ramai, masing-masing siswa menyebutkan berbagai permintaan dan berkali-kali menyebut nama Allah.
“Cukup!” Pak Saiman menggebrak meja, membuat beberapa siswa tersentak.
“Buka mata kalian! Apakah kalian mendapatkan benda itu, sekarang?” semua siswa menggeleng. “Apakah Tuhan benar-benar ada? Hei! Apa Tuhan mengabulkan permohonan kalian?” anehnya, aku melihat kawan-kawanku saling melempar pandang. Seolah mempertanyakan sesuatu yang tidak bisa diungkapkan. Pak Saiman kembali bercerita kepedihan kisah Aki sahabatnya yang melalang buana demi mendapatkan kebenaran akan Tuhan.
Sebenarnya, aku amat membenci diriku yang tiba-tiba muncul keraguan. Aku tidak suka cara mereka menistakan agamaku, terlebih beberapa kali aku melihat orang-orang PKI memandang rendah Mbah Kiai, panutanku. Urusan dengan PKI bukan saja tentang perbedaan ideologi, tetapi ini soal perang memperjuangkan agama. Dan malam ini, tiba-tiba keraguan itu muncul tatkala nama Pak Saiman tercetak di dalam daftar. Aku amat membenci partai mereka, tetapi mbah Kiai pernah mengajarkan betapa adab itu lebih tinggi dari pada ilmu. Bagaimana pun juga, Pak Saiman adalah guru yang kuanggap sebenar-benarnya guru.
Pernah suatu ketika Pak Saiman menemuiku yang sedang duduk gelisah di halaman sekolah. Saat istirahat seperti itu, aku hanya bisa diam memandangi teman-temanku jajan di warung seberang. Perutku amat lapar, ingin rasanya aku bergabung dengan mereka dan meminta paling tidak secuil makanan yang mereka makan. Kemudian, ia mendendangkan tembang genjer-genjer hingga tuntas. Kenangan akan lagu ini seakan melekat di dinding kepalaku. “Kesedihanmu tak seberapa Amin. Coba kau bayangkan, dulu kakek nenekmu terpaksa makan daun genjer untuk bertahan hidup! Penjajahan Nippon amat menyengsarakan,” ucapan Pak Saiman ini menggugah kesadaranku, betapa pun sulitnya hidupku hari ini, seharusnya aku jauh lebih bersyukur. Meski makan hanya sehari sekali, itu jauh lebih dari cukup karena aku masih bisa makan nasi.
Truk berhenti dengan kasar, membuat kami terlempar dan menubruk satu sama lain. Dari depan terdengar suara supir yang tertawa, brengsek betul mereka. Kami turun satu persatu, berjalan menerobos hutan menuju ke puncak lembah. Cahaya bulan sedikit membantu menerangi jalan setapak yang kami lalui.
Tidak membutuhkan waktu lama, rombongan sampai di puncak. Terlihat puluhan orang berjejer menghadap jurang dengan tangan terikat ke belakang. Satu orang berbadan tegap dengan bekas luka melintang di pipi kiri menatapku. Gegas aku melangkah, melakukan seperti yang kulakukan pada malam-malam sebelumnya.
“Anda akan saya bunuh, tetapi sebelum saya bunuh apa anda ada pesan? Kalau anda orang Islam, seharusnya membaca kalimat syahadat dulu!” teriakku lantang pada orang paling kanan. Pak Kiai berpesan padaku, beri mereka kesempatan untuk membuktikan identitasnya. Dari malam-malam sebelumnya, orang-orang ini begitu enggan mengakui Gusti Allah.
Tetapi malam ini, begitu lain. Kurasakan dadaku menderu, gemuruh. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, ada kekhawatiran yang menjalar di dadaku.
Orang ini tertawa, seraya berkelakar. “Aku ini orang PKI, tak sudi aku mengnggg—!” lekas aku menyembelih lehernya, darah bercucuran. Belum sampai tubuhnya ambruk, kutendang ke jurang Watu Rongko.
Satu per satu orang-orang ini kutanyai, kemudian menjawab dengan congkaknya. Tanpa ampun, satu per satu pula leher mereka mengucur amis darah. Tetapi, semakin banyak tubuh yang berjatuhan ke jurang Watu Rongko, semakin kental perasaan gelisah di dadaku.
Pada orang ketujuh, aku mengajukan pertanyaan yang sama. Kurasakan suasana seketika hening. Suara hutan dan malam yang berbaur, tiba-tiba bersepakat untuk mendengar gemuruh di dadaku. Bahkan mungkin saja orang ini bisa mendengar detak jantungku yang tidak keruan sejak di lapangan kecamatan.
Aku terpaksa mengulang pertanyaanku, lantaran orang ini tidak menjawab. Kudengar ia menghirup napas panjang, seolah-olah sedang melegakan dadanya. Apakah ia pun merasakan kegelisahan sepertiku?
“Setelah sekian puluh tahun lamanya, aku baru menyadari arti dari namaku,” ia diam lagi. Suaraku tercekat. Sekelebat ingatan masuk dengan sembrono.
Dari belakangku terdengar bentakan, “Hei! Lekas katakan!”
“Namaku Saiman,” suaranya bergetar, sesekali terdengar isak. “Saaaay… man, saya beriman pada Allah dan Rosulullah. Asyhadu alla ilaha illallah… wa—” seketika telingaku berdenging. Tiada suara lain, selain bisikan dari Mbah Kiai yang menerobos masuk: siapa yang lebih mengerikan dari pada iblis, Min?
Seketika tubuhku lemas, sendi-sendi terasa rontok berantakan. Dan lepaslah pedang dalam genggamanku. Aku menoleh ke belakang, orang-orang terdiam terpaku menatapku. Seseorang bertubuh tegap dengan bekas luka melintang di pipi kiri menyuruhku pergi dari lokasi eksekusi. Tidak hanya itu, ia pun mengucap sumpah serapah pada keluarga, anak, dan keturunanku.
Sejak saat itu, aku tidak pernah berani kembali ke pondok. Bertahun-tahun kemudian, tercetak tulisan OT di lembar KTP-ku. []
Ponorogo, Oktober 2023