Perempuan Pembawa Sial

Petrus Setiawan

Ini cerita berpuluh tahun lalu, saat orang masih beranak dengan pertolongan dukun bayi. Saat itu orang belum bisa melihat kelamin janin dengan alat yang digosokkan ke perut sang calon ibu, yang dilumuri cairan kental seperti agar-agar dingin, dan tak selalu bisa tahu isi rahim.

Meilan, istri Asiong bunting lagi. Untuk keenam kalinya. Lima anak sebelumnya semuanya perempuan. Asiong kesal dan bingung karena tidak kunjung punya anak lelaki. Orang tuanya terus merongrong dan mengomel.

            “Istrimu itu bawa sial, gak bisa beranak anak laki,” nyinyir ibunya, saat dipikirnya Meilan tak mendengar.

Komentar ayahnya lebih parah. Tanpa diketahuinya, Meilan mendengar kata-katanya dengan hati berdarah,

            “Menantu gak berguna. Kalau kau gak punya anak laki, berarti keturunan marga kita habis di kamu, Asiong. Lebih baik kau cari istri baru, yang becus kasih kau anak laki.”

Asiong malu dan panik ditanyai setiap hari oleh orang tuanya. Dia anak lelaki tunggal. Jika dia tak punya anak lelaki sampai dia mati, maka marga leluhurnya akan habis, berhenti padanya.

            Teman-teman Asiong punya pandangan lain. Pandangan yang umum dipercaya para lelaki hidung belang.

            “Lu sih kebanyakan main cewek, makanya benih lu encer. Anak lu jadinya cewek semua,” ujar mereka sambil tertawa.

Asiong hanya tertawa kecut. Dia tak tahu jelas, mereka sedang berusaha menghiburnya, menasihatinya, atau sekadar menertawakannya. Dia  tak bisa membantah. Begitulah masa lalunya. Tukang main cewek. Dia percaya itulah penyebab anaknya yang lahir semuanya perempuan, karenanya dia tak tega menyalahkan istrinya.

Asiong berusaha bertobat. Dia berhenti mengunjungi pelacur-pelacur sejak anaknya yang ketiga lahir. Saat anak keempat dan kelima lahir perempuan juga, dia mulai pasrah, namun dia terus berdoa dan tetap menjaga kesungguhannya untuk berhenti main perempuan.

Sang Maha Kuasa, permintaanku tak banyak. Berilah aku anak lelaki. Satu saja. Aku janji tidak akan main perempuan lagi, begitu selalu Asiong mengucap doa.

Di mata Asiong, Meilan tak pernah jadi istri idaman. Telapak kakinya lebar, tangannya kasar karena sering mencuci. Perut, tetek, dan kewanitaan-nya kendur karena terus mengandung, melahirkan dan menyusui anak setiap tahun. Namun untuk Asiong,  dalam gelap, saat lampu kamar dimatikan, Meilan tetap saja  seorang perempuan, yang tak terlalu penting dipandang saat digauli. Di matanya, Meilan adalah istri, ibu dan menantu yang baik, yang melayani suami, anak dan mertua di dapur, sumur dan kasur.

Suatu hari, Kino, atasan Asiong mengajaknya minum-minum, merayakan hasil kerja Asiong sebagai kepala penagih hutang yang bagus bulan itu.

“Wah, hebat lu Siong, sejak lu gabung gue, tagihan lancar jaya. Duit gue, yang diembat pelanggan-pelanggan kunyuk itu, sekarang pada balik. Ayo, Siong, temenin gue minum. Kita santai sebentar lah, jangan kerja melulu.” 

Tempatminumyang dimaksud Kino ternyata tak hanya menjual minuman. Seorang perempuan paruh baya datang mendekati mereka. Dandanannya menor dan belahan bajunya rendah, menonjolkan sepasang pepayanya yang di atas ukuran rata-rata. Dia berbisik-bisik dengan Kino.

Si perempuan paruh baya, yang oleh Kino dipanggil Mami Pinky, kemudian berlalu dan segera kembali bersama dua perempuan muda. Kino tak menunggu lama, langsung berangkat ngamar bersama salah satunya, meninggalkan Asiong bersama perempuan yang lain dalam kecanggungan. Asiong mengumpat dalam hati. Sialan si Kino, bawa gue ke tempat beginian.

Kino, setengah mabuk, menertawakan kecanggungan Asiong.

            “Gue duluan, Siong. Tenang, minuman udah gue bayar,” ujar Kino.

Asiong bertanya dengan canggung pada perempuan itu.

“Siapa namamu?”

“Delima,” jawabnya.

Asiong mengakui, Delima memang mempesona. Dia berbeda dari perempuan-perempuan lain di sana, atau yang pernah ditemuinya dulu saat dia masih suka main. Delima punya keanggunan yang langka ditemui di tempat seperti itu. Sikapnya santun. Kulitnya putih seperti pualam. Pinggangnya langsing dan telapak tangannya sangat halus dirasakan Asiong saat mereka berjabatan. Bedanya dengan Meilan seperti langit dengan bumi yang becek.

Asiong sadar, dia sudah terpesona, dan dia harus tegas menolak. Asiong memberi sejumlah uang pada Delima,

“Ini buat kau. Aku mau pulang”

Sepanjang perjalanan pulang, Asiong terus memikirkan Delima dengan galau.

Gila, gara-gara si Kino gue jadi kepincut lagi sama cewek malam. Tapi cewek ini memang beda, gak liar dan murahan, lamun Asiong.

Beberapa hari kemudian. Asiong akhirnya tak tahan. Dia pergi ke sana lagi. Sendirian.

“Cari siapa, Boss? Delima ya?” tebak Mami Pinky sambil tersenyum nakal.

Asiong mengangguk. Delima muncul, masih bersahaja dan malu-malu, dan terlihat oleh Asiong lebih cantik dari saat pertemuan pertama. Mereka langsung melewatkan waktu berduaan di dalam salah satu kamar yang kosong.

Asiong semakin kepincut setelah kebersamaan mereka.

Gila bener perempuan ini. Dari luar anggun seperti puteri kerajaan di filem Hongkong, tapi di dalam begitu liar dan sangat pengalaman. Dari mana dia belajar melayani lelaki seperti itu? lamun Asiong.

Setelahnya, Asiong terus mengunjungi Delima hampir setiap malam. Semua kesenangan badani yang dipendamnya selama bertahun-tahun, diluapkan Asiong saat bersama Delima. Dia lupa sama sekali pantangannya saat berdoa minta anak lelaki. Dia mulai berpikir, Apakah aku sudah jatuh cinta? Yang bener aja, sama cabo? Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan olehnya, dan betul-betul membuatnya pusing tujuh keliling.

Suatu hari Asiong berkunjung lagi ke tempat Delima.

“Delima lagi tugas, Boss. Sama yang lain aja. Tuh ada Mirah yang bahenol, dan ada Tini yang baru datang kemaren. Sst, sama kayak Delima kok, masih pada kenceng, belom punya anak lho, kata Mami Pinky sambil mengedipkan sebelah mata.

Asiong mengerti, Delima lagi tugas artinya sedang melayani lelaki lain. Asiong emosi dan naik pitam, marah-marah memaki Mami Pinky.

“Goblok kamu, Pinky! Kenapa kasih dia ke orang lain? Kan saya langganan-nya?” amuk Asiong.

“Hei, Tuan Besar, hati-hati kalau ngomong, Boss! Kau pikir kau siapa? Banyak yang punya duit seperti kamu, tahu?” balas Mami Pinky, tak kalah garang.

Asiong terdiam, tak berani membantah. Dia tahu Mami Pinky dilindungi banyak centeng berbadan dan bertampang seperti raksasa. Dia pun tak habis pikir mengapa bisa hilang kendali mengamuk seperti itu. Dia jelas tahu, seorang pelacur tentu bebas melayani siapapun yang bisa membayarnya. Semakin yakinlah dia. Aku sudah betul-betul jatuh cinta. Dia lebih dari sekedar pelacur bagiku. Aku tak rela dia bersama orang lain.

Asiong pun pulang dengan marah bercampur malu. Besoknya dia mengutarakan niat untuk menjadikan Delima miliknya seorang.

“Aku mau kamu ke luar dari sini. Aku bisa sewain kamu tempat tinggal. Aku gak rela kamu sama orang lain, Delima. Aku cinta kamu,” aku Asiong.

“Hmm, aku mesti ngomong dulu sama Mami” jawab Delima, dingin dan tak terlihat terlalu tertarik dengan tawaran Asiong.

Asiong kecewa. Dipikirnya Delima akan gembira.

Esoknya, Asiong kembali ke sana.

“Sorry, Boss. Delima gak mau cuma disimpen. Dia minta resmi dinikahin, dengan semua hak sebagai istri yang sah. Dan kamu harus tebus dia dulu tiga ribu dollar sama aku,” cetus Mami Pinky.

Asiong mencium kelicikan Mami Pinky. Dia tak bisa menjawab. Uang tiga ribu dollar bukan masalah buatnya, tapi bagaimana bisa dia meninggalkan Meilan dan anak-anaknya untuk menikahi Delima? Dia linglung, tak bisa berpikir dengan jernih.

Asiong pulang. Raut wajahnya gelap suram. Dia marah-marah, lalu menghabiskan ciu yang dibelinya di perjalanan pulang. Dalam mabuk, dia terus memaki Meilan, yang sudah semakin besar karena sudah hampir waktu lahiran.

“Perempuan gendut! Jelek, lu! Kali ini juga paling cewek lagi! Gak berguna lu, gak bisa beranakin anak laki!” Asiong terus meracau dalam mabuknya, lalu muntah dan jatuh tertidur.

Meilan membersihkan muntahan dan pakaian Asiong sambil menangis. Esoknya, Meilan bicara,

“Kalau kali ini aku gak bisa kasih kamu anak laki lagi, kamu boleh turuti kata ayahmu. Cari aja istri lain,” ujar Meilan, berusaha menahan tangis. “Tapi kalau anak ini laki-laki, jangan berani-berani kamu buang aku. Aku kutuk kamu atas nama Sang Maha Kuasa! Mengerti?” lanjut Meilan.

Meilan menyuruh Asiong bersumpah di depan altar Sang Maha Kuasa. Asiong tak kuasa menolak. Perasaan Asiong kacau balau. Dia sedih, kasihan, merasa bersalah bercampur harap. Mungkinkah ini takdir dari Sang Maha Kuasa bahwa aku bisa menikahi Delima?

Asiong pun merubah doanya, Sang Maha Kuasa, aku tak berhak menuntutmu memberi anak lelaki. Anak perempuan lagi pun pasti kusyukuri. Kau tahu, aku kan sayang juga sama kelima anak perempuanku ini?

Minggu berikutnya, Meilan bergelut dengan darah dan maut dua hari dua malam, sebelum akhirnya bayinya keluar, diiringi jeritan tangisnya. Mak Oen, dukun bayi tua kepercayaan keluarga Asiong, membuka pintu kamar. Rautnya menunjukkan kelelahannya tidak tidur dua malam untuk mengeluarkan sang bayi. Pakaiannya belepotan darah dan air ketuban. Semua mata memandangnya dengan tak sabar.

“Perempuan,” kata dukun itu, lalu kembali masuk kamar.

Meilan berteriak menangis meraung raung di kamar, “Kenapa anak ini tak sekalian bikin aku mati saja?” teriaknya.

Ayah dan ibu Asiong melengos. “Betul-betul menantu tak berguna! Baiknya memang dibuang saja.”

Asiong pura-pura sedih, namun bersorak dalam hati. “Ini sudah kehendak Sang Maha Kuasa, Delima,” gumamnya.

“Sebentar … ini kok ada satu orok lagi di dalam!” jerit Mak Oen melengking dari dalam kamar, mengejutkan semua orang. Para penghuni rumah yang tadi melengos, kembali membelalak, lalu kembali berkerumun menguping di pintu kamar Meilan.

Seperempat jam kemudian, ayah dan ibu Asiong meledak dalam kegembiraan.

“Menantu hebat kau, Meilan! Pintar kerja, pintar pula kasih aku keturunan!” puji ayah Asiong.

“Meilan memang menantu pembawa keberuntungan!” timpal ibu Asiong semringah.

Asiong, antara senang dan kecewa, tak berani macam-macam lagi. Dia menyaksikan sendiri Sang Maha Kuasa lebih mendengarkan doa Meilan.

Delima gigit jari. Asiong, yang katanya cinta, menghilang, tak pernah berkunjung lagi, boro-boro menikahi. Mami Pinky pun gigit jari, tak jadi dapat tebusan tiga ribu dollar.

Begitulah cerita kemunculanku,  si anak ketujuh, ke dalam dunia. Kudengar semua dari kakek nenek, ibu, kakak-kakakku, dan tentunya pengakuan ayahku sendiri atas kelakuan buaya-nya. Aku tentunya tak pernah tahu, berapa banyak dari cerita-cerita itu yang nyata dan berapa yang asal ingat dan asal ngarang. Yang jelas, aku kini melanjutkan marga leluhurku. Sampai masa tuanya sekarang, ayahku sih terlihat seperti suami dan ayah tauladan. Buaya itu sudah benar-benar pensiun rupanya, takut pada kutuk ibuku, si perempuan pembawa sial ….

Tangerang, 27 September 2022

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami