REFRAIN PEJALAN LAUT DAN ENAM TELEGRAM UNTUK TUAN MALNA

Mukhlis Imam Bashori

/1/

Aku mengaji, Tuan Malna
tentang roh laut yang membawa jagad kudus. tentang orang tanah tepi
yang ditutup luka abad. hidup di bawah empat lembar langit dan jalu angin.
membelah dunia yang tak jadi dunia. menyimpan hujan di dalam pasar
dan kios tubuh.
membawa sesaji yang tampak tua dan teduh:
perahu dan sauh—untuk mengetuk
dan memanggil daging-daging ikan.

/2/

Aku masih mengaji, Tuan
tentang kota-kota bawah air yang tumbuh di mata.
Tempat pejalan laut membaringkan jaring dan jangkar.
Ah, tapi jazirah berombak itu lebih banyak
menyimpan bau bacin dari nasib yang koyak
dalam poster sebuah pertunjukan.
musim hujan yang keluar dari krah baju
telah jadi pertanda:  kalau cakalang atau baronang
tak akan bisa banyak dijahit.
sementara suara buram reportoar tivi yang kacau itu terus saja berkabar:
kalau tumpukan digit penuh dosa
semakin melejit-lejit.

/3/

Aku terus mengaji, Tuan Malna
orang-orang terus menyimpan dirinya
untuk bisa diawetkan dalam kulkas.
membuka kemah dalam tenda-tenda migrasi
yang di dalamnya dipenuhi kedai milik sengkuni.
sementara di gedung protokoler yang terik
mesin-mesin fotokopi sibuk
menggandakan arsenik.
membikin mitos-mitos kecemasan
bagi makhluk air
yang nyala matanya mirip lilin itu.

/4/

Aku tak pernah berhenti mengaji, Tuan
Nyaris tak satupun manusia yang berjalan membawa peta,
semua sibuk berdansa dan lupa membuka kamus tua
tentang makhluk arus bawah yang membawa
dan menanggung luka jagad.
Hari ini. lagi-lagi palu berdentang-dentang.
meninggalkan abad. berlari.
menempuh jazirah di sepanjang galangan
yang limbung dan berduri.

/5/

Aku tetap mengaji, Tuan Malna
tentang makhluk-makhluk yang selalu bertapa,
tentang rimba air ini menakwil ricik surga.
tapi taring-taring buas para perompak
telah menabur mala
dan menyeduh tangis cerita.

/6/

lantas kapan angka-angka
akan naik, Tuan?
Agar para pejalan laut itu
tak mati
dilimbur layu.

Malang, 2017—2022