Oleh: Beri Hanna
Tahun 2004 di kota Arnhem, telah terjadi pembunuhan, dilakukan Gottahrd terhadap Van Jan Melk. Memang Gottahrd mengakui perbuatannya, tetapi setiap ditanya apa alasannya membunuh, Gottahrd terus-menerus bungkam, bahkan tidak mengangguk dan menggelengkan kepala.
Sebelum Gottahrd dijatuhi tuntutan tujuh belas tahun penjara, telah diketahui pembunuhan lain yang dilakukan pak pilot pada seorang penumpang, bertepatan ketika Van Jan Melk dibunuh.
Setelah tujuh belas tahun Gottahrd menjalani masa hukuman, seorang pria misterius turun dari cadillac di Taman Sonsbeek lalu menembak Gottahrd tepat di kepala—sepekan setelah ia bebas dari hukuman penjara.
Entah siapa yang memulai dan meyakinkan, kematian Gottahrd yang mengenaskan di Taman Sonsbeek itu, berhubungan dengan kasus pembunuhan Van Jan Melk dan berhubungan pula dengan pak pilot, tujuh belas tahun yang lalu.
Lain cerita bila Gottahrd tidak meminjam geretan pada Sorck—lelaki yang kebetulan ada di Taman Sonsbeek saat itu—pastilah Sorck tidak perlu repot-repot datang ke pengadilan untuk memberi kesaksian; bahwa sebelum ditembak, memang, Gottahrd menyalakan rokok dengan geretan miliknya.
Tanpa ditanya, Gottahrd lebih suka bercerita dan bermula dari situ Sorck tahu, bahwa Gottahrd menunggu seseorang di Taman Sonsbeek.
Mengenai siapa orang yang dimaksud, Sorck tidak dapat memberi jawaban pasti. Dan apa yang ingin Gottahrd lakukan dengan orang yang ditunggu itu, Sorck juga tidak tahu karena ia tidak tertarik dengan urusan orang lain.
Namun di pengadilan hari itu, Sorck ditanyai mengenai hal yang macam-macam. Selain ciri-ciri lelaki penembak—yang disebut-sebut turun dari cadillac merah—, ia juga ditanya mengapa lelaki itu menembak.
Sorck dibuat keliru dengan apa yang telah ia sampaikan. Sorck merasa dirinya dan kesaksian yang diberikan memanglah kerumitan lain yang tidak bisa disatukan. Sorck merasa lelah lalu memilih bungkam di tengah-tengah jalannya sidang. Dan seperti Gottahrd, akhirnya Sorck dihukum penjara, tujuh belas tahun lamanya.
Namun sebelum tujuh belas tahun terlaksana, Sorck meninggal setelah sebulan menjalani masa hukuman. Jasadnya tidak dikubur melainkan dilempar ke Sungai Nederrijn dan bergetayanganlah ia.
Bila ada muda-mudi memadu kasih, hantu Sorck sering mengganggu untuk merusak kerumitan yang lebih serius, ketimbang perasaan antar dua ingsan yang jatuh cinta. Maka tak heran, baru-baru ini ada mitos untuk membuktikan cinta, ujilah dengan bermadu di Sungai Nederrijn.
Beberapa orang yang tinggal di Arnhem pernah mendengar—entah dimulai oleh siapa—di dalam Sungai Nederrijn ada hantu Sorck yang digambarkan aneh-aneh. Kadang tanpa kepala, kadang berkaki satu, kadang juga tampak lebih rapi daripada seorang presiden turun dari pesawat pribadi. Dan beberapa warga lainnya tidak pernah mendengar atau pun percaya hal semacam itu.
Apa sebabnya, tidak lain karena jauh sebelum Sorck mati dan dibuang ke sungai—tepatnya sebelum Arnhem berdiri—diketahui sebuah cerita turun-temurun, bahwa Sorck bangkit dari tidur panjang setelah tertembak serdadu Loun. Sorck mendapati dirinya kesepian tanpa kehadiran kuda pon.
“Oh, aku belum mati” ucap Sorck untuk pertama kalinya setelah bangkit dari tidur panjang.
Seekor kuda tergeletak di sebelahnya. Tanpa kaki, tanpa gigi, dan tanpa nyawa.
Melihat itu Sorck ingat semuanya. Kuda itu kekasihnya, kuda itu sahabatnya. Ia dan kuda pon telah melewati belasan gunung tanpa setetes air untuk diminum hingga akhirnya bertemu dengan serdadu Loun. Tubuhnya telah mengering sampai-sampai serdadu Loun berpikir dua kali untuk menembaknya. Dan benar dengan itu, sebab serdadu Loun menyesal setelah melihat tidak ada darah dari bekas luka tembakannya di tubuh Sorck.
Karena kaget mendengar senapan serdadu Loun meletus, Sorck sontak pingsan dalam waktu yang tidak diketahui. Dan serdadu Loun yang terlalu sering bekerja serampangan, tidak memastikan apakah satu tembakan cukup membuat Sorck mati. Serdadu Loun telanjur kecewa dan harus mencari sumber air selain dari tubuh kering yang teronggok di depannya.
Dan apa yang terjadi dengan kuda pon, tidak diketahui pasti. Apakah ada serdadu lain yang memotong kakinya, meminum darahnya dan mencabut giginya, tidak ada cerita yang lebih jauh mengenai itu.
Sorck melenguh sambil bangkit untuk pergi meninggalkan semuanya; bangkai kuda pon, selongsong peluru berkarat, dan ingatannya tentang pertemuan dengan serdadu Loun. Setelah berjalan terlalu jauh hingga tahun-tahun melaju, Sorck mencapai hutan belantara yang gelap dan jatuh ke dalam jurang-jurang lembab—yang membawanya ke tahun yang lebih tua dari umurnya.
Dan begitu melompat keluar, dunia terlihat terlalu lelah dengan kesemrawutannya. Sorck disambut dengan tatapan orang-orang kelaparan bergigi kuning, kulit kering, kusam, dekil dan tubuh-tubuh mereka lebih kurus dari kaki kuda. Sorck tak tahu ia ada di mana sampai seorang yang berbahasa Indonesia, yang selalu bertanya dari abad berapa Sorck berasal, menjelaskan semuanya.
“Anda ada di Jakarta,” katanya. “Sebuah kota mesin yang mencetak mayat untuk hidup dari makan sampah,” lanjutnya.
Sorck yang hampir tidak berbicara, tidak dapat mengerti bagaimana orang-orang ini dapat bertahan hidup. Ia digelandang dari satu tempat ke tempat lain hingga dibawa ke bandara untuk ikut terbang dengan pesawat yang lepas landas dari Jakarta menuju Belanda.
“Saya tahu Anda orang Belanda. Saya akan kasih Anda jalan pulang,” katanya.
Sebelum sampai Belanda, pesawat yang ditumpangi Sorck lebih dulu mendarat di Bandara Changi, Singapura. Di situ Sorck melihat keanehan dari pak pilot yang sejak awal sering membuka dan membaca buku panduan berwarna merah. Sorck juga melihat keanehan dari lelaki berkumis tebal dan tubuh kurus yang sedari awal selalu memperhatikannya. Ia tak tahu mengapa dan siapa lelaki itu. Ketika ia naik ke pesawat lagi, lelaki berkumis tebal itu mengeluh sakit di bagian perut.
Dari rasa sakit yang berkepanjangan menyiksa, lelaki berkumis itu akhirnya meninggal di atas ketinggian 40.000 kaki. Kuat diduga, ia telah diracun. Kematiannya menggemparkan hingga tujuh belas tahun mendatang, bermula dari apa yang dimakan dan diminum lelaki berkumis itu.
Dan pada awal tahun 2005, surat kabar Fogt edisi misteri—hanya laku 100 oplah—memberitakan seorang penumpang pesawat Garuda Indonesia yang terbang 7 September 2004, melompat seperti D.B. Cooper, dan seorang penumpang lain yang berkumis tebal, mati keracunan. Apakah penumpang yang melompat itu si pembunuh lelaki berkumis yang menggemparkan Indonesia hingga tujuh belas tahun setelahnya? Tidak demikian, karena semua telah diketahui, bahwa pak pilot telah membaca buku panduan yang keliru, mengakui perbuatannya. Apa motifnya, pak pilot bungkam dan tidak mengangguk bahkan menggelengkan kepala, persis seperti Gottahrd saat disidang.
Hingga kini, tujuh belas tahun setelah semua itu berlalu, lelaki berkumis tebal yang selalu memperhatikan Sorck, baik di bandara dan kabin pesawat, meninggalkan tanda tanya besar atas kematiannya. Dan Sorck, tidak pernah tertulis di koran-koran Indonesia.
Ketika Sorck ditanyai mengenai hal itu oleh Gottahrd yang datang menemuinya, sepekan setelah bebas—Sorck tidak pernah menyadari bahwa pertemuan itu terencana—, Sorck tidak mengaku bahwa ia ikut terbang dengan pesawat Garuda dan melihat pak pilot sempat membuang buku panduan yang semula selalu dibacanya. Sorck hanya mengatakan ia telah lama mati tertembak serdadu Loun.
Dan apa yang terjadi selain seperti yang sudah diketahui; Gottahrd mati dan Sorck pun mati setelah sebulan dipenjara, serdadu Loun masih berkuda. ***