Oleh: Ibrahim Rasyid Zamzami
(Dapur)
seperti juga ibunda, merebahkan sayap-sayap ke pelupuk malam
menelaah pintu pendiangan; engkau singgah dan memercik cahaya,
menyempurnakan hidangan di belanga, biar gosong muka dan kaki
: menumbalkan diri demi anak-anak dan suami.
gelas-gelas bersulang dengan tulang-belulangmu
keringat menari sembarang di tegel-tegel kayu
muara bayangan terpecah belah terhunus sepasang
lentera merah dari sisi yang dianggap selatan, juga utara.
kusematkan istilah bidadari dapur padamu, berbalut gaun kapur
atau peralatan kamar mandi. walakin kesucian telah berlumpur
dilumuri noda-noda gelam cucian yang menyamarkan kerak bilur
di pori-pori jarimu; lubang di mana doa mengalir deras serupa tanur.
(Ruang Tamu)
matamu memikat lubang jarum, lawai-lawai kasih
tertuntun merajut pakaian. kupahami lubang-lubang
yang mekar di sekujur badanmu. konon anak-anak
ingin melacak ingatan dan warna darah dagingmu.
terlansir bercak-bercak hitam yang mengikat pinggang
di antara selerang longgarmu selepas melahirkan anak.
usia baru saja dipermak—menunda maut datang lagi.
kisah-kisahmu telah membuku, membeku di kepala
; perpustakan yang tak mungkin kubuka, pun kubaca
ada yang terlalu panjang dikisahkan, butuh keabadian menyimaknya.
(Kamar Tidur)
kau kembang api yang meledakkan susu dan madu
sekuntum ramuan kasih bagi kupu-kupu
berbabad kulasentana—di mana cinta diberi
dan digali, musim semi ditunggu sembari.
sedang kebencian ditanam dan dikubur
sedalam-dalam akar mencari subur.
(Pekarangan)
selayu-layu putik bunga kehilangan matahari
masihlah senduku serupa seruni yang sepi.
ini nasibku seekor lebah pengisap madu
kuhidu aroma melati, tengara kematianmu.
dan ladam-ladam pujangga berlalu pergi
—menanggalkan ritus kembara dan keletihan
subuh pun larut berkilah, kegelapan telah mati
di sana, ibunda telah berlari menuju surganya sendiri. (Bogor, 23 Agustus 2021)