Senyuman Bapak Walikota

Oleh : Ayu Nur Wulansari

Pagi ini Bapak Walikota dibingungkan oleh senyuman yang tiba-tiba hilang dari wajahnya. Seharusnya senyuman itu sudah terpasang di wajahnya begitu beliau bangun tidur. seperti biasa. Tapi kali ini senyuman itu mangkir entah kemana.

            “Mungkin belum kamu ambil, Jo,” kata Bapak Walikota kepada ajudan khusus pengatur senyuman beliau.

“Sudah, Pak. Senyuman hari ini sudah saya serahkan kepada njenengan tadi malam. Bahkan Bapak sendiri yang menyiapkan karena hari ini ada shooting untuk salah satu program TV Nasional,” ujar Joko.

Bapak Walikota melirik jam tangan bersepuh emas di pergelangan tangan kirinya. Sejam lagi shooting akan dimulai. Bapak Walikota gusar. Program TV Nasional ini adalah program paling bergengsi bagi pejabat pemerintah seperti Bapak Walikota. Tentulah Bapak Walikota ingin kehidupannya tersorot penuh kesempurnaan. Tapi bagaimana mungkin kehidupannya bisa tampak sempurna tanpa senyuman?

“Joko, ambil senyuman lain di gudang.”

“Siap, Pak!”

Joko berlari kecil melintasi halaman samping rumah dinas megah itu menuju gudang, meninggalkan Bapak Walikota mondar-mandir sendirian. Beliau tidak habis pikir, kemana hilangnya senyuman itu?

“Lapor, Pak. Nganu, kata penjaga gudang, tadi stok senyuman tinggal satu. Tapi barusan diperiksa lagi ternyata sudah tidak ada.” Joko datang tak lama kemudian, membuat Bapak Walikota semakin gusar.

“Telepon orang pabrik, suruh kirim senyuman baru sekarang juga!”

“Siap,Pak.”

Bapak Walikota masih mondar-mandir, menunggu Joko menyelesaikan tugasnya. Beliau kembali melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya. Lima menit lagi sebelum kru TV Nasional datang.

Joko langsung melapor kepada Bapak walikota begitu ia memutuskan sambungan telepon dengan pihak pabrik. “Sudah seminggu pabrik tidak memproduksi senyuman, Pak.”

Bapak Walikota terkejut bukan kepalang. “Bagaimana bisa, Jo?!”

“Bahan baku sudah habis, Pak. Pihak pabrik belum menemukan pemasok.”

“Memang apa saja bahan bakunya?”

“Kejujuran, kesabarandan ketulusan¸Pak.”

Saat Bapak Walikota sedang bingung mencari jalan keluar, salah satu ajudan beliau yang lain datang mendekat.

“Kru TV Nasional sudah menunggu di pendopo, Pak.”

Bapak Walikota kalang kabut memikirkan berbagai kemungkinan. Apakah beliau akan tetap melakukan sesi shooting meski tanpa senyuman? Apakah beliau harus membatalkan shooting dengan berpura-pura ada urusan mendadak? Apa kata rakyat dan kru TV Nasional nantinya? Bagaimana dengan reputasinya yang terkenal dangan murah senyum?

“Lim, jamu dulu kru TV Nasional dengan baik. Setelah itu sampaikan kalau saya sakit. Anemia saya kambuh. Lalu atur ulang rencana shooting.” Bapak Walikota akhirnya mengambil keputusan dengan memberi Salim -ajudan beliau yang datang mendekat tadi- perintah.

“Tapi apakah mereka mau, Pak?” tanya Salim ragu.

“Kalu mereka tidak mau, beri mereka hadiah yang mereka mau.”

“Siap, Pak.”

Salim mengangguk lalu undur diri dari hadapan Bapak Walikota. Napas beliau sedikit sesak mengingat kalimat terakhirnya kepada Salim. Hadiah. Hadiah apa yang kira-kira akan diminta kru TV Nasional? Ah, semoga mereka mau diajak bekerja sama.

“Jo,” Bapak Walikota kembali memanggil Joko yang masih berdiri, menunggu di dekat beliau. “Cek setiap kamera pengawas, cari tahu, kemana senyuman-senyuman itu pergi. Atau cari tahu siapa yang mengambilnya. Temukan petunjuk sekecil apapun. Laporkan segera.”

“Siap, Pak.”

Bapak Walikota bergegas menuju kamarnya dan mengunci pintu, bersembunyi dari mata-mata dunia yang seakan terus mengamati setiap detail pergerakannya.

***

            Dua hari setelah hilangnya senyuman, Bapak Walikota semakin uring-uringan. Pasalnya tadi pagi Joko datang melapor. Dia bilang, “tidak ada yang mencuri senyuman-senyuman itu, Pak.”

            “Lantas kemana perginya senyuman-senyuman itu, Jo?” tanya Bapak Walikota gusar.

            “Tidak tahu, Pak. Berdasarkan rekaman kamera pengawas, tengah malam sebelum senyuman-senyuman itu hilang, ada seberkas cahaya yang menyelinap keluar dari celah pintu gudang. Cahaya itu bergerak mengambang menuju kamar njenengan. Lalu seberkas cahaya lain keluar dari celah pintu kamar Bapak.”

            “Ah! Ngarang kamu, Jo! Gudang itu sudah dilengkapi sistem keamanan canggih. Mana mungkin ada yang bisa keluar-masuk kalau gudang itu sudah digembok, dikunci?!”

“Saya tidak berbohong, Pak. Rekamannya ada di ruang pengawas kalau njenengan ingin memeriksa langsung.” Ucapan Joko yakin meskipun tidak masuk akal.

“Jo, cari senyuman-senyuman itu sampai ketemu. Bagaimanapun caranya. Juga lanjutkan produksi, dapatkan bahan baku darimanapun dan apapun caranya!”

“Mungkin ini semua butuh waktu yang lama dan dana yang tidak sedikit, Pak.”

“Lakukan saja. Kita bisa meminjam dana proyek daerah untuk sementara waktu.”

***

            Joko memulai pencarian senyuman-senyuman yang hilang itu di rumah dinas Bapak Walikota. Ia menyiapkan sepuluh anjing pelacak terlatih untuk memeriksa setiap sudut rumah. Namun sayang pelacakan anjing-anjing itu tidak membuahkan hasil.

            Maka atas instruksi Bapak Walikota, Joko melanjutakan proses pencarian dengan cara apapun. Ia mulai menjamah seluruh toko, sekolah, instansi, masjid, lapangan, jembatan beserta kolongnya, bahkan rumah penduduk juga menjadi target pencarian Joko.

Bapak Walikota sering mengingatkan Joko, “hati-hati saat melakukan eksekusi, jangan sampai menimbulkan kecurigaan rakyat.” Demi terlaksananya titah tersebut, Joko menyiapkan beberapa kedok untuk menyamarkan proses pencarian senyuman-senyuman yang hilang itu. Misalnya saat Joko memiliki dugaan bahwa senyuman-senyuman itu dibawa kabur oleh tikus-tikus tanah lalu ditinggal entah dimana sebab ternyata senyuman-senyuman itu tidak bisa dimakan, Joko memerintahkan timnya supaya tanah-tanah dikeruk. Di kota, pengerukan tanah itu berjudul perbaikan saluran drainase. Di desa, namanya penelitian tingkat kesuburan tanah, untuk uji coba budidaya tanaman tertentu. Sedangkan di hutan-hutan dinamakan usaha untuk memaksimalkan potensi sumber daya alam.

Tentang pabrik senyuman, Joko berhasil mendapatkan bahan bakunya. Di wajah-wajah penduduk pemukiman kumuh, di gubuk-gubuk kardus bantaran kali atau tempat pembuangan sampah. Juga di tawa anak-anak kecil yang berlarian di dekat lampu lalu lintas, di bus-bus kota yang melaju ogah-ogahan, di  sepetak rumah sebuah keluarga yang jika duduk pun harus berdesak-desakan.

Dengan cara apa Joko mendapatkan bahan baku itu? Satu-dua kali Joko memintanya secara baik-baik. Kadang-kadang Joko harus merayu dan memaksa sebab mereka tidak kenal siapa Joko. Namun yang sering terjadi, Joko harus merampas bahkan mencuri bahan baku itu sebab mereka sadar, Joko belum tentu bisa menjamin perut mereka terus kenyang jika mereka bersedia memberikan apa yang diminta Joko.

Sebenarnya Joko merasa tidak tega melakukan semua itu terhadap mereka karena bagaimanapun juga, di mata Joko, apa yang Joko cari dari mereka adalah satu-satunya harta yang mereka punya. Tapi, ya, mau bagaimana lagi. Kalau Joko tidak melakukan itu, meminta, merampas atau mencuri bahan baku itu dari mereka, maka keluarganyalah yang akan menderita.

“Pabrik sudah bisa memproduksi senyuman lagi, Pak.” Joko melapor kepada Bapak Walikota di suatu hari.

“Bagus! Buat senyuman-senyuman menawan sebanyak-banyaknya. Juga teruskan pencarian senyuman-senyuman yang hilang itu.”

“Tapi, Pak. Dana proyek daerah mulai menipis.”

“Lanjutkan saja, Jo. Toh kita tidak rugi-rugi amat. Malah untung. Seperti waktu kamu mengeruk Bukit Anu. Ternyata disana ada harta betulan, batu kapur. Masalah dana proyek daerah itu urusanku. Tugasmu hanya melakukan apa yang aku suruh. Paham, Jo?”

“Paham, Pak.”

Hari-hari berikutnya Joko kembali sibuk berburu senyuman-senyuman yang hilang. Pernah sekali waktu Joko termenung di jam istirahat. Joko bertanya-tanya dalam benaknya, kapan ia akan menemukan senyuman-senyuman itu? Dan sampai kapan Bapak Walikota, memaksanya terus berburu?

“Setiap detik itu berharga, Jo. Jangan sampai hanya karena satu detik kamu kehilangan kesempatan untuk menemukan senyuman-senyuman yang hilang itu.” Kata Bapak Walikota saat tidak sengaja melihat Joko berebah di dekat gudang senyuman. Padahal saat itu Joko hanya ingin beristirahat sejenak setelah semalaman tidak tidur.

Joko menghela napas. Ia berpikir keras, mencari cara agar senyuman-senyuman yang hilang itu cepat ditemukan hingga sebuah pemahaman muncul dalam kepalanya.

Mau dicari kemanapun, kapanpun dan bagaimanapun, kalau bukan jodohnya pasti tidak akan dapat. Dalam banyak hal, semakin ia dicari, semakin jauh jarak terbentang.

Suatu hari, Joko memberanikan diri bertanya kepada Bapak Walikota. “Pabrik sudah bisa memproduksi banyak senyuman. Stok senyuman juga sudah menumpuk di gudang. Kenapa njenengan masih meminta saya mencari senyuman-senyuman yang hilang itu?”

“Kamu ini gimana sih, Jo? Tentu senyuman-senyuman yang hilang itu harus kamu cari sampai dapat! Apa kamu lupa berapa biaya yang harus saya keluarkan saat memproduksi senyuman bla…bla…bla…

Makian untuk Joko keluar dari mulut Bapak Walikota, tanpa henti, merepet sana-sini. Joko mendadak pening.

Akhirnya, dengan sisa tenaga dan harapan, juga rasa tanggung jawab untuk menafkahi keluarganya, Joko meneruskan pencarian senyuman-senyuman yang hilang itu sambil menenangkan kecamuk pertanyaan di dalam tempurung kepalanya.

Untuk apa? Bapak Walikota akan lengser dari jabatannya. Untuk apa senyuman-senyuman itu masih harus diburu? Kenapa tidak pensiun dini daripada harus berburu senyuman yang mungkin hanya ilusi itu?

“Jo! Semua senyuman di gudang hilang!” Bapak Walikota berteriak histeris di sambungan telepon. Joko yang saat itu sedang mengobok-obok gumpalan awan diminta segera mengahdap Bapak Walikota. Ia menurut daripada harus disembursembur.

“Saat saya ingin memeriksa gudang senyuman tadi malam, berkas-berkas cahaya keluar dari celah pintu gudang. Warna-warni, indah. Saya baru sadar setelah subuh. Ternyata saya terpesona kepada berkas-berkas cahaya itu semalaman. Dan ketika saya buka pintu gudang, senyuman-senyuman yang awalnya bertumpuk dan berjejer rapi sudah tidak tersisa sama sekali. Mereka hilang, Jo,” kata Bapak Walikota gemetar memberi tahu begitu Joko muncul di hadapannya.

“Dan pabrik senyuman itu ambruk, Jo. Dihancurkan berkas-berkas cahaya itu.” Bapak Walikota menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kuat-kuat. “Tugasmu sekarang, Jo, cari semua senyuman yang melarikan diri itu. Sampai dapat!”

Joko bisa merasakan tatapan Bapak Walikota menghunus nuraninya. Itu berarti harus ada lebih banyak air mata, luka dan derita. Sekali lagi, Joko bisa merasakan tatapan Bapak Walikota menghunus nuraninya. Namun tekadnya sudah bulat untuk memilih sebuah keputusan yang tidak akan disesalinya. Ia menarik selembar kertas dari balik kemeja yang ia kenakan, menyerahkannya kepada Bapak Walikota.

“Apa ini, Jo?” tanya Bapak Walikota bingung.

“Surat, Pak. Surat pengunduran diri, saya pensiun dini.” ucap Joko tegas. Sebuah senyuman menghiasi wajah lelahnya. Senyuman yang menawan.

Setelah urusan dengan Bapak Walikota rampung, Joko berbalik badan lalu pergi meninggalkan Bapak Walikota yang melongo menatap surat dan punggungnya bergantian.

***

            Di suatu tempat yang tidak ada seorangpun yang tahu, berbagai berkas cahaya datang dari segala penjuru arah, menjelma senyuman-senyuman menawan. Mereka berkumpul, menatap penuh salut kepada Joko yang keluar dari rumah dinas Bapak Walikota sambil menyapa kemerdekaan di sekelilingnya.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami