: Cakranegara, 1894
(Ilham Rabbani)
Akhirnya,
dari Barat sana
peta pun
diberi tanda–
(di timur)
Praya pula membara
dan pada jendela puri
terbingkai rupa-rupa gambar:
lanskap nyawa terbakar.
Di luar,
angin
tersulam debu.
Sepi terbirit, tepat
ketika peluru pertama
lepas dari selongsong
kematian.
“Bukan peluru, Sayangku,
tetapi ketundukanmu
(pada kulit-kulit pucat), ialah
yang lekas memagut maut.”
Pada puputan itu,
lepaslah jiwa-jiwa
dari sarira-kosha.
“Kita
mungkin sama bertanya:
‘Apatah yang tersisa
bagi Tanah Mirah
Sasak Adi
setelah ini–
hanya ada hening suratan;
atau geram-ngilu-dendam
yang beradu rambat api
sepanjang
dinding nyali?’”
Praya-Yogya, 2021-2022