Suluk Api Malang Sumirang

Yohan Fikri Mu’tashim

[1] “Andai kata kami tak dititah Sultan, adik tuan itu, tak sudi kami menggendong sepasang binatang yang telah membuat jubah kami basah, lumur mughalazah!” Mungkin lantaran geli, lelaki itu hanya menimpal sesimpul senyum, kemudian berkata:

Betapa hati kalian telah terpenjara oleh ayat dan syariat. Jubah yang kalian kenakan, sorban yang kalian sampurkan, dan imamah yang melilit lingkar kepala itu, adalah penjara yang mengurung kepak-jiwamu. Terali besi memisah akal-nurani, pasung baja yang menurungku dengan rasa shalih semu. Tidakkah syariatmu pernah mengajarimu: Merasa diri suci, adalah najis itu sendiri?

[2] Dan panas itu menampar-nampar kulit mukaku. Panas itu menjalar-jalar ke sekujur tubuhku. Panas itu ruam dendam yang menyengat sumsum tulang-tulangku. O, api itu membuatku terkenang kepada Sita: Perempuan yang setia itu. Ia yang terjun ke rimbun api, ia yang menyelam ke dalam bara. Dan, seperti Sita, bukankah imanku persis kesetiaan yang terus-menerus kau pertanyakan?

Api itu, kini mengingatkanku juga pada Trikota yang terbakar: Ibu kota Alengka yang dicintai oleh Rahwana. Seekor kera utusan, suatu malam pernah menjarah dan membumihanguskannya: Lapak-lapak dagang, rumah-rumah warga, istana, rakyat yang ia cinta, serta bayi-bayi yang tak berdosa, seperti harapan: Kerlip api nyaris padam. Ia pun menangkap dan membakar kera itu. Lalu kidung-kudung agung, pupuh-pupuh tembang, serat-babad di kertas dan batu-batu, di kuil para dewa, di pena para pujangga istana, di ingatan para penyair berabad-abad setelahnya, terus mengabadikannya sebagai dosa yang asali. Tetapi ia hanya membakar seekor kera, bukan? Ia tak sampai membunuh satu pun nyawa. Ia tak menghanguskan seluruh Ayodya.

[3] Dan kini, tak ada sekawanan merpati yang melayang di atas unggun pembakaran ini (tetapi Tuhan tak pernah meninggalkanku sendiri). Merpati-merpati yang air matanya pernah jatuh-menangisi nasib Ibrahim. Tak ada rahim garba yang merahasiakan gigil Muhammad. Tak ada jejak domba, yang melamurkan langkah pembunuh. Tak ada laba-laba yang mengecoh mata musuh. Tetapi aku bukan Ibrahim, aku bukan Muhammad. Aku, Syarif Abdurrahman, laqabku Sunan Panggung. Di sini, di jantung kemelut api, hanya ada aku dan sepasang anjing yang kucintai (tetapi aku tak akan melarikan diri). Di luar, para cicak—atau yang lebih kerdil daripada cicak—mencibir dengan getir, bertakbir dalam benci: “Api itu akan menakhlikkanmu sebagai abu, sebagai debu!” Ya, aku akan jadi abu, aku akan jadi debu—yang mentayamumkan seluruh hadatsmu!

Namun kini, Gusti pun bahkan menyertai anjing-anjingku yang suci. Tidakkah kalian saksikan itu? Api yang kobarnya dinyalakan oleh hati yang najis, tak akan kuasa mengeropok sehelai pun bulunya. Maka, api itu pun tak akan mampu membuat dagingku menjadi abu, tulangku menjadi arang. Apimu tak akan mampu membakar tubuhku, karena kaulah yang akan terbakar apimu sendiri. Sebab imanku, tajam kapak Ibrahim. Telah kukalungkan kehancuran di dadamu yang berhala. Dan kau akan menjelma api yang menyusut sulut-panasnya.

[4] Kemudian, seperti Sita, ia pun melenggang ke raung api, ia pun menuju ke rimba bara. Dan seperti Ibrahim, api itu tak sedikit pun melumat kulit jangatnya. Ia bukan Trikota yang terbakar. Ia bukan raja yang kalah. Sebab ia tak pernah berhasrat jadi pemenang. Ditemani sepasang anjingnya yang setia, ia pun lantas duduk dan menganggit sepucuk suluk: Menakar debar sebagai iktibar, menyitir getir sebagai tafsir. Lelaki itu menjelma senyap, lelaki itu merupa jeda; sayup dari yang riuh, menangkap bisik dalam yang gaduh.

Dan jika jasadku nanti hancur terpanggang, ruhku bakal melayang ke lain ruang: Ruang tanpa pintu tanpa palang, yang tak akan bisa kaumasuki. Ruang yang meriapkan wangi kesturi, ruang yang meruapkan zikir para nabi, ruang yang harumnya kaubayangkan menguar dari ketiak para bidadari. Duh, Gusti, mengapa mereka risalahkan nama-Mu dengan besi dan api? Dengan besi dan api!

*) Puisi ini terilhami dari kisah eksekusi Sunan Panggung: Salah seorang wali dari Tanah Jawa yang kontroversial pada zamannya, penganut paham yang disebarkan Syekh Siti Jenar, yakni manunggaling kawula gusti.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami