Oleh: Tjak S. Parlan
Setelah banjir bandang menggerus ladang-ladang,
langit kembali terang—langit dengan selengkung
keluwung menjulur ke pusar kedung.
Lalu di antara ricik Karang Tambak,
gelak masa kanak-kanak berderai ke dalam benak:
mereka yang datang dengan rakit-rakit batang
pisang dan menguasai arus sungai,
mereka yang memiliki kegembiraan masa belia
—masa-masa yang nirmala.
Maka setiap kali menapaki bantaran sungai ini,
seseorang akan berdiri di sebuah tepi, tangannya
menjangkau ke joran bambu masa lalu dan hatinya
yang lekas memar, bertanya-tanya:
“Ke mana perginya anak-anak belanak? Di mana
kawanan wader pari bersembunyi? Atau mujair yang kerap
luput dari mulut seser, udang dan uceng warna kelabu
yang terperangkap ke perut bubu?”
Bagaimana tahun-tahun majnun menghabisinya?
Tahun-tahun tanpa mata kail—tahun-tahun
tanpa musim panen.
Barangkali tak cukup puas dengan potas dan tuba,
Mereka yang bertangan pandir melarung segala
sampah hingga ke hilir, hingga arus
tak lagi mengalir. Hingga
kedung-kedung menjadi suwung
dan murung.
Hingga tak ada apa-apa selain
bau anyir-getir yang menguar
dari sekujur sungai.
Tapi seseorang akan tetap kembali,
barangkali ketika musim hujan penghabisan.
Hanya untuk berdiri dan memandangi
—dengan hatinya yang rawan—
sebatang sungai yang menjangkau
jarak puluhan tahun ke tanah rantau.
Peresak-Tempit, 3 Juni 2022