Surat Kepada Bapak

Ardi Wina Saputra

Surat Kepada Bapak

Rembulan teramat bundar bersembunyi di balik awan hitam yang sesekali menyelimuti pendarnya. Sang ratu malam itu seolah mencari-cari alasan untuk menutupi wajahnya agar tak nampak pada hamparan tanah Kediri. Daun malam mulai malas berayun, malah tunduk lesu pada pemandangan di hadapannya. Lalu angin, dia malah lari menjauh sejauh mungkin. Entah, ia tampak ingin menghindar dari kenyataan yang sedang dihadapinya. Semua seolah serba salah, serba dilanda kebimbangan yang amat dahsyat. Sorak-sorai dan gegap gempita malam pergantian tahun tak lagi menarik dirayakan. Malam ini, 31 Desember 1949, tak ada satu pun yang mau membuka mata atau menjamah pada seorang lelaki yang sedang berlutut di tanah pemakaman.

Lelaki itu berwajah sembab, penuh duka. Kemeja drill lengan panjang berwarna hijau tua menempel di tubuhnya, lengkap dengan dasi putih yang menjuntai dari leher menuju pusar. Celana warna kaki masih hangat melilit kedua lututnya, baru selesai disetrika. Tangannya erat mendekap kotak besi berwarna hijau lumut yang dibawanya sejak tadi. Hanya suara sesenggukkan diiringi kepak sayap kelelawar yang masih terdengar di langit keramat.

Lelaki yang berlutut di pemakaman itu membuka kotak besi berbentuk menyerupai kaleng ransum. Air matanya kembali pecah ketika mengetahui sehelai kertas berwarna kuning kecoklatan berbaris rapi memenuhi kotak itu. Ada noda hitam di ujung sebelah kanan atas kertas itu, bekas terpanggang api. Dengan tangan gemetaran, ia mengambil helaian pertama yang posisinya paling atas. Perlahan tapi pasti, dibukanya kertas itu. Pupil matanya menajam menembus air yang terus memancar dari ujung kelopak mata lelaki tua itu. Lamat-lamat ia menyebut panggilan yang lama tak didengarnya karena pergi ke medan perang, “Bapak…”

***

Bapak

            Bapak,  aku takut

            Aku sungguh takut Pak

            Aku takut salah

            Aku takut salah menulis Pak. Tulisanku….tulisanku ini sudah benar atau belum Pak? Kok aku tidak bisa nulis Pak! Tulisanku ini apa ya sudah terbaca toh Pak? Bapak bisa membacanya kan Pak? Semoga tidak ada yang salah ya Pak. Aku sungguh takut.

            Pak, menulis itu bagiku kok sulit sekali ya Pak ya! Kok lebih baik menggambar saja ya daripada menulis. Aku tidak bisa menulis Pak. Lebih enak menggambar. Menggambar itu mudah. Bapak mau  kugambarkan apa? Kugambarkan tentara? Kugambarkan pesawat? Kugambarkan pistol? Atau kugambarkan lampu yang menyala di Alun-Alun Pak?

            Bagaimana Pak? Menggambar lebih mudah kan daripada menulis. Aku ini mau menulis karena dulu disuruh Bapak lho. Bapak pernah bilang, kalau Bapak sudah berangkat perang maka Bapak minta dikirimi surat. Lha surat itu tulisan kan Pak? Surat apa ada yang gambar? Tidak ada!

            Aku sudah tanya pada Mas Sugeng tetangga kita, surat itu apa toh Mas? Lalu Mas Sugeng mengajariku membuat surat. Sulit Pak. Sungguh sulit. Pernah aku menulis seharian penuh dan tidak bisa-bisa sampai menangis aku. Namun saat aku menangis, Mas Sugeng selalu menghiburku. Kata Mas Sugeng, aku nanti tidak bisa memberi kabar pada Bapak jika suratku tidak selesai. Oleh karena itu, aku belajar sungguh-sunguh untuk menulis surat Pak.

            Bulan lalu saat Bapak mau berangkat, Bapak berpesan agar aku menulis surat kan?. Bapak memang sudah mengajariku, tapi terterlalu cepat. Sesungguhnya aku masih bingung Pak. Oleh sebab itu aku minta tolong pada Mas Sugeng untuk membuatkanku surat. Oh iya, Mas Sugeng tadi sudah kubicarakan ya? Duh lupa aku Pak. Biarkan sudah Pak, aku tidak bisa menghapus tulisaku, jadi biarkan saja Pak

            Pak-Pak perang itu enak ya Pak? Sekolah bisa libur Pak! Aku bisa lama liburan. Aku bisa belajar menulis lagi. Aku memang tidak suka hitung-hitungan Pak. Setiap pelajaran menghitung, nilaiku selalu jelek dan aku selalu dihukum oleh guru. Lha sekarang kan perang, aku tidak dihukum. Aku bisa menulis surat ini Pak, saat liburan, aku menulis surat untuk Bapak.

Pak Bapak, tapi saat liburan ini tidak ada penjual gulali. Bagaimana Pak? Aku tidak bisa beli gulali lagi Pak. Tidak apa apa ya Pak, nanti saja kalau Bapak pulang, aku antarkan membeli gulali di alun-alun ya Pak.

Oh iya Pak, Bapak di sana bagaimana kabarnya  Pak? Bahagia? Sudah makan atau belum Pak? Lauknya apa? Makan sambel teri kesukaanya Bapak tidak ada ya Pak? Sisahkan aku sambel teri ya Pak kalau masih ada. Aku ingin makan sambel teri di samping Bapak sambil mengawasi ayam-ayam kita.

Pak sudah ya Pak, aku ingin tidur dulu. Seharian aku tidak tidur membuat surat ini. Ini surat pertama yang kutulis Pak. Oh iya, aku sekarang juga suka menggambar Pak. Di bawah surat ini, kuberi gambarku. Aku menggambar lampu Pak. Lampu yang kita lihat dulu di alon-alon Pak. Ajaklah aku ke sana ya Pak. Segera pulang Pak. Terima kasih.

***

Surat itu pun dilipat oleh lelaki yang berlutut di pemakaman. Kali ini hatinya semakin tersayat, remuk redam tak terjamah. Dari semua puing-puing dan bongkahan-bongkahan, hanya kotak besi berisi surat itu yang tersisah. Dia yakin bahwa masih ada surat-surat berikutnya, tapi lelaki itu tak berhasil menemukannya. Andai di awal tahun ia tidak ikut bersama anggota greliya pasukan Sudirman, pasti semua ini tidak akan terjadi.Ingatanya melompat pada malam saat mendongengi anaknya agar terlelap, mengecup dahi istrinya lalu pergi bergreliya meninggalkan kampung halaman. Ia meronta sekeras-kerasnya, meraung-raung laksana anjing kuburan hingga tak ada satu setan pun yang berani keluar kuburan malam itu. Mereka seolah membisu membiarkan kerajaan malamnya disinggahi oleh tamu yang baru saja datang tadi siang dari sebuah perjalanan yang teramat jauh.

Lama lelaki itu menangis dan merapal sekenanya. Kira kira hampir satu jam, mulutnya menggetar kelu. Ia lelah berteriak. Kini lelaki itu tak lagi berlutut melainkan rebah ke kiri, tanganya memeluk gundukan tanah yang sedari tadi ditangisinya. Ia teramat lemas lalu tidur terlentang menatap langit.

Rembulan masih saja menutup wajahnya di balik awan yang tak kuasa hendak menangis. Bintang pun tak berani nampak meski sekedar berkerdip saja. lelaki itu tetap terlentang. Bola matanya bergerak ke kanan dan kekiri secara perlahan namun bersamaan. Ia seolah sedang mencari sesuatu, hingga bola mata itu berhenti di sudut kanan kelopak matanya. Ia melihat lampu, ya sebuah lampu jalan berbentuk bola. Lampu yang hanya satu buah di ujung kuburan itu ditamatkannya dengan tatapan penuh tanya, penuh luka, dan penuh bekas darah. Ah seandainya lampu itu tahu apa yang sebenarnya ia rasakan, pasti ia akan mengaduh pada sang empunya pendar. Perlahan tapi pasti, sorot lampu itu menggambarkan segala peristiwa. Lelaki itu tenggelam , terseret masuk ke dalamnya.

Di sana dia melihat bahwa sepeninggal dirinya pergi bergreliya, desa menjadi tidak aman. Suasana pedesaan di Kediri sangat mencekam. Setidaknya ada tiga musuh utama yang menjarah desa, tentara Belanda, pribumi yang menjadi antek-antek Belanda, dan pelarian PKI 48. Paginya, desa dijarah oleh tentara Belanda beserta dengan antek-anteknya. Setiap rumah digeledah dengan alasan pencarian Jendral Sudirman. Tak jarang saat menggeledah, para tentara ini memerkosa dan mengambil barang berharga milik warga. Penyiksaan dan pembunuhan pun tak segan dilakukan apabila tak taat aturan atau mencoba melawan. Malamnya, warga tak bisa tidur nyenyak. Para pelarian pembrontakan PKI menjelma menjadi pencuri dan lagi-lagi menjarah rumah warga. Mereka ini merupakan pelarian dari pertempuran Solo yang melarikan diri ke Nganjuk hingga Kediri. Lelaki itu melihat kilatan kilatan peristiwa tersebut dengan teramat cepat di dalam bholam lampu makam. Semakin lama, cahaya lampu itu semakin barak seolah ingin menceritakan semua.

Cahaya itu menunjukkan orang-orang berbaju merah berlogo palu arit bertikai dengan tentara Belanda. Banyaknya para pelarian ekstrimis PKI di desa, membuat tentara Belanda tak mau ambil pusing. Bersama dengan antek-antek dan sekutunya, mereka mengerahkan seluruh kendaraan lapis baja dan senjata api untuk mengepung desa. Membakar masal dan meluluh lantahkan semuanya. Semua hancur lebur, termasuk rumah dan keluarga dari si lelaki. Melihat kejadian itu, lelaki hanya bisa berteriak dan menjerit lagi. Namun seketika itu cahaya di hadapanya lenyap dan ia terlempar kembali, tersungkur memeluk tanah pekuburan anaknya.

***

“Maafkan Bapakmu ini Le! Saat kalian kesusahan, Bapak malah berperang memukul mundur pasukan Belanda di kota lain”. Lelaki itu ingat akan perjuanganya dan kemampuanya menumpaskan lawan-lawan Belandanya. Dia berhasil merebut senjata Belanda, lolos dari berbagai ranjau, hingga menyusup ke dalam markas penjajah. Namun di sisi lain, anak istrinya tak mampu dia selamatkan.

Saat itu ia hanya ingin merdeka, mengawal Sang Jendral bergreliya demi tujuan mulia. Ia ingin menjadi bagian menunjukkan pada dunia bahwa tentara Indonesia masih ada, meski Belanda ingin kembali menjajah. Perjuanganya memang tak sia-sia dan di akhir tahun, kedaulatan Indonesia kembali diakui dunia. Tapi tujuan itu membuatnya mengorbankan anak dan istrinya. Dia bahkan tak mampu melihat perkembangan dan segala daya usaha anaknya. Kini lelaki itu hanya mampu menggenggam surat dari anaknya dengan teramat erat di samping tanah gundukan yang ia sendiri tak begitu yakin kalau itu makam anaknya. Ada banyak nisan tak bernama di tempat itu yang diauki sebagai makam penduduk desa ketika peristiwa pembakaran terjadi.

Lama lelaki itu merenung, air matanya telah mengering. Sayup-sayup terdengar suara ayam berkokok tiga kali. Pertanda matahari pagi akan datang, Januari 1950 akan tiba. Kedaulatan Indonesia semakin diakui oleh negara-negara lain, Agresi Militer Belanda mulai surut, tapi satu pertanyaan yang tak mampu dijawab oleh lelaki itu, “Kemerdekaan ini untuk siapa?”

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami