Oleh: Robertus Bellarminus Onul Unggas
Pukul 17.35, 2016, di pelabuhan ini. Sebelum kapal bersandar, kau menengadah ke langit. Apa yang kau lihat adalah bentuk-bentuk paling sabar.
Kau menunggu sebelum pergi bersama anak-anak yang memisahkan dirinya dari orangtua, bapak-bapak yang meninggalkan istri dan anaknya untuk merantau entah ke mana; sama seperti kau yang tak kunjung menemukan alamat dan alasan untuk pergi. Kalian menangis dengan kesedihan masing-masing. Sebelum benar-benar pergi, kau ingin aku mengirimkan surat sebulan sekali. Kau ingin tau seperti apa bentuk kota ini.
Maka pada dua hari lalu, di pukul yang sama seperti kau meninggalkanku, aku menulis surat untukmu.
Di sini, ada beberapa orang berteriak dengan kalimat yang sama;
Usia hanyalah angka-angka,
Usia hanyalah angka-angka,
Usia hanyalah angka-angka.
Gema teriakan itu mengusik dua orang anak manusia yang menunggu senja pulang untuk menutup ciuman-ciuman mereka, meraba-raba dinding yang tinggi, pun menghantam suara beberapa orang yang tengah ramai berbicara dengan lebih dari dua bahasa.
Memang, beberapa bulan terakhir, kota ini menjelma tanah yang asing. Kau tak lagi melihat tanah yang lapang sebab bangunan-bangunan tinggi telah ramah didirikan. Hutan-hutan telah menjelma resto-resto megah yang tak dapat kau kunjung karena gaji bulananmu hanya cukup sampai di pagar-pagar sebelum pintu masuk. Kita harus bernapas dengan pelan dan ringan sebab pohon-pohon telah ditumbang dengan alat-alat berat.
Kota yang kau cintai dengan sederhana ini telah didirikan dengan pahatan angka-angka; dibangun tiada sejak mereka mendirikan sebagian dan melenyapkan hampir segala.
Aku yakin, bila mana kita berjumpa, aku akan memberikan perntanyaan diplomatis,
“ini cinta atau nestapa?
Kau tidak perlu menjawab pertanyaan ini cepat-cepat, Henitma, sebab jawaban selalu ada pada tempatnya masing-masing. Kau hanya perlu memejam lalu mendengar suara lantang palu para tukang; detak gelisah para pramusaji, kepasarahan-kepasrahan manusia. Ketika kau membuka mata, kau akan melihat keindahan yang besar dan berhasil menutup hirup-pikuk isi kepala yang kecil.
Henitma. Aku ingin menutup surat ini dengan kalimat yang selalu kuulang-ulang, lebih sedikit jumlahnya dari bagaimana kumencintaimu.
Kemajuan ini adalah irisan antara kehidupan dan kematian
dan yang dapat bertahan hanya mereka
Yang masih sanggup tertawa di tengah tangis, haru,
dan kebencian-kebencian yang lain.