Tanah Jadah

Oleh: Abu Dzar

Buraja terjengkang saat mengetahui istrinya bunting. Seharusnya itu kabar baik, tetapi bagaimana mungkin itu terjadi saat ia bahkan jarang pulang dan bertemu dengan istrinya hanya saat sarapan. Buraja gemetaran, wajahnya serupa kulit pisang busuk yang tak enak dipandang. Sementara itu, Jamilah istrinya justru terbahak-bahak seraya memukul meja makan. Tiada roman bersalah, atau pun menunjukkan penyesalan.

Rumah laksana palagan siang itu musabab Buraja tiada lagi mampu menahan emosi. Pecahan piring berserakan di lantai, dan Jamilah memegang perutnya yang buncit bertahan di balik pintu kamar dengan rambut kusut masai. Tetangga dekat ribut berdiri di luar rumah, sebagian masuk mencoba menenangkan yang bertikai. Mereka tahu apa yang terjadi, desas-desus sudah menyebar di desa sejak sepekan. Katanya, Jamilah bergaul dengan lelaki lain. Buraja meraung-raung, tangannya berusaha menggapai Jamilah. Lima tahun rumah tangganya runtuh bahkan sebelum mereka sampai di anak tangga terakhir.

“Jalang jahanam! Beraninya kau bermain dengan lelaki lain di belakangku!” Buraja meninju tembok, dua tetangga menahan badannya. Dua meter di depan, Jamilah terduduk. Wajahnya tertutup rambut. Seringai buas tampak dari balik helai-helai yang menjuntai jatuh. Perempuan itu mana mau mengerti kemarahan suaminya sebab ia tiada lagi mampu melihat kehadiran dirinya di tengah kesibukan suaminya itu.

“Pergi saja sana!” Bukan saja Buraja yang marah, nyaris semua orang yang hadir di sana memandang Jamilah dengan sinis.

Dengan langkah gontai, Jamilah beranjak. Ia masuk ke dalam kamar, mengunci pintunya. Para tetangga ramai berceloteh. Buraja ditenangkan. Jikalau mereka tidak sigap datang membantu, entah bagaimanalah nasib suami istri itu. Mungkin, salah satunya sudah terluka karena amukan yang tak lagi bisa ditahan. Sampai Pak RT datang menjumpai Buraja, keadaan masih saja bersitegang. Rumah itu ramai sampai langit menjelaga.

Di dalam kamar, Jamilah tengah memasukkan pakaian ke dalam koper. Sesekali ia mengelus perutnya yang buncit. Mungkin, sudah lima bulan kandungannya itu. Jamilah tak tahu persisnya. Tatkala pendar matanya sampai di jendela, terlihat pucuk daun mangga mengetuk-ngetuk kaca. Jamilah teringat sosok lelaki yang datang menemuinya di bawah pohon mangga. Mereka terlibat obrolan panjang, padahal perempuan itu sedang membersihkan halaman. Mulanya biasa saja, sampai tiga hari kemudian keduanya menampakkan kedekatan lain. Sesuatu terjadi tepat sore hari itu, dan Jamilah merasakan perasaan hangat yang entah kapan terakhir kali didapatkannya.

Lantaran Jamilah jelita serupa namanya, ia kerap menjaga diri dan lebih banyak berkegiatan di sekitar rumah. Lelaki pesong tak jarang menggoda. Buraja sebagai suami tiada punya kuasa setelah dirinya naik jabatan di kantor. Pekerjaan menumpuk. Ia baru sampai di rumah pukul tiga dini hari, lalu terlelap dengan cepat. Pagi-pagi sekali setelah sarapan, Buraja lekas pergi lagi. Siklus tersebut membuat Jamilah bosan. Nyaris setiap malam, tatkala suaminya pulang ia sudah berdandan di kamar. Harum tubuhnya semerbak. Namun, Buraja buta dan gelap oleh harta. Ia tidak menyentuh Jamilah seujung helai pun.

“Bawa keluar Jamilah! Tanya siapa lelaki yang bermain dengannya.” Buraja menghampiri pintu kamar, hendak membukanya. Tangan Pak RT memegang kenop lebih cepat, lantas menggeleng. Belum saatnya.

Siapa lelaki itu? Jamilah mendengarnya. Pertanyaan itu membuat kepalanya berputar-putar. Ia ambruk ke atas kasur, tidur memeluk lutut. Gambaran wajah lelaki yang menemuinya di bawah pohon mangga tumpang tindih dengan bayangan lain yang datang menyergapnya. Entah bagaimana rupa mata, hidung, dan mulut si lelaki. Jamilah kalut memikirkan semua itu. Siapa ia? Perempuan itu membenamkan kepala di bawah bantal. Sekelebat adegan bermain-main di pelupuk mata.

Buraja menatap buas Pak RT, menghendakinya untuk hengkang dari depan pintu. Namun, Bapak beranak dua yang usianya masih terbilang muda itu kukuh menghadang. Tetangga lain bersitegang di belakang Buraja. Salah satu dari mereka gegas memegang tangan lelaki itu. Menyuruhnya duduk lagi. Dengan napas berat, akhirnya ia mengalah. Perkara Jamilah bunting mengusik ketenangannya. Ia lupa pekerjaan, sampai rasa lapar juga diabaikan.

“Kau tahu siapa lelaki yang menghamili Jamilah?” tanya tetangga sepuh pada pemuda di dekatnya. Tampaknya ia juga penasaran.

“Aku tidak tahu persisnya, Pak Ramli. Katanya lelaki itu memikat hati Jamilah. Ia sering hadir saat Pak Buraja tidak ada di rumah,” jawab si pemuda mengingat-ingat.

“Aku pernah melihatnya sekali, sosoknya memang gagah. Sayang, aku tidak melihat wajahnya. Dari aura yang kurasakan, sepertinya lelaki itu satu desa dengan kita,” komentar yang lain.

Ribut-ribut para lelaki bergunjing di halaman luar. Hingga suara itu sampai ke dalam, telinga Pak RT panas mendengarnya. Terlebih, Buraja kian terbakar hatinya.

Sejak awal menikah, Buraja bersikukuh ingin menghidupi keluarga tanpa kekurangan sedikit pun. Ia fokus bekerja, menargetkan promosi jabatan di kantor. Istrinya, Jamilah, wanita muda yang kecantikannya membuat gaduh desa. Buraja pernah merasa terancam karena hal itu, saban malam dan pagi ia tidak melepas Jamilah berjalan sendiri. Lelaki itu menjadi sosok suami yang baik hati dan penuh penjagaan. Keseharian tersebut menjadikan Jamilah merasa hangat, hidupnya bermakna. Sayangnya, memasuki tahun ketiga Buraja terpincang-pincang sebab Jamilah tak kunjung mengandung. Ia menghabiskan banyak waktunya di kantor, dan Jamilah dibiarkan tergolek di kubangan yang gemerlap oleh harta benda.

Suatu malam pernah Buraja tidak mendapati Jamilah di rumah saat pulang. Padahal, sudah lebih dari pukul tiga dini hari. Ia sempat mencarinya di dapur, barangkali wanita itu sedang memasak sesuatu. Tidak ada. Buraja mengecek kamar mandi, teras belakang, halaman depan, sampai gudang, Jamilah tetap tidak ditemukan. Saking lelahnya, lelaki itu tak kuasa lagi mencari. Ia membuka pintu kamar dengan kasar. Tidur sembari memeluk amarah. Kala pagi menyiram wajahnya, Jamilah sudah tampak cantik di dapur. Sekilas, ada gurat-gurat merah di sekitar leher dan pergelangan tangan istrinya. Buraja sarapan, dan pergi tanpa menanyakan apa-apa.

Malam menyergap desa dengan kelam. Beberapa tetangga sudah membubarkan diri, sebagian besar lelaki masih tinggal di dalam. Jamilah tak kunjung mau keluar kamar. Pak RT dan sesepuh desa sampai berbusa membujuk wanita itu. Buraja tak henti menggedor pintu. Mereka semua semacam sedang berburu saja, tidak sabaran, berlaku kasar. Tak terbilang lagi umpatan yang dikeluarkan mulut-mulut berlidah api itu. Mereka tidak berpikir bagaimana sesungguhnya kondisi Jamilah.

Dedaunan pohon mangga lagi-lagi mengetuk kaca jendela. Redup lampu di halaman samping menyinari sebagian dahan yang menghitam di telan malam. Jamilah beringsut ke arah jendela, matanya nanar menatap ke luar. Di bawah sana, bermacam rupa wajah timbul tenggelam memasuki dirinya dengan rakus. Si lelaki yang waktu itu datang, rupanya membawa teman di hari-hari berikutnya. Mereka bergiliran serupa sedang membajak sawah. Berpeluh sampai rasanya itulah hal paling memuaskan di dunia. Jamilah bergidik. Ia bukan perempuan jahanam, sebab sesungguhnya tanah inilah yang durjana. Sesekali ia menertawakan nasibnya yang sama persis dengan kewarasannya: nyaris minggat dari kepala.

 Saban malam ketika kesuciannya dijagal, Jamilah harap Buraja datang menolongnya. Membumihanguskan seluruh kekejian itu dalam kuasanya. Namun, sampai jabang bayi hadir di perut, sosok Buraja hanya sekadar angan yang jauh. Muskil digapai. Ia merintih sendirian, suaranya bagai lembu yang melenguh dan tidak disukai orang. Andai kecantikan Jamilah biasa saja, mungkin ia tidak terluka. Mengapa lelaki pesong memiliki rupa dan cara-cara yang tidak diduga untuk memikat mangsa? Sungguh penuh tipu daya.

“Kita dobrak saja, bagaimana? Tidak boleh dibiarkan. Malam semakin larut.” Salah seorang pemuda memberi saran. Para tetangga yang berkumpul menoleh padanya.

“Aku setuju. Khawatir Jamilah melakukan sesuatu yang berbahaya.”

“Sekarang juga, kita harus mengambil risiko.”

“Apa boleh buat, ia sedang mengandung.”

“Biar aku saja yang melakukannya! Kalian diam!” Buraja meradang mendengar seruan-seruan yang menyerbu tersebut. Ia menarik napas kasar, bersiap-siap.

Pintu itu terbuka tepat Jamilah beranjak dari hadapan jendela. Wajahnya kusut, rona matanya menguar kehilangan cahaya. Ia menarik koper yang tergolek di samping. Buraja di depannya mendengkus. Para tetangga berebut menonton. Jamilah santai melewati gerombolan serigala tersebut, tetapi Buraja lebih dulu menangkap pergelangan tangannya. Wanita itu menoleh, mereka saling tatap. Bara api di dada Buraja semakin membara melihat istrinya tak tampak hendak meminta maaf atau menjelaskan sesuatu padanya.

“Tidak bisakah kau melihat kondisiku dan tetap diam di rumah? Lihat, kau mengandung anak lelaki gelap! Kau tidak percaya denganku yang setiap hari bekerja untukmu? Malah berkhianat dengan berbuat jahat semacam itu. Perempuan jahanam!” Tangan Buraja bergerak cepat. Jamilah meringis, pipinya merah.

Tetap saja, wanita itu tidak membuka suaranya. Pak RT dan tetangga yang ada turut bersitegang.

“Oh, baiklah. Kau tidak mau mengakui apa pun. Mungkin, benar kaulah yang menggoda ayah bayi itu. Aku tidak mau peduli. Urus sendiri semua masalah perihal kehamilanmu.” Lelaki itu menggeram, kedua telapak tangannya mengepal kuat.

Jamilah bergeming, melanjutkan langkah. Di ambang pintu, Ia berbalik. Tampilannya benar-benar buruk, bahkan wajah putihnya terlihat pucat. Ia memandang satu per satu lelaki yang hadir di sana. Mulai dari Buraja, Pak RT, para pemuda, dan tetangga dekat lainnya. Perlahan, tangan kanannya terangkat. Mengarah ke depan. Dengan gemetaran, Jamilah menunjuk semua lelaki yang hadir di sana. Wajah mereka berkelindan di kepala perempuan itu. Tumpang tindih. Entah mana yang mengawali dan siapa lelaki terakhir.

“Mereka semua memasukiku,” lirih Jamilah. Suaranya tertiup angin. Ia pergi meninggalkan rumah.

Scroll to Top
× Hubungi kami