Tembok Tanian Lanjheng

Tembok Tanian Lanjheng

Sigit Candra Lesmana

            Segaris tembok pemutus tali silaturahmi itu berdiri menjulang di tengah-tengah pemukiman. Membagi Tanian Lanjheng (Halaman Panjang, corak pemukiman khas Madura) menjadi dua bagian. Selatan dan utara langgar. Berdirinya tembok batako berwarna kusam itu merusak suasana Tanian Lanjheng yang biasanya diselimuti suasana kekeluargaan.

            Di sore hari para wanita akan berkumpul di pelataran langgar untuk berghibah sekaligus berburu kutu di kepala anaknya. Sementara para lelaki akan saling sapa tanpa mempedulikan bau keringat sehabis berladang. Suasana semacam itu tak terlihat lagi sejak tembok terkutuk yang dibangun akibat ulah serakah salah satu warganya itu berdiri.

            Tembok itu mengingatkan pada tembok Berlin. Beruntung, tembok Berlin kini telah runtuh, berganti tembok pemisah Tanian Lanjheng yang baru saja berdiri. Bukan disebabkan oleh perbedaan ideologi seperti yang terjadi di Berlin pada masa Perang Dingin, melainkan permasalahan utama timbulnya tembok tersebut adalah tanah warisan. 

            Seorang menantu dari keluarga yang mendiami rumah di ujung paling barat. Sebut saja namanya Durjana. Dia datang dari luar kampung dan sebagai pendatang dia lancang mengungkit kembali kepemilikan tanah yang sudah dijual oleh leluhur istrinya berpuluh-puluh tahun yang lalu. Sebuah perkara konyol penyebab perkampungan yang sebelumnya damai, kini mencekam bak tak memiliki tali persaudaraan. 

            Si empunya tanah pada akhirnya kalah tanpa bisa menunjukkan sertifikat. Di masa lalu sertifikat tanah memang tak lazim. Lazimnya hanya berdasarkan kepercayaan. Tradisi kepercayaan yang dijaga agar warga Tanian Lanjheng selalu hidup rukun. 

            Pemilik tanah yang kalah bersama keluarganya lalu memutuskan pindah ke kampung lain untuk memulai hidup baru. Meninggalkan rumah beserta jejak dan kenangan yang terkandung. Sementara si Durjana tersenyum bangga sambil menggenggam sertifikat tanah yang baru saja dia urus di notaris.

            Si Durjana sendiri menjadi aib bagi kelurga istrinya, hanya saja sang istri sudah kadung cinta mati sehingga membela mati-matian bahwa kelakuan suaminya itu benar dan layak. Ayah dan ibu mertuanya merasa malu. Tak sanggup keluar rumah bertemu dengan para tetangga. Tidak punya muka.  Kelakuan si Durjana juga mengundang amuk warga yang sejatinya masih memiliki pertalian saudara satu sama lain. Untuk menghukum si Durjana, tembok itu dibangun agar saat berangkat atau pulang kerja, dia harus berjalan memutar. 

            Langgar yang sejak semula tak hanya menjadi tempat ibadah tapi juga tempat musyawarah para warga pun kini sepi. Warga tak mau menginjakkan kaki di langgar yang dibangun oleh mertua si Durjana. Hukuman yang sama berlaku bagi istri dan seluruh anggota kelurganya. Terasing dari kehidupan sosial.

***

            Tembok itu masih berdiri tanpa tanda-tanda rapuh sedikitpun, seakan tak mengerti keadaan semakin memanas diantara warga. Si Durjana tetap dengan pendiriannya. Matanya berubah biru apabila bersangkutan dengan uang. Kerakusannya tak pandang bulu. Pernah strategi serupa dilakukan pada keluarga di ujung timur Tanian Lanjheng, namun gagal sebab keluarga itu sudah memiliki sertifikat tanah yang mereka tempati. 

            Entah salah apa warga di sini sehingga kedatangan manusia serupa wabah yang perlahan mengganggu ketentraman. Bisa dipastikan semua warga termasuk keluarga mertuanya membenci si Durjana. Tentu saja terkecuali sang istri yang seperti terkena jampi-jampi. 

            Saat malam purnama di pertengahan bulan. Warga Tanian Lanjheng digegerkan dengan kabar adanya terror hantu di desa sebelah. Kabarnya hantu itu persis seperti Grandong anak buah Mak Lampir yang tayang di layar kaca. 

            Tak hanya menakuti, kabarnya Grandong itu telah menelan korban dua warga desa sebelah yang keluar malam untuk buang hajat di sungai. Kabar ini membuat penduduk Tanian Lanjheng menjadi takut keluar rumah saat matahari telah tenggelam, bahkan untuk buang air besar. Semulas apapun perutnya, rela ditahan menunggu hingga matahari terbit. 

            Selama tiga hari warga Tanian Lanjheng ditimpa suasana yang mencekam. Di hari keempat saat ayam berkokok menyambut matahari yang mulai menyingsing, suasana malah jauh lebih mencekam dari semalam. 

            Si Durjana ditemukan tewas dengan luka koyak seperti telah dikunyah dalam mulut buaya. Kaki kananya terpisah dari selangkangan, sedangkan lengannya masih menyambung dengan badan, terikat sedikit daging yang masih melekat. Wajahnya parah, tidak mampu diidentifikasi lagi. Darah mengental membasahi rumput liar di sekitarnya. Sepertinya dia terbunuh semalam.

            Mayatnya ditemukan Pak Dulla yang sedang membersihkan makam leluhur di bukit belakang.

            “Kau pembunuhnya!” kata istri si Durjana sambil menuding wajah Pak Dulla.

            Pak Dulla saat itu memang sedang memegang sebilah celurit. Pak Dulla membela diri. Dia menggunakan celurit di genggamannya untuk membersihkan rumput liar yang tumbuh di atas pusara. 

            Para warga juga mendukung Pak Dulla. Bukan karena sentimen kebencian terhadap si Durjana, tapi luka pada mayat si Durjana tak seperti sabetan celurit atau benda tajam lainnya. Itu jelas terkaman hewan buas.

            “Dia dimakam Gerandong,” teriak seorang warga dari arah belakang. 

            Warga pun mulai kasak-kusuk sambil ketakutan, istri si Durjana hanya bisa menangis lalu berteriak histeris hingga jatuh pingsan. Dia pun dipapah pulang ke rumah. 

            Jenazah si Durjana dievakuasi para warga untuk dimandikan. Meskipun dia rayap yang menggerogoti kedamaian di kampung, tapi para warga punya kewajiban Rukun Kifayah untuk Memandikan, menyalati, dan mengubur jasadnya. 

            Hanya segelintir warga saja yang datang untuk tahlilan. Beberapa warga masih enggan untuk mendoakan si Durjana. Yang lain memilih menetap di rumah masing-masing karena takut diterkam Gerandong. 

            Yang datang ke tahlilan juga kasak-kusuk mengenai kematian si Durjana. Terngiang kembali jasad yang tak utuh dan luka yang tak masuk akal. Sebagian organ dalam juga ikut terbuai keluar. Membayangkan hal itu, para warga yang datang tahlilan jadi tak selera makan. Sajian nasi dengan kuah daging masak kuning di piring utuh, tak tersentuh hingga dibawa kembali ke dapur.

            Hanya ibu mertua si Durjana bersama satu orang warga yang memasak di dapur. Para wanita lainnya enggan memasak untuk tahlilannya. Tampaknya kebencian warga terhadap dirinya belum hilang kendati saat ini mungkin dia sedang menghadapi sidang di alam kubur. Benci selalu terkenang walau raga telah terkubur dalam liang lahat. 

            Sang istri yang sempat hilang kesadaran, masih mendekam di kamar dengan tubuh lemas dan hati yang terus tersayat.  Dia seperti kehilangan separuh hidupnya. Sampai hari ketujuh tahlilan dia tetap saja termenung seperti kehilangan gairah hidup.

            Pada hari setelah malam ketujuh, entah kenapa keadaannya membaik. Senyum cerianya mulai terlukis lagi di pipinya. Rasa kehilangan tak lagi dirasakan. Jampi-jampi si Durjana sekarang ikut terkubur bersama tuannya. 

            Pagi itu dia bergegas menuju sungai untuk mencuci pakaian. Air sungai sangat jernih dan dingin sebab semalam tak turun hujan. Sebuah ember besar berisi pakaian kotor dia letakkan di atas kepala. Berjalan melalui jalan setapak dan menuruni sebuah jurang yang tak terlalu dalam untuk sampai di sungai. 

            Cucian hari ini cukup banyak, sudah seminggu dia tidak mencuci. Mula-mula satu persatu lembar pakaian dibasahi, setelah itu dioles dengan sabun colek. Hidungnya kembang kempis mencium aroma lemon dari sabun.

            Pakaian lalu dikucek-kucek hingga berbusa dan merata. Dibilas sampai bersih dan sebelum dimasukkan kembali ke dalam bak, pakaian diperas terlebih dahulu supaya air tak banyak menggenang. 

            Proses mencuci pakaian pagi ini begitu dia nikmati. Seakan terbebas dari sebuah beban yang selama ini membuat tengkuk lehernya sakit. Batu besar itu telah mangkat dari pundaknya. Alam juga seakan ikut bergembira dengan kicauan burung dan sinar matahari yang menyinari lembut dari celah janur kelapa. 

            Usai semua baju tercuci dan diperas, dia lalu mengeluarkan sebilah celurit warisan dari kakeknya. Senjata khas Madura itu penuh darah dan sedikit potongan daging serta rambut yang telah mengering. Seperti berhari-hari tak dicuci setelah digunakan untuk mencabik daging hewan atau mungkin, daging manusia.

            Digosoknya celurit itu berulang kali agar tak tersisa noda. Sesekali dia terdengar bergumam atau lebih tepatnya berdendang. Senyum kecil tapi puas terukir manis di pipinya. Menguapkan sebuah rahasia layaknya embun yang menguap oleh sinar pagi sang surya.

 


 

 

 

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami