VIA DOLOROSA

Oleh: Ludy Jalla

“Eli, Eli Lama Sabachthani!”

Tiba tidak mengetuk. Penuh angkuh masuk. Duduk di pangkuan nyawa, pura-pura lembut merenggut. Tanpa sahutan kepok sundung*, tetapi tiba pada waktu paling lemah, usia paling lengah, lalu ratapan adalah estafet nafas-nafas yang fana. Bukan tamu tetapi maut. Bukan hantu tetapi Tuhan menciptakan ajal umpama sarkas paling keramat buat jiwa-jiwa yang tidak selamat.

(setelah itu, kemana lagi maut?)

Seorang ayah, pagi ini. Sementara mengiris makanan babi saat anaknya pulang terlalu dini dari murid lain. Diusir sambil menangis, diusap matanya oleh buku tulis.

“Sekolah untuk hidup, melarangnya sekolah artinya menyepakati kematian”.

“Jual saja babimu buat lunas uang komite. Bukankah itu cara bertahan hidup ”

 Perut babi tidak terisi hari ini, perut kepala sekolah teriris pisau ayah. Tidak ada jarak, bahkan setipis helai rambut. Kehidupan telah lahir-besar bersama kematian.

Usia

Usai

(ke balik jeruji besi).

Ibarat badai gelombang abadi, pandemi masih setia menggigit bibir nurani. Jenazah tumpuk dalam keranjang sampah. Bau pekat mayat menjalin dusta sepanjang hayat. Wabah telah  serumah dengan doa usang dan sumpah serapah. Otot lidah kencang mengeja sesal merapal nazar. Yang meninggal mewarisi takdir, yang ditingal menangis mengultusnya sebagai martir. Jauh. Jauh sebelum itu. Seorang sopir angkutan desa membawah kabur jenazah—korban wabah–ayahnya dari puskesmas kota. Dokter amatir mengirim kabar kepada Bupati. Bupati mengirim borgol kepada sopir. Dua bentuk makhluk yang dilihat sopir dari balik jeruji besi: malaikat maut yang menari dalam raung ambulance dan Bupati yang mengirim karangan bunga. Semacam ritus katarsis penuh dramatis.

(yang abadi pada bumi: jalan penderitaan)

Jeruji besi adalah purgatorium untuk ayah dan sopir yang meyakinkan suicidium sebagai cara menyerah paling holistik di hadapan bumi.

Woko Munde, 2021

Keterangan:

Kepok sundung: Ritual adat dari daerah Manggarai Timur pada saat menyambut tamu terhormat yang biasa dipimpin oleh kepala suku di dalam satu kampung di tanah Manggarai Timur. Adapun dalam ritual ini tamu terhormat dijemput di gerbang kampung dan sebelum diarak ke tengah kampung, pemimpin suku mengucapkan kata-kata sambutan dalam bahasa setempat dan harus disahut atau dijawab oleh tamu yang disambut.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami