Zabosa dan Ayah Berwajah Jikalau

Rialita Fithra Asmara

Sepasang mata menatap lekat bayi buah pepaya yang berguguran. Entah siapa yang memaksa bayi-bayi itu gugur sebelum musim tumbuh paripurna.

“Kau tidak pulang?” tanya Mareta kepada Zabosa, pemilik sepasang mata beraroma telaga.

“Untuk apa aku pulang ke rumah yang terbuat dari batu bata api neraka?” Zabosa mejawab pertanyaan Mareta dengan pertanyaan baru.

Pertanyaan tentang kepulangan selalu mampu menumpahkan air telaga dari kedua kelopak matanya. Zabosa benci musim liburan. Liburan apa pun itu namanya. Liburan akhir tahun hingga liburan hari raya. Pada musim-musim itulah pertanyaan tentang kepulangan seperti udara. Ada di mana-mana. Pertanyaan yang menjelma anak panah lalu melesat menusuk bilik jantungnya. Tak mengenal aba-aba.

Zabosa tidak memiliki alasan untuk pulang. Baginya, pulang adalah musim kesedihan yang tak berkesudahan. Tidak ada suara kerinduan di rumahnya. Piring pecah di mana-mana, makian-makian kotor dengan ragam bahasa, dan pukulan-pukulan fisik yag sudah serupa adu tinju. Itulah suasana di rumahnya. Kemudian, disusul suara-suara racun dengan judul perbandingan. Zabosa yang hanya memililiki pendapatan sedikit sering dibadingkan dengan anak tetangga sebelah rumah. Perbandingan juga mencakup tentang jumlah nominal yang bisa diberikan kepada orang tuanya. Ada beberapa peristiwa beraroma darah. Peristiwa yang mampu memompa laju detakan jatung di hatinya. Perisitiwa yang mengundang air bah di matanya.

Semasa Zabosa duduk kelas dua SMP, ia sakit, demam menggigil. Namun, orang tuanya tidak berkenan membuatkan surat izin. Dengan menahan gigil karena demam, ia bersepeda ke rumah kawan karibnya, Zivo. Ayah Zivolah yang membuatkan surat izin sakit untuk Zabosa. Zabosa sangat senang dengan keluarga Zivo. Mereka adalah keluarga yang sederhana tetapi penuh kasih sayang. Ibu Zivo sedih mendengar kisah Zabosa. Ia membuatkan teh panas, membelikan bubur, dan obat demam untuk Zabosa.

Lain hari, ganti peristiwa. Semua sungguh masih lekat di benak gadis bermata telaga itu. Pada suatu ketika, sepupu dari ibunya datang. Sepupu itu datang dengan niat menjahitkan baju kepada ayahnya. Ayah dan ibu Zabosa tidak ada di rumah kala itu. Zabosa mempersilakannya masuk. Saat sepupu itu jalan-jalan ke halaman belakang rumah Zabosa, ia tertarik dengan pohon mangga yang berbuah lebat. Zabosa pun mengizinkan sepupu ibunya itu untuk memetik buah mangga. Petaka pun terjadi, pada malam hari saat sepupu sudah pulang dan ayah Zobosa tiba di rumah. Ayahnya marah besar, ia memukul Zabosa dengan sapu, memaki-maki dengan kata-kata yang sangat kasar. Rupanya, ayah Zabosa marah besar karena buah mangga yang diambil oleh sepupu istrinya.

Sebenarnya, masih ada peristiwa besar dan hebat lagi. Peristiwa yang hampir membuat Zabosa kehilangan ruang bernapasnya. Ia memilih menutup rapat peristiwa itu. Ibunya pun sama saja. Gemar berhutang karena ayah Zabosa tidak mencukupi kebutuhannya. Saat Zabosa dewasa dan sudah bekerja, ia membantu ibunya melunasi hutang-hutang itu. Ayahnya tidak mau tahu. Marah-marah adalah hobi ayah Zabosa. Hobi yang membuat ibunya sakit-sakitan hingga kini. Namun, tentu saja Zabosa disalahkan oleh ayahnya. Menurut ayahnya, ibunya sakit-sakitan karena memikirkan Zabosa yang tak kunjung menikah.

Sepanjang ibunya sakit dan keluar masuk rumah sakit, Zabosalah yang merawatnya. Ia izin entah berapa hari dari kantornya. Ayahnya sangat menyeramkan jika menjaga ibunya. Ibunya yang kurus itu dan berselimut sakit nan akut akan kena marah sepanjang hari. Ayahnya itu akan marah jika ibunya mengerang kesakitan, minta tolong ini dan itu.

“Kamu itu, sehat merepotkan, mati juga merepotkan. Kalau mau mati, ya mati saja tidak perlu merepotkan orang!”

Sebuah kalimat yang membuat Zabosa semakin muak terhadap ayahnya. Pernah suatu ketika saat ibunya sakit begitu lama dan dirawat di rumah sakit, ibunya setiap berapa menit membangunkannya karena merasa ingin buang air kecil. Ternyata, ketika sudah diambilkan tempat untuk buang air kecil, ibunya tidak jadi buang air kecil. Begitu seterusnya hingga sampai dini hari. Zabosa hampir sakit dibuatnya. Keeseokan harinya, ia menceritakan hal tersebut kepada ayahnya. Ia ingin ayahnya bergantian menjaga ibunya.

Kejutan buruk, bukan bantuan yang Zabosa dapatkan tetapi amukan maut dari ayahnya. Ayah yang mungkin tercipta dari api. Ayahnya itu marah hebat kepadanya istrinya, ibu Zabosa. Bayangkanya, marah besar terhadap istrinya yang sedang sakit parah. Tentu saja, hal itu membuat ibu Zabosa sedih dan malah semakin sakit. Sejak saat itu, Zabosa bersumpah bahwa apa pun yang terjadi dengan tubuhnya, ia akan tetap menjaga ibunya seorang diri. Tidak akan menceritakan apa pun kepada ayahnya.

Sungguh, ia tak memiliki alasan untuk pulang. Pulang adalah perjalanan batin yang penuh luka. Zabosa dewasa dibesarkan oleh kasih sayang Tuhan.
“Kau tidak pulang?” tanya Mareta lagi. Menghentikan lamunan Zabosa pada masa lampau. Kali ini, Zabosa memilih berdiri dan meninggalkan Mareta. Dari jauh, ia masih mendengar suara teriakan Mareta yang memanggil namanya.

Kali ini, Zabosa sangat rindu sosok ayah. Bukan ayah kandungnya tetapi ayah berwajah jikalau yang sering muncul di mimpinya. Jika sedang dalam kondisi demikian, tak ada tempat yang layak dikunjungi selain rumah Male. Male adalah rekan kerja Zabosa. Male pandai bercerita. Dari awal jumpa, Zabosa sudah merasa cocok untuk bersahabat dengan Male.

“Kau sedang rindu dengan sosok ayah jikalaumu itu?” tebak Male. Male sangat paham apa alasan Zabosa datang ke rumahnya. Kemudian, memilih duduk di bawah pohon rambutan yang ada di halaman depan rumah Male.

“Aku sedang menghindari pertanyaan orang-orang.”
“Pertanyaan kapan pulang?”
“Kau benar, Male. Aku paling benci pertanyaan itu. Mereka tidak tahu bagaimana peliknya kisahku.”
Mendengarnya, Male mengangguk.

“Jika aku mengenalmu sejak masa sekolah, mungkin aku akan minggat ke rumahmu. Dulu, keluarga Zivo adalah keluarga yang sering menampungku. Sayang sekali, aku kehilangan jejak mereka. Mereka pindah ke luar kota.”
“Ayahku pasti senang menampungmu. Ayahku pasti bangga jika punya anak sepintar kamu,” kata Male sambil tersenyum.

Zabosa sangat menyukai ayah Male. Sayang sekali, Zabosa tidak pernah bertemu dengannya. Ayah Male meninggal sebelum Male bertemu dengan Zabosa. Dari cerita Male, Zabosa serasa memiliki ayah berwajah jikalau. Ayah Male sangat baik. Ia adalah ayah pekerja keras, menghidupi dan menyayangi anak-anaknya dengan baik. Bahkan, saat ibu Male meninggal, ayah Male tidak mau menikah lagi.

“Ayah ini lebih mengkhawatirkan kalian, anak-anak ayah jika ayah menikah lagi. Ayah takut kalian tidak lagi mendapatkan perhatian yang seutuhnya.”
Begitulah jawaban dari ayah Male saat anak-anaknya menawarinya untuk menikah lagi. Male sangat berlimpah materi dan kasih sayang dari ayahnya. Jikalau saja ayah Male adalah ayahnya, pasti rumahnya tidak terbuat dari batu bata api neraka.

“Maukah kau kisahkan lagi kisah tentang ayahmu?” pinta Zabosa kepada Male. Dengan cara itulah, Zabosa memperoleh penghiburan terkait sosok ayahnya.

Tentu saja Male bersedia. Hari ini ia juga sedang rindu sekali dengan ayahnya. Male sedih karena suaminya telah menghabiskan harta peninggalan ayahnya. Dahulu, ayah Male sudah mengingatkan agar Male tidak menikah dengan Tagor. Menurut ayahnya, Tagor bukanlah sosok laki-laki yang matang dan siap menjadi suami. Namun, Male tetap teguh pada pendiriannya. Bahkan, semua uang mahar dan cicin pernikahan, Male sendirilah yang menyiapkannya.Tagor terima jadi. Ia tidak mengeluarkan uang sama sekali. Tentu saja, Male menyembunyikan hal itu dari ayahnya. Sebenarnya, bukan hanya ayah Male yang menentang pernikahan itu, kakak lelaki Male juga menentangnya.

Apa pun yang terjadi, Male tetap bersikeras menikah dengan Tagor. Ayah dan kakaknya mengalah. Memberi restu dengan terbata. Ketika ayahnya meninggal, tampaklah semua yang dikhawatirkan ayah Male. Tagor gemar behutang. Semua perekonomian keluarga ditopang oleh satu orang yaitu Male. Male sangat menyesal. Andai ia mengikuti apa yang dikatakan ayahnya, mungkin kisah sedih pernikahannya tidak terjadi.

“Jikalau ayahku adalah ayahmu wahai Zabosa, tentu kau bisa sekolah tinggi sampai ke jenjang yang kau inginkan.”
“Ayahmu memang ayah yang luar biasa. Kau betul. Andai kau tak menikah dengan Tagor dan menurut pada ayahmu, mungkin saja kisah pernikahanmu nan penuh pilu tidak terjadi.”

Lalu, dua orang sahabat itu saling berkisah. Betapa Zabosa masih sibuk dengan ayahnya dalam versi jikalau. Jikalau ayah Zabosa adalah ayah Male tentu ia akan tumbuh menjadi anak yang bahagia. Telinganya tidak bising mendengar suara umpatan, benda-benda dibanting, dan suara-suara yang membahas tentang materi. Selain ayah Male yang menjadi incarannya, Zibosa juga senang dengan ayah Jihan.

Jikalau ayah Jihan adalah ayahnya, tentu Zabosa tidak akan gundah akan ragam duka yang mendera. Selalu ada pundak ayah nan kuat untuk tempat bersandar melepas penat. Ada tempat bercerita. Begitulah mereka berdua. Zabosa dan Male jika bersua, saling menumpahkan kerinduan masing-masing.

Pada suatu sore yang penuh dengan gerimis sendat, Zabosa menunda kepulangannya. Nuansa kantor dan hujan yang tak kunjung reda, membuat ia memilih bertahan di kantor. Di rumah kontrakannya, tidak ada siapa pun yang menunggunya pulang. Bola mata Zabosa memutar mengamati isi kantor. Hanya ada dua manusia di ruangan itu. Ia dan Pungki, tampak Pungki yang sedang menyeka air matanya. Gerimis di luar, gerimis pula di wajah Pungki.

Zabosa berjalan mendekat. Berjalan pelan-pelan.
“Apa ayahmu sangat menyayangimu?” tanya Pungki ketika Zabosa sudah tepat berdiri di sebelahnya.
Hampir saja jantung Zabosa berhenti berdetak mendengar pertanyaan Pungki. Ia merasa bahwa Pungki mungkin memiliki kisah yang sama dengannya.
“Pung, apa kau ingin ganti ayah? Atau kau ingin ayahmu seperti apa itu?”
“Tidak, aku hanya ingin Tuhan mengabulkan doaku.”
“Doa supaya kau dapat ayah baru atau ayahmu bisa seperti ayah orang lain?” tebak Zabosa.
Pungki menggeleng.
“Lalu, apa itu?”
“Aku hanya ingin Tuhan lebih banyak memberiku kekuatan dalam mengahadapi ayahku. Aku ingin jadi anak yang lebih kuat dari sebelumnya,” Pungki mengatakan itu sambil mengemasi air matanya yang hampir membasahi semua bagian pipinya yang ranum. Kemudian, ia pamit kepada Zabosa untuk pulang.

Tinggallah Zabosa seorang diri di ruangan ini. Benarkah di dunia ini yang ayahnya berwajah jikalau hanyalah ayah impian Zabosa? Dia pun ragu. Liburan hari raya tahun ini ia akan pulang atau tidak? Haruskah ia memiliki doa yang sama dengan Pungki? Tetiba, ia merasa dadanya terasa lapang ketika suara azan terdengar. Azan seolah berkabar tentang sebuah keputusan besar.


Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami