Apa yang Kamu Lakukan?

Eko Triono

 

 

Yang kulakukan adalah menemui tokoh-tokoh cerita yang pernah kutulis, kusakiti, atau kuabaikan sebagai tokoh figuran tanpa nama.

Kututup pintu perpus kecil di timur rumah. Aku biasa menulis di tempat ini.

Di meja kayu tua, kutumpuk sembilan buku, dua puluh lima koran berbagai edisi, dan tujuh belas majalah berbeda. Kutata flashdisk Kingstone enam belas giga, sebotol sirup coco pandan, secerek air, selusin gelas bening berisi masing-masing dua es batu kristal yang dingin mengembun, setoples wafer model pipa, setoples wafer model batu bata, dan setoples nastar model batu-batu pondasi yang glowing dengan cengkeh aneh di atasnya, yang ujung selotipnya telah kuberi tanda mata panah merah.

"Kita harus meminta maaf, terutama pada yang sering disakiti," khatib shalat id tadi.

Sebagai penulis cerita pendek, aku gemetar saat menyadari yang paling sering kusakiti adalah tokoh-tokoh fiksi yang kutulis. Aku kerap mendorong mereka susah bahkan sejak paragraf pertama. Betapa tega. Hanya demi kepentingan adegan dramatis, aku seolah tak punya hati saat melempar mereka ke dalam puncak konflik yang membuat mereka menangis, menderita, atau berakhir mati tak berdaya.

Lebih parah lagi, itu kulakukan hanya untuk menarik perhatian redaktur media agar dimuat, para juri lomba supaya menang, penerbit agar tertarik, dan pembaca supaya terpesona atau berkomentar: selamat, mantap, keren, dan luar biasa.

"Tidak apa-apa. Itu pekerjaanmu. Eh, bajumu baru?"

*

Aku mengangguk sungkan.

Dia menuang sirup coco pandan ke gelas bening, menambahkan air, dan bertanya mengapa tidak ada sendok?

Tanpa menunggu jawaban, dia mengambil pensil biru 2B for commputer di kotak dekat rak, lalu mengaduk-aduk hingga gelas mulai dipenuhi warna merah manis, segar, dan terlihat nikmat.

"Ah, maknyus," dia selesai meneguk. Tangan kanannya yang kotor berkuku hitam menaruh pensil basah di depanku, "Yang penting bisa buat ngaduk. Kami tokoh cerita miskin. Tidak banyak aturan soal makan. Tidak seperti Marto Roberto, ya, 'kan?"

Serempak kami tertawa mendengar nama itu.

Dia mulai berdiri mengambil toples wafer model pipa di sudut meja ketika aku masih tertawa, kemudian kurendahkan suara, lalu terdiam saat kusadari satu hal penting.

Ternyata tokoh-tokoh yang kuberikan kenikmatan hidup di dalam cerita-cerita pun mengalami penderitaan, meski terkesan lucu.

"Apanya yang lucu?" Marto Roberto muncul di seberang meja, tidak mau duduk, rambutnya licin wangi, pakainnya model terbaik pada zamannya.

Dia bicara dengan tenang tertata, dalam karakter elit kritis yang kukenal, "Kamu pikir kalau aku hanya bisa makan dengan menu sesuai waktu, dengan peralatan sesuai jenis makanan, dengan pakaian sesuai acara, dan lebih baik kelaparan daripada makan tidak sesuai aturan itu lucu?"

*

Aku minta maaf, maksudku lucu bukan begitu.

"Bukan begitu bagaimana?"

"Sudahlah," tokoh miskin ikut bicara, "ini lebaran. Dia sudah minta maaf. Bukan waktunya bertengkar. Tak enak didengar. Sebentar lagi tokoh-tokoh cerita yang lain datang."

"Tak enak didengar? Itulah masalahmu. Mentalitas. Tidak berani menuntut hak. Itu sebabnya kamu miskin terus di dalam cerita. Bahkan bajumu itu-itu saja. Deskripsimu pun mirip-mirip: lusuh, tambalan, berkutu, berdaki, bau tai kerbau. Sementara kamu lihat dia?"

Marto Roberto mengarah padaku. Aku, yang menciptakan karakternya pada suatu cerita, mengerti betul pola pikirnya.

"Lihat bajunya baru. Taraf hidupnya meningkat. Lihat itu juga!" Marto Roberto beralih melihat dinding.

"Lihat penghargaan-penghargaan yang dia bingkai itu. Lihat ulasan-ulasan di koran. Lihat kajian-kajian akademik. Lihat pujian orang. Lihat undangan jadi juri dan pembicara. Lihat kelas sosialnya. Dia telah berubah dari penulis kelaparan menjadi kekenyangan, dari penulis kopi saset ke kopi kafe, dari buku tulis ke laptop, dari mudah ditemui menjadi pilih-pilih teman pergaulan, dari penerbit berbayar menjadi dibayar penerbit, dari pembaca karya pribumi menjadi pemuja karya luar negeri, dari peminta ulasan menjadi enggan memberi ulasan, dari banyak mengikuti menjadi penulis dengan akun nol mengikuti untuk menunjukkan bahwa dialah yang terdepan yang patut diikuti beritanya, diberi jempol foto, karya, terjemahan karyanya, dan tidak mau memberi jempol, mengikuti, apalagi membaca karya-karya penulis pemula dan lebih muda dan kamu tahu? Semua karena berhasil menjual kamu di dalam cerita! Menjual orang-orang miskin kepada pembaca. Menjual orang-orang menderita. Menjual orang-orang lokal yang sengsara. Menjual sejarah dan kekuasaan yang menindas orang-orang melarat sepertimu dan kamu bilang maafkan saja?"

Telingaku mulai panas. Tanganku geram. Namun, Marto Roberto belum berhenti bicara dan aku tahu persis tentang sikapnya yang gemar mendominasi pembicaraan, terlebih setelah tragedi istrinya.

"Buka matamu. Perhatikan apa yang telah dia lakukan padamu dan orang-orang miskin yang menjadi sumber inspirasinya."

*

"Sudahlah," tokoh miskin sedang menikmati makanan, "Apa salahnya sih memaafkan orang lain? Em, enak juga wafer pipa ini. Cokelatnya melingkar penuh di dalam. Mau?"

Marto Roberto mengisyaratkan tidak, kemudian dia mencondongkan badan ke arah tokoh miskin, berkata pelan dan sungguh-sungguh, "Dengar, jangan menggunakan nama yang bukan miliknya. Jangan sampai aku menuntutmu ke pengadilan. Ingat baik-baik. Itu namanya astor. Bukan wafer pipa!"

"O, apa nama mengubah rasa?" kriuk, kriuk, terdengar tokoh miskin mengunyah memastikan, "sama saja kok rasanya."

"Terserahlah," Marto Roberto bebalik memalingkan muka, bersidekap.

Dia tetap berdiri. Dia tidak mau duduk karena yakin kursi yang kusediakan bukan kursi tamu, melainkan kursi buat belajar. Dia kesal karena mengira aku meminta tamu datang buat belajar di perpus, bukan buat ramah tamah di ruang yang nyaman. Ketika kubilang kursi hanyalah kursi, dia membantah dan tetap pada pendirian yang paling hakiki bahwa segala sesuatu memiliki tempat dan waktunya masing-masing.

"Jadi, menurutmu," tokoh miskin nampak berubah perasaannya dan nada bicaranya. Ada tersinggung di wajahnya, "menurutmu aku miskin karena kelemahanku dan kamu kaya kerena kekuatanmu?"

"Karena kerja keras dan kecerdasan," Marto Roberto yakin.

"Kalau begitu, apa kamu lahir karena kerja keras dan kecerdasaranmu sendiri? Apa kerja kerasmu bisa mencegahmu dari kematian? Apa semua orang yang bekerja keras pasti berhasil? Mengapa kerja kerasmu tidak bisa mencegah saat istrimu selingkuh dengan sopirmu, saat mobil mereka menabrak, saat—"

"Jangan bawa-bawa—"

"Mengapa kerja kerasmu tidak bisa membuatmu menulis tentang dirimu sendiri?"

"Kalau aku bisa melakukannya, aku yang akan menulis nasibnya!" Marto Roberto menujuk wajahku.

Aku senyum memasang wajah kemenangan dan tokoh miskin melanjutkan bicara.

*

"Itu kamu mengakui," kata tokoh miskin. "Kamu tidak mampu selain menjalani cerita tentangmu. Sementara, dia tahu apa yang kamu ketahui dan dia tahu apa yang belum kamu ketahui tentang ceritamu nanti."

"Tapi aku berusaha, tidak pasrah seperti kamu," Marto Roberto mana sudi kalah bicara.

"Kamu berusaha karena kamu diberi kekuatan buat berusaha, diberi adegan-adegan, diberi halaman-halaman, diberi dekripsi dan kata-kata oleh dia. Bayangkan kalau tiba-tiba dia menghapus kamu. Kamu bisa apa? Aku tidak pasrah seperti dalam pengertianmu. Aku menikmati peran. Merasa nyaman. Kalau aku ingin kaya tapi tidak bisa-bisa, artinya aku memang tokoh cerita yang lemah. Yang dikuasi oleh penulisnya. Aku bangga punya penulis yang berkuasa penuh. Kalau nanti aku kaya, itu memang penulisku baik. Memberiku deskripsi kekayaan. Aku sudah untung diberi kesempatan hidup di halaman-halaman ceritanya, menyaksikan narasi-narasi indah, kalimat lucu, dan adegan-adegan dramatis."

"Kalau semua orang cara berpikirnya seperti kamu, sistem ekonomi bisa kacau."

"Apa hubungannya?"

*

"Jelas. Nafsu yang tak pernah puas. Keinginan yang tak pernah cukup. Kebutuhan baru yang selalu muncul. Itu semua roda yang menggerakkan sistem perekonomian. Tanpa itu, tidak ada kemajuan."

"Itu 'kan menurutmu. Pikiranmu terlalu rumit. Sederhana sajalah, aku merasa nyaman memainkan peran, apa pun peran yang dia inginkan dariku. Segampang itu," tokoh miskin melihat ke arahku.

Aku menghela napas dan minta maaf sekali lagi. Kukatakan pada keduanya bahwa, ketika menuliskan mereka dahulu, pola pikirku masih kaku sebagai penulis cerita pendek. Aku masih terjebak bahwa tokoh miskin baik dan kaya jahat.

Padahal, banyak tokoh miskin yang tamak dan rakus, serta tidak sedikit tokoh kaya yang dermawan dan sederhana. Itu sebabnya aku menemui tokoh-tokoh ceritaku, untuk meminta maaf di hari yang baik ini. Belum selesai aku bicara, terdengar gaduh, keributan, suara klakson, petasan, dan seolah gema arus kemacetan muncul dari dalam sembilan buku kumpulan cerita pendek, dari dua puluh lima koran berbagai edisi, dari tujuh belas majalah berbeda, dan dari dalam flashdisk Kingstone enam belas giga.

"Kalian dengar?"

*

Keduanya mengangguk.

"Kamu ingat?" Marto Roberto menghela napas, "berapa banyak kamu menulis cerita dengan latar yang jauh, tempat-tempat di luar kota, luar provinsi, luar negeri? Itu mereka. Mengikuti arus mudik. Kecuali yang tidak kebagian tiket atau tokoh-tokoh ceritamu di luar angkasa. Sebentar lagi ruangan ini akan penuh. Ruangan perpus kecil begini memang tidak cocok buat tempat pertemuan. Meski pertemuan tokoh-tokoh cerita, mereka juga perlu ruang yang nyaman. Aku semakin yakin jika prinsip hakiki bahwa segala sesuatu memiliki tempat dan waktunya masing-masing memang harus diterapkan di rumah ini secepatnya. Apa kamu sudah menukar uang pecahan baru?"

"Buat apa?"

"Kamu lupa kalau sering menulis tokoh cerita anak-anak kecil? Sebentar lagi mereka berdatangan dan minta uang lebaran. Walaupun uangnya nanti akan disimpan oleh orang tua mereka dengan alasan ditabung, tabungan tanpa jaminan keamanan."

 

(2022)

 

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami