Belati di Persimpangan Jalan

Fadillah Utami Ningtyas

Belati di Persimpangan Jalan

Pertiwi menggandeng tangan seorang pemuda dengan jemarinya yang hangat, mengajak pemuda tersebut untuk menyusuri indahnya alam Buitenzorg. Kemudian pertiwi memamerkan udara sejuk khas puncak kepadanya, sembari menyenandungkan kidung merdu diiringi lukisan senja Buitenzorg yang selalu memabukkan. Serta bersama tenangnya gemercik air, Hindia Belanda menyuguhkan Molenvliet yang menjadi saksi bisu kejayaan Batavia kepada pemuda tersebut.

Namun lewat sepotong cerita anak bangsa yang diperbudak kemudian gugur, ia mulai menyadari bahwa Weltevreden serta mewahnya Burgerm ester Bichopplein bukanlah Batavia yang sesungguhnya. Kini, pemuda tersebut lebih dari mampu untuk menafsirkan jika pribumi tak lebihnya hanya hidup dalam lingkaran iblis  serta bayang-bayang pemerintah Belanda yang begitu egois. Pemuda itu sudah geram kepada mereka yang hanya mampu tersenyum, di atas derita manusia bumi lain yang sengsara karena bendera oligarki yang dikibarkan dengan sengaja. Mereka yang sibuk memalsukan janji manis dengan kelir distorsi, kemudian bernapas kotor sembari menanai durjana.

***

Batavia, 20 Oktober 1928 …

Dia adalah Gibran. Seorang priayi kelas menengah yang baru saja menamatkan pendidikannya di Koning Willem III School te Batavia. Pemuda ambisius yang berharap bisa menjadi bagian dari Bataviassch Nieuwsblad, salah satu kantor surat kabar ternama di Batavia. Atau mungkin cukup ternama di Hindia Belanda.

            “Apa yang membuatmu ingin bekerja bersama kami di sini?”

            “Saya mengagumi Tuan J.F. Scheltema,” ucap Gibran dengan suara baritonnya yang khas. “Salah seorang jurnalis Bataviaasch Nieuwsblad yang menulis laporan tentang kebijakan opium Hindia Belanda pada tahun 1902. Ia menyerang pemerintah kolonial yang dikatakannya meraup untung dari panen dan penjualan opium tersebut. “Laporannya membuat panas telinga para pejabat pemerintahan, bahkan Gubernur Jenderal Willem Rooseboom menyebut Tuan Scheltema sebagai seorang penebar kebencian,” lanjut Gibran.

Pria Eropa di hadapan Gibran mengerutkan keningnya, bersamaan dengan terangkat sebelah alisnya. Lantas ia kembali mengajukan pertanyaan kepada Gibran, “langsung ke intinya, Anak Muda.”

“Jujur saja … saya tidak bisa berperang, Meneer. Saya juga tidak pandai berdiplomasi di khalayak ramai. Tetapi saya ingin turut berkontribusi dalam menyuarakan kebenaran dan keadilan di negeri ini, Meneer. Dan saya yakin betul bahwa Het Nieuwsblad adalah tempat yang tepat bagi pemuda seperti saya,” jelas Gibran penuh keyakinan.

Berseri bahagia dituju ketika sendu hampir datang menerjang, senyum Gibran mengembang sempurna saat pria Eropa di hadapannya memberikan secercah kesempatan padanya. “Kuberi waktu satu minggu untukmu menulis sebuah artikel yang menarik,” ujar pria Eropa tersebut dalam bahasa Melayu yang begitu kental. “Jika artikelmu laku keras di pasaran, mungkin kami akan mempertimbangkanmu.”

“Sungguh?!” Gibran bertanya dengan raut wajah setengah tak percaya. Perasaan senang sekaligus haru menggerogoti jiwanya, lalu membunuh pemuda tersebut dalam ribut tak bentala. Ia tak pernah menduga bisa mendapatkan sebuah kesempatan besar di Het Nieuwsblad. Dan tentu saja, tidak mungkin baginya untuk menyia-nyiakan kesempatan ini.

“Apa yang akan kau liput?”

 “Menurut salah seorang kenalan saya yang bersekolah di STOVIA, akan ada hal penting pada tanggal 27 hingga 28 Oktober mendatang. Jika Anda mengizinkan, saya akan membuat artikel tentang itu.”

 “Kita lihat nanti, apakah kau bisa sekritis dan seberani J.F. Scheltema atau tidak.”

***

Batavia, 28 Oktober 1928 …

            Gibran melangkahkan kakinya dengan tergesa-gesa, ia sungguh tidak mau terlambat. Saat ekor mata pemuda tersebut menjelajah setiap sudut jalanan, dapat disimpulkan bahwa kini ia tengah berada di kawasan elit, yang tentunya ditempati oleh orang-orang Eropa kelas atas. Bahkan di sudut jalan, tepat di dekat Gedung Harmoni, terdapat sebuah toko berukuran besar yang diduga menjual berbagai perhiasan mewah dari emas, perak, sampai permata. Di luar toko tersebut, terdapat sebuah papan besar bertuliskan ‘Van Arcken & Co.’

            Sepersekian detik pemuda tersebut berdiri di depan Gedung Indonesische Clubhuis Kramat, setelah ia sadar bahwa itu adalah tempat tujuannya hari ini. Lantas, kakinya melangkah perlahan memasuki bangunan dengan putih mendominasi tersebut. Gibran kira, bangunan tersebut hanya sebuah rumah kos biasa, namun ketika sampai di sebuah ruangan, ia mendapati pemandangan beberapa pemuda pribumi serta Londo yang mengenakan pakaian Eropa tampak begitu sibuk dengan aktivitas mereka. Tidak ada kebisingan di sini, seolah hanya khidmat yang menyelimuti.

            “Panji!”

Gibran melambaikan tangannya pada seorang pemuda dengan peci hitam. Namanya Panji, seorang pemuda Jawa yang mengenyam pendidikan di STOVIA. Seingat Gibran, Panji adalah orang yang supel dan aktif memperjuangkan hak-hak pribumi lewat jalan diplomasi, bahkan ia tergabung dalam organisasi kepemudaan bernama Jong Java serta Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI). Dan lewat Panji pula, Gibran akhirnya diberi kesempatan untuk turut hadir serta meliput kegiatan Kongres Pemuda II hari ini.

            “Kau benar-benar datang, Gibran? Wah, aku sangat senang,” timpal pemuda yang diketahui bernama Panji tersebut. “Kau duduk di sana saja, kongresnya hampir mulai dan nanti kau bisa menulis apa yang seharusnya ditulis. Dengar, Gibran … yakinkan dirimu bahwa kau memang seorang jurnalis, Bung! Tidak perlu mencemaskan hal lain, aku berada di pihakmu.”

            Gibran sempat terdiam sejenak, lantas mengangguk kecil. Sementara Panji berangsur menjauh, Gibran menarik sebuah kursi kayu yang terletak di sudut selatan ruangan. Ia keluarkan sebuah mesin tik tua dari ranselnya serta sebuah alat perekam suara, ia letakan kedua benda tersebut di atas mejanya.

Pemuda tersebut gusar untuk beberapa saat. Lemas kakinya gemetar, antara merasa larut dalam khidmatnya suasana kongres pemuda hari ini atau justru jiwanya terhunus ragu yang menjelema menjadi bisu, ketika ia telah memutuskan untuk menulis artikel ini. Gibran sudah cukup dewasa, sudah bisa memutuskan akan melangkah ke jalan yang mana. Ia muak untuk percaya bahwa di Hindia Belanda, oligarki adalah dewa. Berhala suci nan kramat bagi para dewan bertakhta, yang menguasap-usap liur atas derita abadi pribumi. Tapi di sisi lain, Gibran mendadak takut jika perjuangannya harus mati di balik angkuhnya jeruji besi.

            Walaupun selama kongres berlangsung, jemari Gibran tak henti menari-nari di atas mesin tik miliknya, pemuda tersebut kembali bimbang hingga ragu akan tekadnya yang sudah ia tetapkan sejak lama.  Ia mengagumi J.F. Scheltema serta artikelnya yang penuh akan kritik, tetapi Gibran tidak sanggup jika harus mendekam di penjara karena artikelnya sendiri, persis seperti apa yang J.F. Scheltema alami.

            “Hadirin dipersilakan berdiri dan mendengarkan persembahan dari Tuan Wage Rudolf Supratman dengan khidmat.”

            Gibran menghentikkan aktivitas mengetiknya. Seperti yang dilakukan sebagian besar orang di ruangan ini, ia ikut berdiri. Tepat ketika seorang pemuda pribumi mengeluarkan sebuah biola dan menaruh kotaknya di lantai, Gibran mulai sadar bahwa ia tidak seharusnya ragu ketika sudah memutuskan untuk berjuang dengan caranya sendiri. Dan detik di mana Wage Rudolf Supratman mulai menggesek alat musik dawai tersebut dengan penuh semangat, saat itu juga desiran darah Gibran seolah menjerit memecah keraguan hingga halai-balai tak karuan.

            28 Oktober 1928. Gibran menuliskan secara rinci tentang apa yang terjadi pada hari ini. Tentang betapa bergetar hatinya ketika butir demi butir Sumpah Pemuda dibacakan. Mencoba menjemput keadilan dengan cara menuangkan apa yang ia saksikan hari ini ke dalam sebuah tulisan. Selepas kongres rampung, Gibran sendiri bahkan mendatangi Tuan Supratman, memohon untuk diberi tahu lirik dari lagu yang intrumennya ditampilkan di akhir kongres. Gibran memang penuh ambisi, sampai ia melupakan satu hal penting. Pemuda tersebut memberikan judul yang tentu saja bisa membuat para pejabat naik pitam dengan wajah merah padam.

            “Sumpah Pemuda, Sebuah Awal Untuk Indonesia Merdeka.”

            Merdeka. Sebuah kata yang haram diucapkan pada saat dan setelah selesai kongres Pemuda. Gibran sudah diperingatkan sebelumnya, bahwa tidak boleh ada kata merdeka dalam artikelnya. Karena itu sudah menjadi sebuah kesepakatan yang diajukan para polisi rahasia Belanda kepada pemuda. Namun dalam artikelnya, Gibran menegaskan bahwa Indonesia berhak merdeka dan peristiwa Sumpah Pemuda adalah suatu pengawalan yang baik untuk menuju Indonesia merdeka, mengingat tiga butir Sumpah Pemuda menjelaskan secara jelas bahwa Indonesia akan bersatu, menjadi satu kesatuan yang kuat untuk melawan pihak penjajah, memperjuangkan apa yang selama ini direbut dari para pribumi. Dan bersama artikel perdananya, Gibran memintal sebuah peristiwa penting yang diharapkan mampu membangkitkan semangat anak bangsa. Lewat kata demi kata, Gibran turut mengkritik pemerintah kolonial yang begitu tega membiarkan merdeka menjadi kata yang haram untuk diucapkan.

***

Batavia, 01 November 1928 …

“Daripada menjadi jurnalis, kupikir kau lebih cocok menjadi seorang pujangga saja, inlander,” tukas seorang penjaga sel tahanan yang Gibran tempati dalam bahasa Melayu kasar.

            “Bahasamu yang terlampau puitis lebih cocok untuk dituangkan menjadi sebuah sajak daripada sebuah editorial. Yeah, kau tahu? Artikelmu laris manis di pasaran, aku sudah membacanya,” timpal penjaga tersebut. “Mungkin kau tidak akan berakhir di penjara ini jika memutuskan untuk menjadi pujangga saja. Ah, bodoh sekali dirimu, Bung. Bukannya menjadi jurnalis kenamaan, artikelmu justru membawamu pada sel tahanan.”

            “Hm, pujangga, ya? Entahlah, Tuanaku tidak yakin apakah aku tetap tidak akan masuk penjara jika memutuskan untuk menjadi seorang pujangga saja?” lontar Gibran. “Seandainya aku menjadi pujangga, aku tentu akan menulis sajak-sajak sarkasme tentang para dewan pemuja oligarki. Jadi kupikir, tetap saja aku akan ditangkap karena dituduh menyebar ujaran kebencian kepada pemerintah kolonial, Tuan.”

             “Anu … Tuan … boleh aku minta beberapa lembar kertas dan sebuah pena?” tanya Gibran dengan nada memohon.

            “Untuk apa? Ah, kau masih mau menulis sesuatu? Dengar, inlander, perjuanganmu sudah usai,” tanya penjaga tersebut setelah ia kembali berbalik badan.

            Gibran memasang tampang memohon. “Bukankah kau sendiri yang menyarankanku untuk menjadi seorang pujangga? Aku sedang mempertimbangan saran Tuan lho, untuk mulai menulis sajak tentang bangsamu selagi aku mendekam di sini. Dan satu hal lagi …,” ujar Gibran menggantung kalimatnya. “Perjuanganku bukan tentang berhenti ketika dihukum tanpa pengadilan. Namun … perjuanganku yang sebenarnya baru akan dimulai sekarang.”

***

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami