Oleh: Ilham Nuryadi Akbar
Di hadapan bulir zikirmu, Bu.
telah kubacakan sirah nabawi, Amul Huzni.
Di seluruh langit malam
aku bukanlah rasul yang bermuara pada ukhrawi
melainkan pengembara yang berkali-kali memetik senar qanun sumbang
seribu nada yatim.
Tepat di hari akbar, orang-orang sujud begitu runcing, Bu
merapal perginya bulan Ramadhan
menabur kembang di pusara
bertasbih huruf-huruf paling diingat
menggelar riuh perjamuan
dan anak-anak menangkap percik kembang api dengan ponsel
mengulas takarir dengan pamer
sementara aku, menjadi pertapa yang menunggu azan magrib
tenggelam di laut malam yang gigil
untuk meneguk secangkir air mata
yang kudaur ulang dari bangkai kebersamaan
sebagai anak yang tak pernah lunas
berpuasa atasmu.
Kesendirian serupa Jabal Qaf
bersemayam di tubuhku
adalah induk dari segala gunung-gunung kesedihan
tak berwujud.
Pada garis nasab
diriku bukan sufi yang gemar bertaharah
mendaras ayat-ayat Tuhan
sebab aku laiknya ratusan amin dari doa paling tandas
gagal bersengkela di hamparan awan.
Kepalaku mengandung memori atas dirimu yang pernah ada
kini gugur menjadi memar, menjelma tiada.
Sedang di atas sajadah, mulutku berbusa doa-doa ranum
mataku yang hujan, membasahi dada penuh gersang
lantaran sepanjang musim dihantam kemarau panjang
keringnya pertemuan
dan aku pikir
beberapa murka di singgasana arasy
telah mencuat—melubangi nasibku
sedalam neraka.
Barangkali di Semenanjung Laut Hitam, Bu
kebersamaan dapat terulang
dengan mengunjungi ombak-ombak konkaf
melihat pasang surut gelombang kasih sayang
berenang ke tengah lautan
menerjang karang-karang tajam
sampai kesedihanku
andam karam.
Atau mungkin di Bukit Tursina, Bu
Jibril mau menemuiku
agar kisah yang khidmat ini
benar sampai kepadamu.
Bekasi, 10 Desember 2023.