Kertas, Kelinci dan Pelangi

Oleh: Octa Berlina

Lelaki setengah baya itu memasuki dapurnya dengan langkah gontai. Kelelahan tampak tergambar jelas di raut wajahnya.

Ruang berjarak beberapa meter dari dapur yang tadi riuh ramai, kini sudah sepi. Senyap. Tidak ada suara, tidak ada bisik-bisik. Tidak ada gumam atau perintah-perintah. Tinggal dia seorang diri, menyiapkan pagi. Untuk selanjutnya mengurusi sisa-sisa waktu yang belum selesai. Rutinitas pagi, harus tetap dijalankan.

Selembar kertas yang sudah setengah kusut diletakkannya di atas meja dapur. Sepasang kelinci tergambar di dalamnya. Satu kelinci biru dan satu lagi kelinci merah muda. Keduanya digambar berhadapan. Saling menatap, tampak tersenyum dan bergandengan tangan.

Dia mengambil penggorengan, menyiapkan api, lalu menggoreng telur setengah matang. Mengambil sebuah gelas, lalu menuangkan jus jeruk ke dalamnya. Meletakkannya di atas meja. Sesekali matanya melirik ke arah selembar kertas yang dibiarkannya terbuka.

Kelinci itu lucu, telinganya sengaja digambar pendek, lebih mirip beruang. Dan dia tahu apa artinya.

Dia bergerak lagi ke mesin pembuat kopi sambil membawa sebuah cangkir kaleng kecil. Menyeduh kopi, lalu meletakkannya di sebelah kertas bergambar kelinci.

Sekarang dia duduk, diam memandangi kertas itu. Memandangi kelinci di dalamnya. Memikirkan sepasang kelinci. Memikirkan apa yang baru saja terjadi, dan apa yang akan dilakukannya setelah ini. Kejadian demi kejadian seolah bergerak begitu cepat, seperti rentetan film pendek yang muncul di ingatannya. Ini, itu, ini lagi, lalu itu lagi. Tiba-tiba kepalanya pening seperti ditusuki seribu jarum. Dia berdiri dan mencari sebotol obat. Obat sakit kepala. Mengeluarkannya beberapa butir lalu menenggaknya sekaligus dengan separuh jus dingin. Duduk lagi.

Sambil menunggu sarapannya setengah dingin, dia menyentuh kertas di depannya, mengangkat ke atas kepala, lalu menerawangnya di bawah lampu. Ada tiga baris tulisan di sana. Tulisan yang sempat ditulis, lalu dihapus lagi. Baris pertama tidak bisa dibacanya. Lalu baris kedua, “I love you, Bastian,” samar-samar tulisan pendek itu bisa dia baca. Lalu baris terakhir. “Maafkan aku, Bas.”

Matanya berkaca-kaca membaca kalimat terakhir di kertas itu, kalimat yang tidak jadi tertuliskan. Kalimat yang tidak pernah terucapkan. Kalimat yang sekarang bisu menemani sepasang kelinci yang bergandengan tangan.

Mata lelaki itu menerawang jauh, kopi sudah diseruputnya, tapi sarapannya dibiarkan begitu saja. Hatinya masih terpaku pada selembar kertas di tangannya.

Seandainya semalam aku kembali pulang, apakah aku masih bisa bertemu dengannya? Kalau saja aku menjawab telepon darinya, apakah dia akan mengurungkan niatnya? Misalnya aku segera berubah pikiran dan meminta maaf padanya saat itu juga, apakah dia tidak akan meninggalkan aku? Seandainya-seandainya itu berkecamuk di pikirannya, membuatnya semakin kalut. Antara menyalahkan diri sendiri dan di sisi lain mencari pembenaran untuk sejuta kejadian yang begitu cepat terjadi hari-hari belakangan ini. Lalu di sinilah dia, duduk merenungi sebuah momentum puncak dari rentetan kekecewaan.

***

Perempuan itu pulang dalam keadaan mabuk. Setelah ditelepon, lalu akhirnya Bastian mengirimkan seorang sopir taksi kenalannya untuk menjemput ke sebuah bar di tengah kota.

Berjalan terhuyung-huyung, dari mulutnya tercium bau minuman keras yang sangat menyengat. Sambil meracau tidak jelas, perempuan itu melepas sepatunya, memasuki ruang tamu lalu menuju dapur untuk mengambil segelas air putih. Sempat berhenti sebentar, menahan mual, menutupi mulutnya, hampir muntah. Menenggak air putih yang diambilnya, lalu berdiri sambil bersandar pada meja makan.

Memandangi lelaki di depannya, lelaki yang entah kapan terakhir kali melihat langsung ke dalam matanya. Sedih, marah, kecewa. Semua ada di sana, dan di mataku juga, batinnya.

“Kenapa kamu melakukan itu? Kamu mencintai aku, kan?” tanya Bastian padanya.

Perempuan itu masih memandanginya, lalu menarik nafas sebentar, enggan membuka mulut, tetapi suara-suara itu seperti berebutan tidak sabar untuk keluar dari kepalanya. Hatinya seperti mau meledak, semua ingin membuka pintu dan berlari keluar, ingin menampar lelaki di depannya. Lelaki yang dicintainya.

“Aku sayang kamu, Bas! Tapi kamu tidak pernah peduli padaku. Kamu tidak pernah menunjukkan kalau kamu pun sayang padaku. Kamu tidak pernah mengatakannya. Buat kamu, kerja nomor satu, tidak ada apa pun dan siapa pun yang bisa menggantikan posisi itu. Lalu aku, sebatang kara, tanpa siapa pun. Kesepian dan membutuhkan kasih sayang. Di tempat itu ramai, Bas. Aku tidak sendirian, banyak orang dan aku merasa punya banyak kawan.”

“Tapi kamu diperlakukan tidak senonoh, dibikin mabuk, disentuh-sentuh, ditertawakan, apa itu yang kamu mau? Kamu mempermalukan dirimu sendiri, Maya!” tukas Bastian setengah membentak.

“Aha… peduli apa kamu soal aku malu atau tidak! Kamu mengabaikan aku!” Maya memandang Bastian dengan mata marah menyala. “Kamu tidak pernah menyentuh aku. Kamu hanya datang dan pergi dengan ucapan hai dan dah… Disana, tidak apa-apa aku disentuh-sentuh, karena memang aku rindu disentuh.”

“Maya!” seru Bastian tidak suka. Dia mencengkeram pundak perempuan di depannya.

“Kamu dekat tapi jauh. Kamu di depanku, tapi aku tidak pernah bisa menggapaimu. Kamu berbicara padaku, tapi bukan berbicara pada istrimu. Aku lelah, Bas,” Maya menghela nafas panjang, lalu melanjutkan, “Aku ingin bukan tumpukan arsip-arsip tinggi yang ada di depan meja kerjamu, tapi foto kita berdua. Aku ingin kamu menggandeng lagi tanganku seperti beberapa tahun yang lalu, dan kita berjalan-jalan membeli es krim dan satai ayam di ujung gang. Aku ingin kamu mengkhawatirkan aku ketika aku sakit. Aku ingin dibelai ketika sedih. Aku ingin dipandangi saat kita bicara. Seperti dulu. Seperti dulu, Bas!” jeritnya keras-keras.

“Kenapa? Apakah itu berlebihan? Bukankah aku istrimu? Bukankah aku orang yang kamu pilih sekian tahun yang lalu untuk dijadikan teman sehidup semati yang akan mendampingimu? Lalu, setelah kejadian itu, kamu lantas jijik padaku? Bukan salahku! Manusia-manusia keparat itu datang malam-malam dan menghabisi rumah kita. Kamu tidak di rumah dan bajingan itu pun menghabisi aku! Bukan salahku!” teriak Maya histeris. ”Jangan mengabaikan aku!” Dia menangis sesenggukan, badannya melorot, lalu terduduk di lantai.

Bastian hanya memandangi Maya tanpa bisa menggerakkan badannya. Tubuhnya seolah dibuat kaku dengan sebuah batas bernama jijik. Dia tidak ingin menyentuh perempuan yang sudah dinodai laki-laki lain. Dia tidak bisa lagi memeluk perempuan yang bau peluh laki-laki lain. Meskipun bau dan noda itu sudah sekian tahun lalu, tapi buat dia bekas itu ada di sana, tidak bisa hilang. Dia mencintai perempuan itu, tapi entah sejak kapan keinginan untuk bercinta dengannya tidak ada lagi. Dia ingin memiliki perempuan itu, tapi entah sejak kapan ego dan rasa marah karena tidak bisa melindungi membuatnya menyalahkan diri sendiri dan mengambil keputusan untuk tidak lagi menyentuhnya.

Malam itu, Bastian pergi meninggalkan perempuan yang masih sesenggukan di depannya, berkendara jauh, lalu akhirnya membuat keputusan. Menceraikannya.

Handphone-nya berbunyi, tidak berhenti. Dibiarkannya begitu saja. Dia tidak pulang malam itu. Tidur di kantor.

Dini hari dihubungi. Istrinya bunuh diri.

***

Maya masih duduk di lantai dapur. Dia tahu pasti, akan seperti ini kejadiannya jika dia mengungkapkan apa yang selama ini dirasakannya. Ini sudah jalan terakhir, setelah sekian lama dia memendam dan berusaha mengubah keadaan, apapun caranya. Mulai dari belajar memasak, tapi ternyata Bastian tidak pernah memuji masakannya, yang kata ibu dan adik-adiknya sudah setaraf masakan restoran. Belakangan, malah Bastian lebih memilih untuk makan malam di luar dengan kolega-koleganya. Maya tahu, Bastian menghindarinya. Terutama setelah pertanyaan tentang keinginan mempunyai anak yang sempat dilontarkannya beberapa waktu lalu.

Maya juga berdandan, cantik. Sederhana tapi elegan. Lebih menyiratkan dandanan putri-putri keraton seperti kesukaan Bastian. Tapi, Bastian menengok pun tidak. Maya juga banyak membaca buku. Dari buku kegemaran Bastian, tentang dunia yang didalaminya, sampai buku filsafat yang malah dirasanya semakin membuatnya gila. Dia juga berdoa, semoga Tuhan membuka jalan untuk kehidupan pernikahannya dan Bastian. Semoga Tuhan membuka hati dan pikiran Bastian, supaya lebih memperhatikannya dan semakin mencintainya.

Tapi ternyata, semua itu tetap tidak bisa mengembalikan keadaan yang sudah terjadi. Dinodai. Itu membuat Bastian jijik padanya. Maya tahu itu, Bastian tidak bisa lagi menyentuhnya yang sudah bau peluh laki-laki lain. Bastian terlalu egois untuk mengakui bahwa kesalahan bisa terjadi dan bisa pula diperbaiki. Bastian menyalahkan dirinya juga.

Karena itu, Maya menyadari. Inilah langkah terakhir, untuk mengakhiri semuanya. Penderitaannya dan penderitaan Bastian. Kesepiannya dan kesepian Bastian. Yang seharusnya sudah sejak lama dia lakukan. Hanya saja dia tidak berani dan selalu menundanya. Berusaha berharap pada berbagai kemungkinan yang mungkin masih bisa memperbaiki keadaan. Tapi akhirnya, sekali lagi akhirnya, sampailah dia di sini. Di persimpangan terakhir jalan yang akhirnya harus diputuskannya.

Maya mengambil sebuah gelas kristal dari lemari kaca yang selama ini tidak berani dibukanya. Gelas kristal hadiah perkawinan dari ibu dan bapaknya. Dicucinya bersih, lalu diseka dengan lap kering. Diisi penuh jus jeruk kesukaan Bastian. Lalu, Maya mengeluarkan sebuah botol kecil berisi cairan bening. S besar tertulis di label botol itu. S = sianida. Lalu dia membuka botol itu, meneteskannya dua tetes ke dalam jus jeruk. Menutup botol rapat-rapat dan menyimpannya kembali di dalam tas.

Maya mengambil selembar kertas dan sebuah pensil. Menggambar sepasang kelinci, lalu menghapus beberapa bagian. Menulis beberapa pesan, lalu menghapusnya lagi. Ah, sudahlah, aku tidak ingin membebaninya. Aku hanya mencintainya. Mencintai suamiku dengan semua kekurangan dan kelebihannya. Sampai maut memisahkan, itulah saatnya dia bisa melangkah tanpa beban. Batinnya ringan.

Melipat kertas bergambar kelinci. Menarik nafas panjang. Lalu menenggak habis jus jeruk di gelas kristal. Getir, agak pahit. Lalu lemas dan gelap. Maya tertidur. Pulas. 

***

Selembar kertas bergambar sepasang kelinci dengan telinga pendeknya masih dipandangi di hadapannya. Mungkin kamu sudah bahagia di sana, mungkin tidak ada lagi yang merisaukanmu, mungkin kamu tidak perlu lagi menunggu aku. Telinga pendek itu pertanda kamu tidak lagi mengharapkan aku, sama seperti harapanmu supaya aku tidak lagi mengharapkanmu. Tapi…

***

Lelaki itu meraih sebatang pulpen di sakunya, lalu mencoret-coret kepala di kelinci biru. Menggambar telinga yang panjang.

Dan pagi itu, di sela rintik hujan dan kemunculan mentari yang malu-malu, adalah pelangi tampak mengangkangi rumah-rumah. Lelaki itu mengambil pistol yang disimpannya di laci kamar, lalu mengarahkannya tepat di pelipisnya.

*SELESAI*

Scroll to Top
× Hubungi kami