Nukilan dari Masa Lalu

Claresta Annisa Rahmandri

Nukilan dari Masa Lalu

Hal pertama yang melintas di benakku adalah DI MANA AKU?

Kedua kakiku berlari mencari jalan keluar. Nafasku tersengal lelah. Entah berapa kali aku mencari jalan keluar, tapi selalu kembali ke titik awal. Lalu, kurasakan angin menggelitik leherku. Kuikuti arah angin yang membawaku ke sebuah lubang, tertutupi rimbunan tanaman menjalar. Tanaman itu menjuntai ke lantai bagaikan gorden. Tanganku menepisnya, aku melangkah tanpa ragu. Di dalam, samar-samar terdengar suara orang yang berniaga. Senyum merekah seiring dekatnya langkah kaki dengan jalan keluar, “Tolong, kumohon, siapa saja!” seruku.

Namun, tampaknya kejutan suka menghampiriku. Otakku berusaha mencerna semua hal yang kulihat. Orang-orang dengan pakaian tradisional sedang berniaga. Hutan rimbun berdiri gagah di kanan-kiri seolah menahan mereka. Seruan demi seruan menggema di tengah hutan.

“Gajah Mada akan menyatukan Nusantara!” seseorang berseru di atas batu besar, “Sumpah Palapa sudah dikumandangkan!” Sumpah Palapa, Gajah Mada, bukankah itu semua terjadi berabad-abad yang lalu?

Rasanya aku akan mati karena rasa takut. Aku berlari hingga menembus hutan belantara, meloncati akar-akar atau menyelinap di sela-sela batang kayu. Aku terus lari sampai kakiku tak sengaja menginjak lumut dan menggelinding di tanah yang menukik tajam.

 “Nak, kamu baik-baik saja?” tanya seseorang sambil menyentuh pundakku. Seorang wanita tua dengan kebaya memandangku cemas. Aku bangkit dari tanah. Di sekitarku, orang-orang berjalan ke rumah dengan panggung sederhana di depannya. Aku meneguk salivaku dan melihat seseorang di atas panggung, Soekarno. 

“Proklamasi,” Soekarno membuka pidatonya dan seluruh orang langsung hening, “Kami bangsa Indonesia dengan ini,” aku merasakan bulu kudukku merinding, “menyatakan kemerdekaan Indonesia.” Aku tak bisa mendengarnya setelah kabur. Lalu, orang-orang berseru merdeka! Ini bukan duniaku, bagaimana aku bisa berada di tempat seperti ini? Aku mengambil langkah seribu hingga seruan merdeka sayup-sayup menghilang dan berganti menjadi teriakan yang mencekam, “Lari! Lari!”

Kuamati wajah-wajah masyarakat minoritas yang menangis dan ketakutan. Beberapa berlari dengan darah di sekujur tubuh mereka. Ada yang tak beruntung, ia terjatuh dan langsung ditusuk dengan belati atau ditembaki. Seorang pria keluar sambil membawa tubuh bayi yang telah mati dan melemparnya ke bara api. Di antara ketakutan masyarakat, suara tawa para pelaku mengiringi nyanyian pilu malam nan kelam itu.

“Jangan diam! Lari!” seseorang menarik tanganku, “Kita harus segera ke bandara!”

Pria yang menarik tanganku berbelok ke kanan, menembus pepohonan di tengah kegelapan, “Jangan lihat ke belakang!” serunya, “Jika mereka menemukanmu, kau harus berpura-pura ma…” Dor! Pria yang menarikku terjatuh ke tanah, “Tidak,” aku menghampiri pria itu, air mata mengaliri pipiku.

Kurasakan mata-mata yang penuh nafsu membunuh dan tangan-tangan yang tak kenal ampun menyenggol dedaunan. Aku menyadari keberadaan mereka yang berusaha menekan masyarakat minoritas. Mereka yang tak pernah memahami makna ideologi Pancasila. Mereka yang hanya berkoar-koar merdeka, tapi tak pernah paham makna merdeka itu sendiri. Ketakutan di jiwaku beralih menjadi api-api kemarahan. Rentetan pertanyaan menghujani kepalaku. Mengapa para minoritas tak bersalah ini dijadikan kambing hitam? Ke mana orang-orang yang menjanjikan kedamaian atas dasar ideologi Pancasila? Apakah Pancasila hanya sebuah perisai bagi kaum-kaum elite?

Kakiku menyusuri tanah hutan, kegelapan bukanlah penghalang. Aku terus berlari meski sosok itu tampak samar layaknya bayang-bayang. Aku berlari seiring dengan langit yang tampaknya semakin cerah. Langkahku terus menapak tanpa henti hingga sekumpulan kabut terlihat di depan mataku. Mataku terasa perih. BRUK! Aku terjatuh. Tanganku menyentuh sesuatu, tapi bukan tanah. Aroma tak sedap menyerang hidungku.

“Aaaaakh!” aku meloncat mundur dari tempatku jatuh. Tumpukan mayat orang utan yang terbakar dan belatung yang mengerogotinya membuatku mual.

Bara api melahap pepohonan yang berkisar dua puluh meter dari tempatku berdiri. Di dekatnya, dua orang berdiri, mereka saling bersulang dan tertawa. Kulihat sekelilingku, tampak jasad hewan yang telah membusuk. Seekor ular tewas terpanggang dengan mulut yang menganga lebar seakan menunjukkan ketakutannya sebelum berpulang. Di dekatnya, ada dua orang utan dengan kondisi sama sedang berpelukan. Sekali lagi, mengapa?

Seharusnya aku berlari ke arah dua orang itu. Menghajar mereka atau bahkan membunuh mereka. Aku seharusnya melakukan hal itu sebagai seorang pemuda. Namun, karena alasan yang sama—karena aku adalah seorang pemuda—aku berlari menjauh seperti seorang pengecut. Alih-alih memperjuangkan keadilan, memperjuangkan kebenaran, aku justru memilih untuk menutup mata. Aku memilih untuk lari dan pergi. Aku memilih untuk berpura-pura tidak tahu. Aku merasa malu.

“TOLAK RUU KUHP!” Seruan demi seruan terdengar di balik tebalnya kabut asap. Aku memandangi sekeliling dengan jantung yang berdegup kencang, “DENGARKAN SUARA KAMI! TOLAK RUU KUHP!” mataku terasa pedih sehingga aku menguceknya pelan lalu ketika membuka mata, aku berdiri di tengah gerombolan mahasiswa dengan berbagai almamater berbeda. Mereka menyerukan hal yang sama, “TOLAK RUU KUHP!”

Namun, dari itu semua, mataku tertuju pada satu mahasiswa. Mahasiswa itu berdiri di tempat tertinggi di tengah massa yang berdemonstrasi. Mulutnya mengobarkan semangat. Ia selayaknya singa jantan yang memimpin kawanannya dan sosok itu adalah aku, memimpin teman-teman sepermainan yang menuntut hal serupa : menolak RUU KUHP.

“Hei, ubah slogannya menjadi ‘Turunkan presiden’!” bisik seseorang di belakangku, “Kita harus menunggangi kejadian ini agar bisa menurunkan presiden,” lanjutnya.

Aku mendengus, “Ingat tujuan awal kita! Apa yang sudah kita rapatkan hingga tengah malam, yaitu menolak RUU KUHP! Kau jangan berani mengambil KESEMPATAN DALAM KESEMPITAN!” sorot matanya membalasku dengan penuh amarah. Tampak kebencian di sana. Aku sudah menutup mata pada kejadian sebelumnya, tapi aku tidak akan menutup mata untuk sekarang. Aku harus menyelamatkan teman-temanku dan diriku yang memahami betul apa tujuan demonstrasi ini.

“Kau akan menyesali ucapanmu,” ancamnya.

“Kupikir, kau yang akan menyesali ucapanmu,” Ia menerjang maju dan mencekikku. Aku menutup mata seiring orang-orang berusaha memisahkan kami.

Kulihat Ibu Pertiwi. Sedang bersusah hati. Aku membuka mataku pelan dan menyadari bahwa aku kembali ke ruangan hitam. Sorot cahaya menerangi seseorang di atas kursi goyang. Sosok itu memunggungiku sembari menyanyi pilu. Suaranya begitu merdu sampai-sampai aku tak pernah sedalam ini merasakan emosi dari lagu Ibu Pertiwi.

Air matanya berlinang. Mas intannya terkenang. Aku memberanikan diri mendekati wanita itu. Ia memakai kebaya, rambutnya disanggul rapi. Suaranya lembut dan jernih, tapi teriringi kesedihan dan tangisan. Hutan gunung sawah lautan. Simpanan kekayaan.

Aku terdiam beberapa langkah di belakangnya. Pandanganku merunduk dan air mata membasahi pipiku. Nyanyian wanita itu mengunggah dan menusuk jiwaku. Nyanyian itu terasa lebih menyakitkan ketika mengingat perjalanan ilusi hari ini. Kini ibu sedang lara. Merintih dan berdoa.

Bila aku adalah para pahlawan, aku akan menangis melihat permasalahan di bumi pertiwi. Perasaan itu lebih menyakitkan dibandingkan apa pun. Saking sakitnya, aku sampai menangis tersedu-sedu. Selayaknya wanita itu yang menangis sembari menyanyi. “Maafkan aku,” kataku di depan wanita itu, “Maafkan aku dan seluruh penerus bangsa yang telah menyakiti hatimu,” wanita itu berhenti menyanyi dan berhenti menggoyangkan kursinya. Ia terdiam, siap mendengarkan seluruh penyesalanku. Langkah kaki mendekatiku dan terlihat bayangan wanita itu mendekat. Aku masih merunduk di tempatku. Menangis tersedu-sedu,  “Berdiri, Sayang,” ucapnya lembut. Aku berdiri tanpa berani memandangnya, “Lihat aku.”

Aku menggeleng pelan, “Aku tak pantas untuk menatapmu, Ibu.”

“Seorang penerus bangsa harus sekuat akar,” tangan Ibu mengangkat daguku pelan, “Kurasa ada banyak orang yang ingin bertemu denganmu,” pandangan Ibu beralih ke belakangku. Aku menoleh ke belakang dan kulihat barisan para pahlawan di sana. Satu dari mereka semua berjalan ke arahku dengan gagah, aura kepemimpinannya terasa mencekam. Namun, kehangatan jiwanya dapat tersalurkan.

“Perjuanganku terlalu mudah, Nak,” Katanya ketika berhadapan denganku, “Aku hanya melawan penjajah, tapi kau melawan bangsamu sendiri,” bibirnya mungkin memaklumi generasi penerus bangsa, tapi matanya tidak bisa berbohong akan kesedihan di dalam jiwa. Aku memeluknya dan ia membalas pelukanku.

“Maafkan aku,” kataku, “Maafkan kami, Bapak Proklamasi.”

“Tak apa,” Soekarno mengelus punggungku, “Selama orang-orang sepertimu—orang-orang yang menyadari makna ideologi Pancasila, orang-orang yang memahami apa arti sebuah negara, Pancasila, kedamaian, dan sejarah—masih ada, negara ini akan baik-baik saja.”

Aku memeluk Soekarno lalu mengintip ke belakang. Barisan para pahlawan tersenyum ke arahku. Para jenderal korban G30S/PKI, Hatta, Syarir, dan para pejuang kemerdekaan saling merangkul. Di depan mereka, berdiri Gajah Mada yang memandangku sembari mengangguk pelan. Ibu Kartini, Cut Nyak Dien, dan pejuang wanita lainnya tersenyum hangat. Semua pahlawan ada di sini.

Beribu masalah telah kalian lewati maka kini adalah giliran tunas bangsa yang menggantikan, “Beristirahatlah dengan tenang,” janjiku—janji kita—pada mereka.

Ngiiiiiiiiiiiiing!

Aku tersentak dari tidurku begitu suara air yang mendidih menggema layaknya alarm. Aku langsung menghampiri dapur dan mematikan kompor. Kubuka tutup ceret dan seluruh air yang kurebus telah hilang. Aku menghela nafas seharusnya aku tidak tertidur.

Aku kembali ke sofa dan berusaha menyegarkan pikiranku yang masih setengah sadar. Cahaya senja menerobos masuk ke ruanganku. Mataku menoleh ke jendela dan tampak langit senja yang damai.

Seorang penerus bangsa harus sekuat akar.

Kata-kata itu menggema di kepalaku. Mimpi itu terlalu berharga untuk dilupakan.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami