Pamer

Oleh: Dadang Ari Murtono

Ion yang pertama melihatnya. Kami sedang berjalan-jalan dan bocah sebelas tahun itu berayun-ayun di lengan kiriku. Lantas tiba-tiba ia mogok dan menjerit-jerit, “Lihat.” Ia menuding ke atas dan matanya berbinar. Dan di sanalah lelaki itu mengendarai seekor kuda terbang, menghalau awan putih dan menarik-narik gumpalan mendung. “Bagaimana ia bisa terbang seperti itu?” kata Ion bertanya.

Aku segera tahu jika lelaki itu adalah masalah. Aku baru saja kehilangan istri dan Ion kehilangan ibu. Dan itu sudah merupakan masalah besar. Aku tak butuh satu masalah lagi. Namun begitulah. Masalah itu datang sendiri dan aku tak bisa mengelakkannya. Ion berteriak-teriak memanggil lelaki itu.

“Ia tidak akan turun,” kataku sambil menarik tangan Ion. Namun bocah itu bersikeras. Ia menahan tarikanku sekuat ia mampu dan mulai merengek. Matanya mendelik ke arahku dan aku tahu jika bocah ini sudah dalam posisi seperti ini, aku tak punya pilihan lain. Maka aku melambai lelaki yang mengendarai kuda terbang itu. “Turunlah,” teriakku. “Sebentar saja.”

Namun sepertinya lelaki itu tidak mendengarnya. Maka aku merunduk dan memungut kerikil sebesar jempol kakiku dan melemparkannya. Aku cukup handal dalam urusan melempar batu. Lemparan pertamaku luput, tapi itu cukup untuk menarik perhatian si lelaki. Ia menoleh ke bawah. Kuda terbangnya meringkik dan keempat kakinya berderap di udara kosong. Kukira, kuda terbang tidak bergerak dengan cara seperti itu. Seharusnya ia mengepakkan sayapnya seperti seekor burung. Namun sayapnya hanya terentang begitu saja. Dan kuda itu terus berderap, berputar-putar seperti seekor anjing yang sedang mengejar ekornya sendiri.

“Kumohon,” teriakku lagi. “Anakku terlanjur melihatmu dan ia akan terus mogok jika kau tidak turun. Tolong bantulah aku sebentar saja.”

“Apa?” lelaki itu menyahut dan itu memberiku harapan. Aku melambai-lambaikan tangan dan Ion yang sudah berhasil melepaskan genggamanku melompat-lompat seperti tupai.

“Aku sibuk,” kata lelaki itu. “Tidakkah kau lihat apa yang sedang aku kerjakan?”

“Kumohon,” kataku, “bocah ini sedang ulang tahun dan ia baru saja kehilangan ibunya.”

Ion menatap lelaki itu sambil menjulur-julurkan lidah. Ia selalu bertingkah seperti itu jika benar-benar menginginkan sesuatu. Empat hari yang lalu, ia juga menjulur-julurkan lidah ketika membuka ponselku dan melihat foto Gunung Merapi di Google. “Aku ingin ke sana,” katanya merengek.

“Tidak bisa,” kataku, “ibumu baru saja meninggal. Ini bahkan belum tujuh hari.” Namun ia terus merengek dan menjulur-julurkan lidah dan menetes-neteskan ludah. Aku tak tahu bagaimana bocah sebelas tahun memahami konsep kehilangan. Pada hari ketika ibunya meninggal, ia menangis. Namun sebelum sore, ia sudah sibuk minta ponsel dan tak pernah lagi mengungkit-ungkit perihal ibunya.

Aku tahu aku harus menuruti keinginannya atau ia selamanya menjulurkan lidah dan meneteskan ludah. Orangtuaku marah ketika aku mengatakan akan membawa Ion liburan beberapa hari ke Gunung Merapi.

“Kau gila,” kata mereka. “Istrimu meninggal karena covid dan kini kau mau liburan!”

Aku mengatakan bahwa Ion yang meminta.

“Kita bahkan tidak bisa mengadakan tahlil untuk istrimu!” kata orangtuaku.

Namun pada akhirnya, kami – aku dan Ion – tetap berangkat ke Gunung Merapi. Kami menginap di sebuah vila di Jalan Kaliurang atas. Lantas pada sore hari kedua, kami berjalan-jalan menyusuri jalan kampung.

Begitulah kami pada akhirnya melihat lelaki yang mengendarai kuda terbang itu.

***

Lelaki itu punya hati – untunglah. Ia menarik tali kekang kuda terbangnya dan binatang itu meringkik pelan sebelum berderap turun. Bulu-bulu binatang itu putih berkilau dan tampak lembut seperti kapas. Ketika mendarat, tak ada debu yang mengepul, tak pula terdengar ketipak sepatu kuda yang membentur permukaan tanah. Binatang itu begitu ringan.

Ion segera berlari mengelus-elus kuda itu. Busa menyembur dari mulut kuda tersebut ketika Ion sampai di depannya, membuat rambut Ion basah kuyup. “Ia menyukaiku,” teriak Ion.

“Ini sudah cukup?” kata lelaki itu bertanya.

“Tergantung bocah itu,” kataku menunjuk Ion. “Baiklah, Nak. Sekarang katakan apa yang kauinginkan?”

“Aku ingin selfie,” teriak Ion.

Kamera tak bisa menangkap si lelaki dan kuda terbangnya. Kami sudah berulang kali mengambil foto, namun yang muncul di layar ponsel adalah Ion yang membuat tanduk di atas kepala dengan kedua tangannya dan aku yang berdiri setengah meter darinya. Tak ada siapa pun di antara kami yang seharusnya diisi oleh si lelaki dan kuda terbangnya. “Ini rusak,” teriak Ion dan ia mulai membanting-banting kakinya.

“Kumohon,” kataku kepada si lelaki. “Bocah ini sedang berulangtahun dan ia baru saja kehilangan ibunya. Kau pasti tak ingin membuatnya kecewa kan?”

“Aku tahu dia berulangtahun dan baru saja kehilangan ibunya,” kata lelaki itu. “Kau sudah mengatakannya tadi. Dan aku sudah menuruti keinginanmu. Apa lagi yang kurang?”

“Kau lihat,” kataku sambil menunjukkan foto di layar ponsel. “Kau tidak ada di sini. Kau dan kuda terbangmu itu!”

“Itu bukan salahku,” katanya sedikit keras. Ia tampak kesal karena aku menyalahkannya. Kuda terbangnya meringkik pelan dan memundurkan kaki-kakinya karena nada ucapan itu. Aku melirik Ion dan mendapati mukanya pucat. Ia bersiap melolong seperti yang selalu ia lakukan jika tidak mendapatkan apa yang ia mau. “Aku mau foto,” teriak Ion. “Aku mau foto kita semua!”

“Lihatlah bocah ini,” kataku memelas. “Tidakkah menurutmu ia begitu manis? Ia berulangtahun hari ini dan ia baru saja kehilangan seorang ibu. Dan satu-satunya yang ia inginkan adalah foto kita bersama.”

“Kita sudah berfoto bersama,” kata lelaki itu.

“Tapi kau dan kuda terbang sialanmu itu tidak ada di sini!” teriakku sambil menunjukkan layar ponsel tepat di depan mata lelaki itu.

Ion mulai menjerit. Aku tahu, sebentar lagi ia akan menjambaki rambutnya sendiri, mengodol-ngodol bajunya, membuang sandalnya, dan berguling-guling di tanah seperti seekor babi. “Bukan salahku kalau aku tidak ada di foto itu!” teriak lelaki itu. Wajahnya berangsur memerah dan aku tahu ia marah. Namun aku juga marah. Aku marah karena istriku meninggal. Aku marah karena keinginan anakku yang sederhana tidak tercapai. Aku marah karena lelaki itu begitu suka pamer sehingga ia terbang bersama kuda terbangnya di atas kepala kami pada sore hari ketika kami berjalan-jalan dan seharusnya jalan-jalan itu menjadi jalan-jalan yang menghibur.

“Kau tidak seharusnya terbang berputar-putar seperti itu,” kataku pada akhirnya dengan nada melunak. “Bocah seperti anakku ini akan bisa melihatmu dan itu memberi kesan buruk yang akan melekat di benak mereka selamanya.”

“Aku hanya menjalankan tugas,” katanya, “semenjak zaman Sultan Agung, semenjak Kiai Sapu Jagat menjaga Gunung Merapi, sudah menjadi tugasku untuk terbang berputar-putar mengatur cuaca di sekitar gunung ini. Dan selama itu pula tak ada yang mempermasalahkannya.”

“Masalahnya,” kataku, “selama waktu itu, tidak ada anak umur sebelas tahun yang sedang berulangtahun dan baru saja kehilangan ibunya karena covid terkutuk itu yang melihatmu.”

“Banyak orang yang pernah melihatku,” katanya membela diri.

“Orang-orang dewasa yang melihatmu,” kataku. “Bukan anak-anak. Lihatlah bocah ini. Karena melihatmu hari ini, ia akan kebingungan selamanya. Di sekolah, ia belajar agama dan tahu bahwa Malaikat Mikail yang bertugas mengatur hujan. Sementara di pelajaran fisika, ia belajar bahwa hujan tercipta dari air yang menguap. Dua hal yang bertentangan itu saja sudah cukup membingungkannya. Dan kini ia mesti menerima fakta lain bahwa ada seorang lelaki menaiki kuda terbang yang sedang mengatur mendung.”

Lelaki itu menghela napas panjang. Kuda terbangnya tampak gelisah. Dan Ion sudah mulai melepas sandal dan terus merengek. “Aku tak mengerti,” kata lelaki itu, “kukira persoalannya adalah aku dan kuda terbangku yang tak ada dalam foto. Dan itu bukan kesalahanku.”

“Lalu salah siapa?” aku mulai tidak sabaran.

“Tanyakan ke Tuhan. Kau punya Tuhan tempat kau bisa menyalahkan segala sesuatu yang tidak berjalan seperti kehendakmu,” katanya. “Atau kau bisa protes kepada para produsen ponsel yang belum mampu menemukan teknologi untuk mengambil foto makhluk-makhluk seperti aku dan kudaku.”

Lelaki itu menarik tali kekang kudanya. Dan begitulah mereka pergi. Mereka terbang berputar-putar menarik mendung. Ion sudah berguling-guling dan berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Lelaki itu tidak peduli.

Scroll to Top
× Hubungi kami