Soerabaja

Oleh: Muhammad Gibrant Aryoseno



Singkatnya, tak pernah bisa kulupa keterasinganmu itu—

mutiara di jejal samudra. Gelembung-gelembung niskala

berwarna kecokelatan yang sampai pada corak putih

di Tanjung Perak tatkala rombongan Britania

Mallaby bergema—sajak-sorai kedatangan.


Di ranjang ini, aku tanggalkan pakaianmu,

para meneer pun mulai melucuti Nippon;

gejolak revolusi membawaku pulang pada ceruk tubuhmu

seperti para meneer yang bersarang di Internatio.

Anomali terjadi di sana: Mallaby tewas ditembak;

gadis pribumi sepertimu berdarah oleh orang kulit putih.

Perjuangan belum selesai. Kita berjalan sembunyi

dalam meander Kalimas tempat mengalirnya darah Mallaby

menjauhi Jembatan Merah agar suci kisah tegah kita.


Berharap-harap cemas, ultimatum itu bagiku

adalah satu-satunya cara menyelamatkanmu.

Dengan sepenuh hati dan tanpa syarat,

arek-arekmu tetap tidak menyerah.

Kau bersejingkat dengan lubang peluru di bawah dada

yang menganga penuh amarah di dengungan

kalimat-kalimat galak Bung Tomo.


Pada lagu cinta kita yang tinggal sejengkal

kau justru berteriak “merdeka ataoe mati!

Sebagai bekas tawanan perang, aku hanya menangis

melihat kau dirobek seperti biru dari merah-putih

di atas Hotel Yamato kala itu yang menjadi awal mula

bait terakhir sajak kematianmu.


Rimbun cantikmu abadi. Sekedip senyum

seperti ingin membujukku kembali

pada sejarah kota yang kita ukir bersama.

Sesekali aku mengingat 10 November;

sering kali potret tempo dulu muncul.


Kulihat Nona, dadamu membara

diempas angin malam kota,

menyusui arek-arek yang ingin merdeka

hingga tumbuh besar menjadi Surabaya.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami