Oleh: Budianto Sutrisno
/1/ Malam sungkawa
Jemari malam ripuh merajut benang-benang kelam
setiap utasnya menjelma derai air mata Amba—putri sulung raja Kasi
rembulan dan gemintang bersembunyi di balik kelimut kabut
tak tega mendengarkan pilu Amba yang menyembilu
lidah sang putri melenturkan busur keluh kesah, menguar segala resah
: wahai Bisma, Putra Gangga yang sakti mandraguna
aku menuntut keadilan, seadil-adilnya padamu
untuk apa kaumenangkan sayembara pencarian jodoh
kalau ujungnya hanya melumatkan diriku di tubir aib?
kauboyong aku dan adikku, Ambika dan Ambalika, ke Astinapura
keduanya diperistri Baginda Wicitrawirya
tapi aku ditolak, dianggap barang bekas, kar’na suah digandeng Salwa
kekasihku yang kautaklukkan dalam sayembara
kaukembalikan aku ke Salwa, tapi aku jadi serupa muntahan yang menjijikkan
dia pecundang, merasa tak layak bersanding denganku
/2/ Cinta yang beraral
Wahai Bisma, apakah hatimu suah mencadas batu?
kalau kuminta kau jadi belahan jiwaku, apakah aku berlebihan?
kautolak pintaku ’tuk menyulam cinta bersama dengan alasan sumpah selibat
sekalipun aku jarum kesayangan dewa dan kau benang kencananya
sulaman sepasang hati tanda cinta kita berdua tak pernah dimulai, apalagi purna
kau terhalang oleh sumpah selibatmu demi darma kepada orang tua
aku teradang oleh bara pawaka berangsangku
nelangsa di mercu meru kecewa, hasad, dan kesumat
aku tak ubahnya sekam dilanda puputan angin gurun kerontang
/3/ Lorong pemungkas
Bisma, kutelusuri liku lorong gelap kembara batin yang menyiksa
kukira, persuaan denganmu ’kan jadi lorong pemungkas
tempat aku mendekap seberkas suar terang dan berbanjur rinai bunga
ternyata aku keliru, aku putri raja, kaujadikan perawan tua
kaubilang kau ’kan menggapai matahari
’tuk keringkan anak sungai di mataku
tapi air mata ini hanya bisa berhenti mengalir jika kau terima diriku
teganya kaubuat aku terkulai dilibas luberan lahar asmara yang berapi-api
jemalaku bersimbah angan tanpa tujuan
lebih baik aku mati ketimbang berbalur lumpur malu
/4/ Tragedi tak terduga
Bisma berdiri tegar, merentang gendewa pusakanya agar sang putri menjauh
Amba berlari secepat kijang, melenting dan menubruk mata anak panah
bless! anak panah menghunjam jantung Amba
sebelum tewas, mulutnya laungkan serapah yang remangkan bulu kuduk
: Bisma, tunggu pembalasanku; ku ’kan menjelma perempuan perkasa
kupastikan akhir hela-embus napasmu dan enas ajalmu di tangannya
/5/ Ijab karma
Berpuluh warsa berlalu, langit Padang Kurusetra dijerang beringas berang perang
cawan darah terus dikucur oleh kedua pihak yang saling mengabu hancur
Bisma menatap sukma Amba di sosok Srikandi yang cegak merentang gendewa
wajah sang resi senapati mengulum senyum sembari berujar
: mari ke sinilah kau Amba, tenggatku sudah tiba untuk memelukmu dan menyulam cinta
ini saatnya aku ikhlas mengijabkan karma, jangan mendua ’tuk bidikkan panahmu
Panah sakti melesat secepat kilat dari gendewa Srikandi
dipacu berbongkah energi dendam sukma Amba
kuat menerjang kencang, menghunjam dada Bisma
disusul ratusan panah Arjuna yang menghujani jasad sang resi adiwira
membuat seluruh daksanya bergetar, serupa landak raksasa yang menguar anyir darah
berbalur jelaga sakit hati dan debu cinta masa lalu
padang Kurusetra mendadak dicekam ranap senyap
nabastala mendirus raksi cempaka-kenanga, tanda sungkawa atas mangkatnya Bisma
dengung litani doa memungkasi episode bara cinta bersemat kesumat
tinggalkan serpih tragedi yang mengiris hati
Jakarta, 1 Desember 2023