DI DEPAN JALAN BERCABANG

Oleh : Nathanio Chris Maranatha Bangun
Lengang. Tak ada umat yang berkunjung ke pastoran hari ini. Memang ini musim panen padi. Semua berpeluh menantang mentari.

Tak terkecuali dirinya. Warna kulitnya melegam seperti masyarakat sekitar. Kontras dengan warna kulitnya yang dahulu sebelum datang ke tempat ini. Rambutnya yang panjang dikuncir ke belakang. Keringatnya mengucur lebih deras ketimbang umat yang turut memanen bersamanya.

“Lihat Pastor, seperti surga saja, ya!” Posan menunjuk ke arah danau dengan telunjuk kecilnya.

Tampak keindahan danau vulkanik terbesar di dunia. Dua ratus meter saja jaraknya dari pastoran. Setiap pagi, percikan mentari membuat pemandangan itu terasa lebih menakjubkan dan mistis. Awan-awan menggantung seperti payung di atasnya. Semuanya ini seperti lukisan bertema “kampung halaman” yang dipajang di museum-museum. Sayangnya kenyataan tidak seindah lukisan. Lukisan itu hanya mencitrakan kemiskinan yang artistik.

“Mungkin kalau Adam dan Hawa tidak memakan buah pohon itu, kita semua tidak akan begini kan, Pastor?” ujar Posan dengan lugu.

Adi hanya diam dan tersenyum.

Hidup di kampung ini tidak mudah. Tanah keras dan tak subur. Petani harus bekerja tiga kali lebih keras untuk bisa menghasilkan sesuatu dari tanah ini. Tidak mungkin mereka pindah. Ini tanah leluhur yang harus dilestarikan. Demi menolong mereka, dia ikut bertani seperti warga sekitar.

Sengat mentari semakin vertikal. Badannya beristirahat di bawah daun pisang. Tangannya mulai meracik rokok tembakau linting lalu diisapnya. Sepucuk surat dikeluarkannya dari saku. Dibacanya sekali lagi. Entah mengapa benaknya seperti terhisap.

***

Acara itu lagi. Dia selalu menghindar, tetapi kali ini tak bisa. Eddo sudah memesan tempat khusus untuk mereka semua selama sehari. Itu mudah bagi seorang vikaris jenderal[i]. Tempat itu adalah milik seorang umat yang tajir. Setiap orang yang ingin masuk akan merasa dituntut untuk berpakaian mewah hanya dengan melihat pekarangannya saja.

Masalahnya adalah setiap pertemuan dengan mereka semua hanya mempertegas kegagalannya. Eko dan Lek menjadi parokus[ii] di kota besar. Jarot, satu kampungnya, sudah menjadi pemateri retret yang laris setelah studi di Roma. Lay, sang dosen, sering tampil di berbagai acara ilmiah.

Tinggal mereka berlima yang bertahan dari puluhan teman seangkatan. Hanya saja, nasibnya yang paling sial. Bertahun-tahun di paroki pelosok, dia mentok jadi parokus saja.

Namun, dia sangat sadar diri. Paham betul seperti apa kemampuannya. Uskup sendiri sudah berbaik hati menahbiskan dia sekalipun dirinya dinyatakan tidak lulus ujian akhir akademik. Dia bisa lolos hanya karena tekun bekerja dan hidup sesuai aturan.

Karena itu juga, dia benci pulang ke kampung halaman. Dadanya sesak mengingat ibu yang berusaha tersenyum saat Adi pulang membawa oleh-oleh berupa ubi dan beras dari pemberian umat. Sementara teman-teman seangkatannya membawa baju, jam, dan oleh-oleh mahal lainnya. Untungnya Adi punya ibu yang tekun membesarkan hati pastor muda itu.

“Tidak ada yang ibu harapkan dari Pastor selain berkat.” Suara ibunya terdengar menahan sesuatu. Kaca-kaca di mata ibunya membekas dalam ingatan Pastor Adi.

Wajah ibu Adi kerap berubah murung saat warga kampung diam-diam bertanya kepada sang ibu, mengapa mobil yang dibawa Adi begitu buruk, padahal pastor lain selalu pulang dengan mobil keren. Kapan Adi menyumbangkan uang untuk membangun rumah orang tuanya? Bukannya gaji pastor tinggi? Buktinya, pastor lain saja bisa membangun rumah orang tuanya bahkan memodali keluarganya membuka usaha beternak.

            “Kau terlihat lusuh, Di,” ujar Jarot, membuyarkan lamunan Adi seraya menyodorkan satu sloki whiskey. “Nikmati saja. Sudah lama kau tidak ikut reuni angkatan sepanggilan.”

            “Memang beginilah penampilan terbaikku, Jar.”

            “Dengar-dengar, kau akan dipindahkan ke Neda ya,” ujar Eddo.

            “Dengar dari siapa? Aku belum menerima surat keputusan.”

            “Informasi itu selalu datang lebih cepat daripada surat,” Eko nyengir.

            “Sepertinya uskup melihat kerja kerasmu di Paroki Lipa. Kudengar kau mau turun bekerja di ladang bersama umat. Tapi toh, sekeras apa pun usahamu, paroki itu akan selalu disubsidi keuskupan. Sulit mandiri,” Lay menimpali.

“Keputusan uskup sudah tepat,” Jarot menghabiskan slokinya sekali teguk. “Sudah dua puluh tahun kau di paroki pelosok itu. Sesekali penyegaran ke lahan basah okelah. Apalagi paroki itu memiliki dua pedang.”

            “Aku gak berpikir soal uang, Bro. Aku merasa berkecukupan. Apa lagi sih yang perlu sampai-sampai aku mencari uang dari pelayananku?”

Mereka spontan terbahak. “Jangan terlalu baik, Di. Ayub dicobai karena terlalu baik.”

“Mau gimana pun, kita tetap Batak. Hagabeon udah gak kita dapat. Tinggal hamoraon dan hasangapon yang bisa kita dapat,” tegas Eddo setelah menghisap cerutunya.[iii]

“Aku berikan trik supaya kau bahagia di situ dan tidak gampang dipindahkan.”

“Trik? Maksudnya?”

“Aku tahu ibu dan saudaramu di kampung hidup susah. Temani umat yang kaya dari Paroki Neda, minta uangnya, lalu kirim ke kampung. Pelan-pelan panggil saudaramu supaya bekerja di ladang Paroki Neda. Supaya jabatanmu cepat naik, dekati saja uskup dan jangan bantah ucapannya walaupun salah. Kalau ada isu kau mau dipindahkan, langsung bangun atau rehab salah satu gereja agar kau tetap terikat di paroki itu sehingga tak jadi pindah.”

Adi disergap kesadaran. Barulah terang mengapa Eddo bisa begitu cepat menjadi vikjen, mengapa Lek membangun banyak gereja, mengapa separuh karyawan di ladang milik paroki yang ditangani Eko masih memiliki hubungan keluarga dengan Eko. Kepala Adi rasanya berputar.

“Entahlah apa aku yang aneh. Aku tidak memikirkan itu semua, Bro. Aku bukan menjadi pastor untuk keuntunganku.Aku hanya berusaha menjadi orang yang berbuah bagi banyak orang dalam keterbatasan. Jangan sampai aku dikutuk seperti pohon ara.”

***

            Atap Gereja Paroki Neda menjulang tinggi seperti mencucuk angkasa, khas gaya gotik. Langit-langit interiornya dihiasi lukisan-lukisan bak Kapel Sistina. Orgel pipa megah terletak di samping mimbar dirigen. Dibandingkan dengan Gereja Lipa, seperti langit dan bumi saja.

            Berita bahwa dia bertugas sebagai wakil parokus membuat ibunya senang.

 “Sudah dipercaya rupaya kau bertugas di tempat besar ya, Nak,” ujar ibunya melalui telepon.

Dia bergeming, tak tahu mau berkata apa. Diucapkannya mauliate kepada ibunya lalu menutup pembicaraan. Walau niatnya bekerja sungguh besar,parokus tidak memberinya banyak tugas. Parokus sendiri yang selalu tampil di setiap pelayanan Misa dan acara-acara penting. Di situ pun dia dipandang sebelah mata, namun dia berbesar hati.

Adi hanya bisa melihat-lihat. Dia tahu parokus dekat dengan umat. Atau lebih tepatnya, umat yang kaya. Parokus juga dekat dengan tokoh-tokoh politik. Menjelang tahun politik, semakin banyak orang-orang dengan jas atau batik yang bertamu ke pastoran. Adi pernah melihat wajah mereka di baliho-baliho yang menutupi pagar gereja. Mereka selalu tersenyum ramah seperti di baliho kepada parokus. Bedanya, kali ini senyum mereka disertai bingkisan, ngobrol berlama-lama, lalu sebelum pulang amplop diselipkan di kantung celana parokus. Biasanya senyum parokus akan lebih lebar lagi dan suaranya lebih ramah lagi.

Di Kabupaten Neda, hampir sembilan puluh persen masyarakatnya beragama Katolik. Dengan begitu, pengaruh parokus tak hanya di bidang agama, melainkan juga di bidang pemerintahan. Para pejabat pemerintahan baru bisa duduk di kursi setelah mendapat restu dari parokus. Ucapan Jarot memang terbukti. Paroki Neda memiliki dua pedang: Duniawi dan surgawi.

            Suatu ketika terdengar kabar parokus akan mengikuti program tahun sabat di Filipina. Uskup lantas mengangkat Adi menjadi parokus untuk menggantikan. Banyak politikus yang mengucapkan selamat kepada Adi.

 “Selamat bertugas, Pastor. Kami harap, Pastor mudah diajak bekerja sama seperti parokus sebelumnya.”

***

“Saya menyuruh seorang calon saya untuk datang ke pastoran menemuimu. Penuhi semua permintaanya. Saya akan menaikkan posisimu. Lakukanlah ini demi ketaatan yang sudah kamu sumpahkan saat tahbisanmu.”

“Tapi Monsinyur, bukankah kita dilarang berpolitik praktis?”

“Pastor Adi, ini demi rakyat dan gereja.” Telepon diputus begitu saja.

Di situlah Adi. Menunggu. Duduk di kursi. Kakinya bergerak-gerak dengan gelisah sambil memikirkan ucapan uskupnya. Baru sebulan menjabat, dia menerima tugas yang ganjil.

Tak lama, sebuah mobil hitam melaju ke halaman pastoran. Seorang lelaki paruh baya keluar dari mobil, bergegas menuju pastoran. Adi mempersilakannya masuk. Dia Bapak Andra, bendahara paroki yang berulang kali dicurigai mencuri uang paroki. Tetapi tidak ada yang berani melapor karena dia dekat dengan parokus dan uskup. Bapak Andra tersenyum. Lebih tepatnya, memaksa tersenyum.

“Ada apa, Pak Andra?”

“Tanpa basa-basi, Pastor. Saya yakin Monsinyur sudah menelepon Pastor. Saya mau minta bantuan Pastor agar saya menjadi bupati.”

Adi merasa ada yang tidak beres. “Bantuan seperti apa yang Bapak harapkan?”

“Bupati sekarang suka makan uang rakyat dan kurang kontributif kepada Gereja. Saya ingin Pastor menugaskan umat untuk berdemo di depan kantor bupati. Nasi bungkus bisa saya sediakan. Lalu, nama saya selalu Pastor doakan sebagai calon bupati di setiap misa dan acara-acara Gereja. Sekali waktu, kita kumpulkan semua umat Katolik paroki ini. Awali dengan misa lalu saya akan kampanye. Jangan takut, Pastor. Akan saya berikan uang duduk mereka. Lalu saya ikut Pastor mengunjungi stasi-stasi paroki ini sambil membagi sembako. Saya akan mengabdi rakyat dengan setia, jujur, dan adil sebab saya mencintai kabupaten dan paroki ini.”

“Sebagai balasan atas kebaikan Pastor, saya memberikan ini.” Dia menyodorkan kunci mobil yang dipakainya dan setumpuk uang kertas berwarna merah. “Ini masih tahap awal, Pastor. Uskup pun sudah mendapat. Setelah menjabat, akan lebih besar lagi. Anggaplah ini sebagai persembahan perpuluhanku.”

Jiwa Adi bergejolak memandang kunci dan uang di hadapannya. Hasratnya melambung pada janji uskup untuk menaikkan posisinya. Dibayangkannya dirinya terlihat gagah dengan busana vikjen sedang berjalan di kantor keuskupan. Sesampainya di kampung, diajaknya ibunya berjalan-jalan dengan mobil itu. Nyaman. Mewah. Tidak mogok lagi seperti dulu. Akan dibawanya oleh-oleh cincin emas untuk ibunya. Akan dibelikannya tiket ziarah ke Tanah Suci. Bibir orang sekampung akan mengatup rapat. Tak ada lagi yang berani mencibir.  Dia mamora dan sangap. Mata ibu berbinar penuh kebanggaan, tidak berlinang. Kesempatan emas seperti ini tidak akan mudah terulang lagi.

 Ditariknya nafas untuk terakhir kali. Pak Andra tetap tersenyum menunggu Adi berbicara. Dia pun akhirnya balas memandang mata bapak itu dalam-dalam dan menjabat tangannya erat-erat sambil tersenyum.

***

Pada akhirnya, kau merasakan suatu sukacita yang tak pernah kaurasakan bertahun-tahun sebelumnya.  Cahaya sore memelukmu yang sedang duduk memandang danau, ditemani gubuk dan awan menggantung yang sangat akrab denganmu. Teman-temanmu tetap lebih sukses. Ibumu tetap miskin dan disindir warga sekampung. Mobilmu tetap butut. Semuanya ini adalah harga yang pantas untuk sebuah keyakinan.

Sambil menghisap linting rokok tembakau, benakmu mengingat surat kilat dari keuskupan, tak lama setelah Pak Andra bertamu. Kau bisa bayangkan wajah uskup yang marah dan suaranya menggelegar menyuruh sekretarisnya mengetik surat penuh kata-kata pahit itu. Tak apa.

Di depan jalan bercabang, kau telah memilih yang terbaik.


[i] Vikaris Jenderal (Vikjen) adalah jabatan yang diberikan untuk mewakili uskup dalam sebagian tugas uskup.

[ii] Parokus adalah istilah lain untuk “pastor paroki”, yakni seseorang memimpin sebuah paroki.

[iii] Hagabeon (keturunan), hamoraon (kekayaan), dan hasangapon (kehormatan) merupakan prinsip hidup suku Batak Toba.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami