Tali Peranti

Oleh: Ricardo Marbun

Ayah membujur tak bernyawa di depannya, diselimuti kain panjang milik Ibu. Subuh-subuh Noto berusaha membawa Ayah ke klinik terdekat dari tempat tinggalnya. Lima tahun Ayah menderita kanker paru. Seminggu belakangan sakit Ayah kian parah. Noto tidak memiliki uang sepeser pun. Upah harian dari pabrik hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Tidak tega melihat Ayah lebih menderita, Noto bersusah payah membawa ke klinik dengan modal nekat. Seakan Ayah tahu kondisinya, belum sempat ditangani Ayah berpulang dalam diam. Noto menangis sesungukan di ujung kaki Ayah yang dingin.

            Sekarang Ayah sudah tidak ada. Bagaimana selanjutnya? Noto bertanya pada dirinya sendiri. Kalau saja dia memiliki keluarga, tentu Noto bisa bertukar pikiran untuk mengurus Ayah setelah meninggal. Sayangnya, di dunia ini Noto hanya memiliki Ayah seorang. Noto mengamati wajah Ayah yang terlihat tenang. Ayah seperti tidur saja layaknya. Kedua mata Ayah terpejam rapat. Noto ikhlas Ayah pergi meninggalkan dirinya. Tetapi, pikiran Noto tetap gelisah memikirkan sumber dana untuk mengurus pemakaman Ayah?

            Perawat jaga di depan Noto terdiam agak lama. Perawat masih muda itu bisa jadi tidak menjangkau maksud dari permintaan Noto barusan. Noto berdiri di depannya dengan pandangan serius. Perawat jaga itu berusaha mengartikan lain maksud dari Noto.

            “Apa mobil sudah tersedia untuk membawa pulang jenazah?” tanya Perawat jaga itu sekali lagi. Perawat muda itu sudah berjaga dari hari sebelumnya. Bisa jadi kini dia merasa lelah dan tidak mampu berpikir terlalu berat.

            “Tidak Mbak. Saya mohon izin untuk membawa jenazah ayah saya sendiri. Saya ingin mengendong pulang jenazah ayah saya,” jawab Noto lemah.

            Perawat jaga itu benar-benar gelagapan dengan jawaban Noto. Beruntung perawat itu mampu menguasai rasa lelah di tubuhnya. Permintaan keluarga pasien di depannya sangat membuat dirinya terkejut!

            “Tunggu sebentar, Mas. Saya sampaikan pada pimpinan.” Perawat jaga itu meninggalkan Noto dengan sopan. Noto mengangguk pasrah.

            Di depan jenazah Ayah, pikiran itu menghinggapi dirinya. Noto ingin membawa pulang Ayah dengan cara menggendong seperti saat subuh tadi dia membawa Ayah ke sini.

            Para tetangga yang awalnya berkumpul saling bercengkrama satu sama lain di depan rumah masing-masing segera membubarkan diri. Sebuah mobil ambulans memasuki pemukiman mereka. Wajah-wajah heran saling toleh satu sama lain. Noto mengamati keheranan pada tetangga dari dalam ambulans. Saat ambulans berhenti di depan pintu rumahnya para tetangga silih berganti mengucapkan Innalillahiwainnailaihirojiun. Noto menundukkan wajah di samping jenazah Ayahnya. Noto tidak ingin menangis.

            Pintu ambulans dibuka dari luar. Noto menatap dengan tatapan pasrah. Sudah banyak orang di depannya. Noto tidak asing dengan wajah-wajah itu. Mereka adalah tetangga dan teman-teman yang dia kenal. Tanpa komando orang-orang itu saling bantu menurunkan jenazah Ayah Noto. Mereka tidak mengizinkan Noto untuk ikut. Mereka menyuruh Noto untuk diam di tempat duduknya. Setelah jenazah berhasil mereka turunkan baru perlahan Noto keluar dari ambulans. Sekujur tubuh Noto terasa lemas untuk sekedar berdiri saja.

            Gerombolan Ibu-Ibu berhamburan ke arah Noto begitu dia berdiri di depan pintu rumahnya. Para Bapak mendekati mobil ambulans sebaliknya para Ibu menyiapkan rumah Noto untuk menyambut jenazah Ayah. Noto tidak kuasa menahan air matanya. Tidak menyangka para tetangga langsung bergerak begitu melihat mobil ambulans datang. Para Ibu menuntun Noto memasuki rumah. Di depan pintu Pak RT ikut menyambut Noto dengan wajah sedih. Sebuah kursi sengaja mereka siapkan sebagai tempat Noto duduk.

            Pak RT menanyakan perihal penting tentang identitas Ayah. Noto berusaha menjawab sesuai yang dia ketahui. Setelah Pak RT, pihak yang mengurus jenazah duduk mendekati Noto untuk membicarakan pemakaman Ayah. Noto kembali menjawab sesuai yang dia tahu. Dalam waktu singkat rumah Noto yang sempit sudah penuh orang. Mereka hilir-mudik. Berkumpul di pojokan. Saling berbicara, saling menunggu, dan saling menunjuk sana-sini. Noto tidak berani beradu pandang dengan siapa pun.

            Noto berpikir keras seorang diri. Noto berusaha mengingat-ingat, mungkin ada barang berharga peninggalan Ayah. Atau, ada perhiasan Ibu yang belum dia tahu. Sejak Ibu meninggal dua tahun yang lalu Ayah tidak pernah bercerita apa pun padanya. Di rumah ini hanya ada kursi yang busanya sudah rusak di mana-mana. Ayah selalu mengakali agar kursi itu masih layak disebut kursi. Televisi mereka tidak punya. Ada pun radio, siapa yang mau membeli radio rusak itu? Di dapur juga tidak ada apa-apa. Kompor minyak yang sudah rusak. Hanya satu tabung elpiji melon saja. Tidak ada barang berharga sama sekali di rumah ini. Noto merasa dadanya sesak. Orang-orang di luar sana menunggu keputusan dari mulutnya!

            Seseorang datang dari ruang tengah. Noto cepat-cepat mengusap air matanya yang tumpah. Ternyata Ibu Wahono. Antara cemas dan lega Ibu Wahono menghampiri Noto.

            “Masjid sudah mengumumkan tentang kepergian Ayahmu, To. Orang-orang mulai berdatangan membawa beras dalam baskom. Para ibu di depan sudah menyiapkan sak untuk menampung beras-beras itu. Sekarang bagaimana, To? Waktunya tidak banyak. Ayahmu harus segera dimakamkan. Mereka butuh omongan dari dirimu?” tanya Ibu Wahono gusar.

            “Saya harus bagaimana, Bu? Saya bingung,” jawab Noto menahan sesak di dadanya.

            “Pemakaman tidak akan jalan kalau kamu tidak tampil di depan. Terus tamu-tamu itu perlu diberi minum. Apa kamu sedia kopi, teh, dan gula?” tanya Ibu Wahono lagi.

            Noto menggeleng pelan. Noto tidak malu lagi. Di depan Ibu Wahono pipinya basah oleh air matanya sendiri. Ibu Wahono ikut gelisah mendapati kenyataan sebenarnya.

            “Saya sama sekali tidak memiliki uang, Bu. Bahkan tadi, Ayah mau saya gendong dari klinik. Pihak klinik tidak mengizinkan. Mereka dengan sukarela mengantar jenazah Ayah bersama saya ke rumah. Saya sama sekali tidak punya uang, Bu.” Noto tak kuasa menahan ratapnya. Ibu Wahono terkaget-kaget tidak percaya.

             “Astagfirullah!” Mulut Ibu Wahono komat-kamit tidak berhenti. Ibu Wahono menyentuh lembut pundak Noto. Pemuda itu hanya bisa meringkuk kebingungan.

            “Apa Ayahmu sama sekali tidak memiliki barang berharga yang mungkin beliau simpan di kamar? Coba kamu ingat-ingat, To?” pinta Ibu Wahono penuh harap.

            “Saya berkata apa adanya Bu. Di dalam kamar tidak ada apa-apa selain baju-baju Ayah sekadarnya. Ibu boleh lihat kalau tidak percaya. Saya sama sekali tidak memiliki uang. Saya benar-benar bingung, Bu,” jawab Noto putus asa.

            “Terus apa rencanamu?” kejar Ibu Wahono bingung.

            “Pemakaman Ayah sederhana saja Bu. Tolong sampaikan Pak RT. Saya minta tolong, Bu?” Noto menatap Ibu Wahono lekat. Berulang kali Ibu Wahono menarik napas dalam.

            “Tidak semudah itu Noto. Sederhana pun tetap butuh biaya,” ujar Ibu Wahono.

            Ibu Wahono bergegas meninggalkan Noto di sudut dapur. Sekujur tubuh Noto bergetar. Noto teringat sewaktu Ibu dulu meninggalkan mereka. Ayah masih mampu bertindak walau Noto tahu Ayah pun terseok-seok memikirkan dana. Noto tidak banyak bertindak waktu itu. Semua Ayah yang melakukan. Ayah berembuk dengan beberapa tetangga yang sekiranya bisa dimintai tolong. Tak lama Ayah pulang, acara pemakaman Ibu berjalan dengan lancar termasuk acara setelah pemakaman selama tujuh hari berturut-turut lamanya.

            Tidak berapa lama Ibu Wahono memasuki dapur menemui Noto bersama dua orang lain. Noto kenal dua orang itu. Pak Wahono, suami dari Ibu Wahono. Satu lagi, Pak RT yang tadi menemui Noto untuk menanyakan perihal penting tentang identitas Ayah.

            “Noto, saya dan suami barusan sudah bicara disaksikan Pak RT. Kami siap membantu acara pemakaman Ayahmu sampai selesai. Untuk sementara segala biaya kami dulu yang mendahului. Setelah pemakaman termasuk acara tujuh harian Ayahmu selesai baru kita duduk bersama untuk hitung-hitungan biaya. Apakah kamu setuju, Noto?” tanya Ibu Wahono tenang.

            Noto mencerna perkataan Ibu Wahono dengan pikiran kalutnya. Pikirannya tegang memikirkan kisaran biaya yang harus dia tanggung setelah pemakaman Ayah. Apakah dia mampu melunasi seluruh biaya itu nantinya. Apakah tidak bisa Ayah dimakamkan sederhana saja tanpa harus banyak biaya? Untuk tahlilan, Noto bisa melakukan sendiri sebagai jalan Ayah menuju surga? Noto tak kuasa ingin mengutarakan niat hatinya yang jujur.

            “Apakah ini harus, Bu?” tanya Noto bingung. Ibu Wahono berusaha sabar.

            “Maksudmu, To?” tanya Ibu Wahono balik. Noto bertambah bingung jadinya.

            “Saya takut tidak mampu membayar setelah pemakaman Ayah, Bu.” Noto menunduk.

            “Sudah, sudah.” Bapak Wahono melerai halus. “Noto, pemakaman Ayahmu paling utama. Sebagai anak, memberangkatkan orang tua ke liang lahat dengan baik termasuk salah satu bakti. Apa kamu tidak ingin berbakti pada Ayahmu? Sekarang apa kamu setuju dengan usulan dari istri saya?” Bapak Wahono berusaha menyakinkan Noto. Pak RT tidak ketinggalan menyakinkan dirinya. Noto akhirnya dengan berat mengangguk setuju.

            Ibu Wahono bergerak cepat. Ibu Wahono segera mengatur banyak hal untuk melancarakan pemakaman Ayah Noto. Ibu Wahono meminta Noto untuk berada di depan dekat jenazah Ayahnya yang kini telah dimasukkan dalam keranda berselimut kain hijau. Noto diminta Ibu Wahono tidak jauh-jauh dari jenazah Ayahnya. Para pelayat semakin banyak berdatangan. Masuk melihat sekilas pada keranda berisi jenazah Ayah Noto. Setelah itu mereka menyalami Noto lalu keluar membaur dengan pelayat lain. Noto menerima para pelayat dengan tabah. Duka mendalam sangat dirasakan oleh Noto seorang diri.

            Tiba waktunya keranda berisi jenazah Ayah digotong untuk dibawa ke pemakaman. Beberapa lelaki dewasa bergantian menggotong keranda itu. Tangis Noto pecah begitu Ayahnya selesai dimakamkan. Berulang kali Noto menyentuh nisan Ayah dengan isak tertahan. Noto teringat perkataan Bapak Wahono, Noto ingin berbakti pada Ayah. Noto siap menanggung segala resiko asalkan Ayah dimakamkan secara layak.

            Noto tidak tahu seandainya tidak ada Ibu Wahono yang menolongnya. Sesekali Ibu Wahono mendampingi dirinya sambil berbisik memberi penjelasan bahwa tali peranti seperti ini sudah turun temurun berlangsung. Mau tidak mau Noto harus menjalankan tali peranti atau tradisi yang sudah ada itu. Tidak lupa Ibu Wahono berpesan supaya Noto mengingat-ingat siapa saja yang datang di acara pemakaman Ayahnya. Sebab itu adalah hutang. Noto hanya bisa mengangguk tanpa mengerti. Apakah tali peranti itu wajib untuk dirinya?

            Tujuh hari tujuh malam Ibu Wahono sibuk melayani tamu-tamu yang datang. Ibu Wahono tidak kenal lelah memasak untuk hidangan para tamu. Ibu Wahono dibantu oleh Ibu-Ibu dari sekitar tempat tinggalnya. Noto hanya mampu membatin. Sunguh berat hidup bermasyarakat untuk orang-orang yang tidak mampu. Ibu Wahono menepati seluruh janjinya pada Noto. Acara tujuh hari tujuh malam untuk melapangkan jalan Ayah pun selesai.

            Ibu Wahono menatap suaminya tidak percaya. Ayah Noto pedagang gula-gula keliling mampu mengumpulkan uang duka sekian banyak. Belum termasuk beras, gula, dan kopi. Setelah memotong seluruh biaya yang mereka keluarkan masih tersisa sekian juta dari uang terkumpul itu. Ibu Wahono terlihat kecewa. Padahal Ibu Wahono sudah mengincar rumah Ayah Noto sebagai jaminan bila Noto tidak mampu membayar biaya pemakaman. 

            Ibu Wahono mendatangi rumah Noto dengan tergesa. Noto menahan debar di dada.

            “Noto, setelah saya hitung antara uang duka dengan biaya pemakaman Ayahmu, kamu hanya berutang sedikit. Tapi lupakan saja. Anggap saja itu uang duka dari keluarga saya. Ayahmu benar-benar tidak ingin kamu menanggung malu. Jadi urusan kita selesai ya, Noto.” Ibu Wahono menyampaikan laporan tanpa memperlihatkan bukti apa pun.

            “Benar, Bu? Alhamdullilah, Ya Allah,” ucap Noto polos berulang kali.

            Ibu Wahono mengangguk terpaksa. Di benaknya tersisa niat menguasai rumah Noto.

Scroll to Top
× Hubungi kami