Tulah

Oleh: Bintu Assyatthie

Penyakit yang aneh, begitu kabar tersiar. Panas yang mendera setiap kali matahari surup dan lebam yang membungkus sekujur tubuh, menimbulkan tanya yang tak berkesudahan. Sudah berkali-kali pergi ke dokter, tak ada satu keteranganpun yang memuaskan. Beberapa dukun dan kiai didatangi, meminta petunjuk penyembuhan, ia tidak juga memperoleh jawaban yang jelas dan masuk akal. Ia selalu pulang dengan teka-teki yang menyesaki dadanya.

          Sejak itulah, orang-orang sekitar mulai berbicara. Tak ada penyakit yang datang secara tiba-tiba, tanpa sebab tertentu. Ocehan demi ocehan kerap didengar hampir setiap hari. Katanya, sakit yang menimpa Saminah adalah tulah dari satu-satunya bhuju’ yang terletak di pesisir, beberapa meter ke arah timur rumahnya.

***

          Kampung kecil itu, memiliki satu bhuju’ keramat yang sering dikunjungi banyak orang dari berbagai penjuru. Setiap ada peziarah datang, orang-orang berarak membuntutinya. Sampai di area bhuju’, mereka duduk di tanah pasir, di bawah pohon besar yang rindang, menunggu hingga peziarah selesai mengaji dengan seperangkat ritual-ritual lainnya. Tidak hanya itu, peziarah juga membawa sembako berupa beras, jagung, telur, gula, kopi dan sejumlah uang yang diletakkan di atas batu, usai merapal doa.

          Sudah menjadi kebiasaan, apa saja yang dibawa peziarah selalu dibagi rata pada orang-orang sekitar yang menyambangi. Tetapi, Saminah selalu mendapat bagian lebih dari yang lain. Karena ia sebagai penjaga bhuju’, meneruskan posisi ibunya yang telah lama meninggal dunia.Pada awalnya, orang-orang sekitar sama sekali tidak mempersoalkan itu, yang penting mendapat bagian, mereka bisa pulang dengan riang.

          “Nanti sore, ada peziarah lagi dari Legung, katanya dua pikep lengkap dengan saronen-nya,” ucap Sitti memecah riuh kerumunan orang-orang yang sedang mengambil bagian beras di gardu bhuju’ itu.

          “Biasanya, kalau dari sana bawa seekor kambing,” celetuk Sarima sambil beranjak dengan sekantong plastik hitam yang berisi beras dan telur.

          “Sebulan lagi acara rokat bhuju’ akan digelar. Jadi, kalau ada peziarah yang bawa kambing, biar saya pelihara untuk persiapan selamatan nanti.” Saminah menjelaskan, membuat yang lain diam mengiyakan.

          Pada bulan tertentu, bhuju’ memang ramai dengan peziarah. Suara tahlil dan Yasin dibaca dengan khusyuk. Do’a dipanjatkan, memohon hajatnya segera dikabulkan. Orang-orang sekitar, bukan hanya senang karena mendapat bagian, tetapi mereka juga ikut mengamini doanya sebagai imbalan meski tidak setimpal.

***

          Seminggu sebelum acara rokat bhuju’ digelar, Saminah adalah orang yang dengan giat mendatangi rumah warga satu persatu, memberi kabar sekaligus meminta sumbangan uang untuk keperluan acara rokat itu. Warga suka rela mengeluarkan uang dengan nominal yang berbeda-beda.

          Tak cukup hanya warga sekampung yang didatangi, Saminah juga mengabari warga desa lain dan meminta keikhlasannya menyumbang. Karena, masyarakat masih memegang kuat tradisi, banyak dari mereka yang bersedekah dengan nominal yang tinggi. Mata Saminah berbinar penuh syukur melihat masyarakat antusias pada pergelaran rokat bhuju’ minggu depan, pelaksanaannya tepat di hari Selasa setelah asar.

          Saminah yang mengatur semuanya. Mulai dari membeli seekor kambing, dan beberapa kilo daging ayam, termasuk beras, rempah-rempah dan bahan-bahan lain yang diperlukan. Warga sekitar hanya cukup datang dan membantu memasak sekaligus menyiapkan perlengkapan lainnya.

          Seekor kambing disembelih, dagingnya dimasak, lalu kulitnya diisi rumput kering hingga berbentuk seperti kambing semula dan digantung di pohon yang terletak di area bhuju’. Itu adalah tanda bahwa bhuju’ ini sudah melaksanakan rokat. Begitu kata salah seorang warga yang baru saja selesai menggantung kulit kambing dengan menggunakan tali rafia.

          Tepat pukul tiga sore, orang-orang mulai berdatangan ke bhuju’. Perempuan duduk di gardu sambil menyiapkan makanan, sedangkan laki-laki berkumpul di mushalla membaca Yasin dan tahlil bersama. Setelah itu, dilanjutkan dengan acara mamaca yang dilakukan oleh dua orang saja. Kemudian sebagai acara puncak setelah makan bersama ialah melarungkan bhitek yang birisi aneka macam makanan dan sejumlah uang. Sebagian uangnya dibuat bendera di tiang bhitek itu.

          Dengan mengucap bismillah, bhitek dilarungkan di atas air laut setinggi perut, lalu dibawa arus semakin menjauh hingga tak kelihatan batang hidungnya. Menurut keyakinan masyarakat setempat, pelepasan bhitek itu sebagai bentuk syukur sekaligus simbol melarungkan segala marabahaya ke tengah lautan yang luas. Kini, warga merasa lega, satu tanggung jawab dianggap telah usai.

          Riuh orang-orang di bhuju’ berpacu dengan desau angin dan rerintik hujan yang jatuh. Sambil lalu menikmati hidangan gule kambing, sebagian warga pulang membawa sepiring nasi. Sudah bisa dipastikan, yang paling sibuk dalam acara rokat ini ialah Saminah. Mulai dari persiapan sampai pelaksanaan, dialah yang paling semangat dan tak sedikitpun rasa lesu terpancar dari auranya yang jenaka. Bahkan, saat acara sakral ini selesai, pada semua yang datang, hanya dia yang selalu mengucapkan terima kasih dengan senyuman.

          “Saya senang, warga kampung ini masih kuat menjaga tradisi nenek moyang,” ucap salah seorang pengunjung dari desa sebelah sambil merogoh kantong bajunya, lalu menyerahkan uang ratusan ribuan, entah berapa lembar banyaknya. “Mohon diterima, ada sedikit rezeki buat perbaikan bhuju’ ini,” imbuhnya.

          “Wah, terima kasih. Bhuju’ ini memang rencananya mau kami renovasi, tapi masih mengumpulkan dana.” Saminah menjawab dengan binar bahagia terpancar dari kedua matanya. Sedangkan warga yang lain sibuk membereskan sisa-sisa makanan yang masih berserakan.   

***

          Hari ini, peziarah memenuhi serambi bhuju’. Warga sekitar yang datang celingak-celinguk mencari Saminah. Karena di dekat batu itu, tempat peziarah mengaji dan menyebutkan hajat, dia raib. Tidak seperti biasanya, dia selalu datang lebih dulu, bahkan sebelum peziarah sampai, dia sudah menunggu. Orang-orang menaruh pertanyaan yang sama, namun satupun tak ada yang bisa memberikan jawaban.

          “Saminah kurang enak badan. Dia tidak bisa datang ke sini sekarang.” Imah yang baru tiba membawa kabar tentang Saminah, si penjaga bhuju’ ini.

          “Sejak kapan sakit? Padahal tadi pagi saya masih lihat dia pergi ke ladangnya di belakang rumah.” Marni menanggapinya dengan sebuah pertanyaan.

          “Katanya tadi siang, perutnya tiba-tiba sakit dan sekujur tubuhnya panas,” jelas Imah.

          “Namanya penyakit, datangnya bisa kapan saja. Nanti kita mampir ke sana sepulangnya dari sini.” Ajak Sitti yang dari tadi menyimak. Yang lain mengangguk mengiyakan.

          Para peziarah mulai menyusut, satu persatu pulang setelah tuntas melakukan ritualnya. Saat bhuju’ sudah sepi dari pengunjung, warga berarak pulang bersama-sama, sebagian dari mereka mampir ke rumah Saminah, menjenguk dia yang sedang terbaring sakit. Wajah Saminah pucat lesu, tubuhnya panas, kedua kakinya dingin. Ia mengaku pusing, tidak bisa berjalan sendiri sekadar untuk ke kamar mandi.

          Mereka iba melihat kondisi Saminah yang tak berdaya. Semakin hari bukan semakin membaik, tetapi kondisinya menurun. Berbagai terapi penyembuhan sudah dilakukan, tetapi sakit yang diderita semakin parah. Setiap hari, rumahnya tidak pernah sepi. Orang-orang datang-pergi untuk membesuk dan menghiburnya dengan sepenuh hati.

          Sejak beberapa hari ini, Saminah sering dihantui rasa takut. Ia mengaku pernah bermimpi didatangi seseorang dari arah timur seperti sedang menuntut sesuatu. Detak di dadanya tak lagi teratur, segenap keberaniannya luruh bersama dengan kesehatannya yang kian lumpuh. Sesekali, ia menangis tanpa diketahui penyebabnya, karena dia enggan berterus terang.

          Sejak itu, sakit Saminah menjadi buah bibir masyarakat. Tak jarang yang membicarakannya kalau sakit yang diderita adalah tulah dari bhuju’, tempat bersemayamnya waliyullah. Berkali-kali dia mengelak, karena merasa orang yang paling berjasa. Tetapi, keadaannya yang semakin memprihatinkan, membuka tabir yang selama ini disembunyikan.

          “Itu kualat. Tulah dari bhuju’,” celetuk Imah sambil menyabit rumput di pinggir sawah. Dia adalah tetangga yang rumahnya bersebelahan dengan Saminah.

          “Kualat gimana? Dia penjaganya, mana mungkin kena tulah,” Sitti mengerutkan kening. Semua tatapan tertuju ke Imah.

          “Iya kalau benar, kalau salah? Kalian jangan tertipu dengan sikap antusiasnya.” Tangan Imah tiba-tiba berhenti menyabit rumput. Kemudian ia melanjutkan dengan suara sedikit pelan, “Kalian masih ingat, berapa peziarah yang bawa kambing ke bhuju’?, Saminah selalu bilang kambing itu akan disimpan untuk persiapan rokat, nyatanya setiap kali gelar acara rokat, kambing selalu beli dari hasil sumbangan warga. Lalu, kambing-kambing dari peziarah ke mana?” Tatapan yang lain masih menjurus ke Imah. “Dijual buat renovasi rumahnya. Lihat rumahnya sudah mentereng. Mau dapat uang dari mana? Wong sapi peliharaannya dan tegal miliknya masih utuh,” tukas Imah sambil lalu kembali menyabit rumput dengan tangannya yang lihai.

          Sitti, Marni, Sarima dan yang lain, termasuk aku terkejut mendengar penjelasan dari Imah. Aku bagian dari mereka, meski lebih banyak diam dari pada ikut berbicara. Mengingat yang sudah-sudah, perlahan aku membenarkan cerita Imah yang baru saja kudengar. Tetapi, rasa iba pada sakit yang dialami Saminah tetap tidak bisa kuelakkan. Akupun bersyukur saat dikabarkan kondisi Saminah mulai membaik, ia sudah bisa berjalan sendiri meski cukup pelan dan hati-hati.        

          Sudah hampir setahun, tubuh Saminah tinggal tulang dan seluruh kulitnya gelap, seperti bekas kebakaran. Dua hari lagi, acara rokat bhuju’ akan kembali digelar. Tradisi ini memang dilaksanakan setahun sekali. Bedanya, sekarang Saminah masih belum pulih. Selain harga kambing dan semabako cukup tinggi, tidak ada orang yang giat menagih sumbangan seperti Saminah pada tahun-tahun sebelumnya.    

          Hingga malam tiba, semua persiapan masih belum ada. Malam dirundung pilu, bulan sabit di antara awan yang menggulung terlihat sendu. “Rokat tetap harus dilaksanakan,” ucap Saminah padaku. Tekatnya bulat, kedua matanya tegas menghujam waktu yang telah terlewat.

***

          “Embekkk….” Bunyi itu terdengar berkali-kali. Di luar masih gelap. Kulirik jam, masih pukul satu lewat seperempat. Bunyi itu semakin jelas terdengar. Aku keluar bersama warga yang lain, mendekati sumber bunyi itu berasal. Ternyata dari arah bhuju’, kamipun berlarian ke sana. Suasana bhuju’ lengang, tak ada lampu penerang. Bunyi yang serupa kambing juga lenyap. Hanya debur ombak yang sesekali terdengar mewakili gemuruh badai dalam diriku.  

          Senter warga mengitari area bhuju’, dan tatapan disertai jeritan dari seluruh warga serentak saat melihat wujud perempuan menggantung diri di tempat biasa kulit kambing digantung setelah rokat. Satu dua warga mendekati, debur di dadaku semakin menjadi. Saat diketahui wajah perempuan itu, jerit tangis kami pecah. Warga hampir tidak percaya, apa yang terlihat seperti khayalan belaka. Dalam desau yang berlimbah air mata, aku sangat berduka cita melihat Saminah yang kini telah tiada.

          “Rokat bhuju’ tahun ini sudah selesai.” Seperti ada yang berbisik di telingaku. Aku kaget, dan melihat ke sekelilingku, tak ada siapa-siapa. Warga di bawah pohon sana, tengah sibuk melepas tali yang mengikat dan tertambat kuat di leher Saminah.          

Totale, 02 Januari 2022

Keterangan:    

Bhuju’        : makam

Rokat          : tradisi selamatan

Saronen      : musik khas Madura

Mamaca     : macopat

Bhitek         : perahu kecil yang terbuat dari pelepah pisang, salah satu alat dalam rokat bhuju’     

Scroll to Top
× Hubungi kami