Oleh: Intan Tri Nur Indahsari
& setelah suara-suara itu ditaklukan,
getir elegi dijajakan,
percakapan-percakapan tentang lesap ruhmu
di jagat niskala mulai diredam.
aku mengajimu, Wiji Thukul
tentang biji yang tumbuh dari namamu
tentang kata yang kau jadikan pemakaman
paling barzakh—memecah mataku.
di sini, di bawah lembar langit-langit jembar
menyimpan hujan untuk mengguyur tanah yang dipenuhi enigma
tapi sajak-sajak itu, masih menjelma mantra
untuk menyuarakan perlawanan tentang keganjilan penuh dosa
hingga tercipta mitos-mitos kecemasan & kehilangan
yang menyala menyerupa pijar kota ini.
aku selalu mengajimu, Wiji Thukul
menafsirkan tiap kata yang kau jadikan azimat
dalam menjumpai segala ingkar yang memeram hikayat
dalam menyusuri sulur pedar pusung penguasa
yang merahimkan koyak takdir—menganga di jendela kata
yang kau pilih & pilah agar semakin tajam & jalang.
aku terus mengajimu, Wiji Thukul
di rahim kata, aku mendengarmu
sedang merobek-robek mulut yang giat menabur kedamaian palsu
saat tanah-tanah masih dijarah sebelum mengetahui siapa ibu
yang melahirkannya dalam sebuah catatan-catatan kelahiran
di lingkar teluk kata, selalu saja kau mengajari apa saja derita yang bestari
hendak membisik & membidik biduk putus asa
agar kau, kita, & semua meringkuk sadrah—berderet-deret memangku tabah.
aku tak pernah usai mengajimu, Wiji Thukul
waktu memang tak berulang-ulang
tapi lapang sajakmu, masih merekam potret masa silam
suaramu tak pernah hilang, suara kenang
yang kau abadikan dalam kertas-kertas usang
dalam wajah tembok-tembok tepi jalan
yang hendak mencatat segala suram agar lekas karam.
aku masih tekun mengajimu, Wiji Thukul
telingaku masih begitu kenyang mendengar gema suara kubur
dari balik tingkap kata yang kau jelmakan dalam sajak-sajak itu
menakwil luka bijana yang harus kau tanggung
dengan mala yang merunjam detak usiamu
tapi aku masih mendengarmu, Wiji Thukul.
(2023)