Gugur Kenangan di Sungai Bangang

Oleh : Farah Sandika

Aku menghela napas panjang. Kupandangi arloji, pukul 15.53. Ruangan sidang lengang sejenak setelah satu jam yang lalu. Di hadapanku, hakim ketua dan kedua hakim anggota baru saja selesai melakukan pembacaan Peninjauan Kembali kasus yang menimpa Almarhum Bapak, tiga belas tahun silam. Setelah menempuh pendidikan Magister Ilmu Hukum di Berkeley, kini aku siap lebih dari apapun—membuktikan bahwa Bapak tidak bersalah.

Bersama kuasa hukumku, aku sebagai terdakwa telah duduk di tengah-tengah ruangan. Pengadilan Negeri ibukota hari ini dipenuhi dengan wartawan, aktivis, pegiat HAM, dan Lembaga bantuan hukum yang mendukungku. Juga beberapa orang polisi, dan tak terkecuali Haziq—kekasihku. 

Pembuktian terus berlanjut. Kali ini kuasa hakimku yang bicara. “Relokasi yang dilakukan Pemerintah Desa Sungai Bangang tahun 2023 melanggar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah. Gerakan penolakan relokasi yang dilakukan oleh Almarhum Aizurrahman bukanlah suatu tindak pidana. Tanah yang dikuasai oleh negara adalah tanah yang tidak dilekati dengan sesuatu hak atas tanah, dan bukan merupakan aset milik negara.”

“Setiap kartu keluarga memiliki sertifikat tanah yang kuat dan valid.  Sertifikat hak milik atas tanah mempunyai kekuatan hukum yang sah sepanjang penerbitan sertifikat tersebut memenuhi syarat dan prosedur sesuai dengan aturan yang berlaku,” lanjutnya.

Jaksa penuntut umum menghunuskan pandangan padaku, sementara aku di sini berusaha menjauhkan kenangan itu dari kepalaku.

***

Sungai Bangang, September 2023.

Angin laut bertiup kencang, menerbangkan helaian rambut panjangku. Pohon ketapang melambaikan dahannya. Sepulang sekolah, aku berlari kecil bersama teman-temanku. Meski telah menginjak bangku kelas enam SD, kami masih menikmati waktu bersenang-senang menikmati waktu bermain hingga petang.

Ibuku sudah lama meninggal. Aku tinggal di perumahan kayu yang berjajar, berdiri kokoh di pinggiran sungai. Kakak perempuan Bapak—Cik Jenab—sudah kuanggap seperti ibuku sendiri. Dialah yang merawatku sedari kecil bersama Bapak. Walau hanya dua orang itu yang kupunya, seluruh warga kampung Sungai Bangang sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Di kampung ini kami lahir, dan di kampung inilah kami hidup bersama sampai akhir menutup mata.

Menjelang magrib, Bapak muncul dari kejauhan dengan motor bututnya—ia baru saja pulang dari kebun dan berhenti untuk menjemputku. Selalu begitu, tetapi ia tak pernah marah. Hanya Cik Jenab yang tak lelah mengomeliku. Anak-anak bubar, aku berlari menghampiri Bapak dan bersiap pulang. Di gerobak belakang, banyak sekali sayuran yang baru dipanen.

“Sore-sore macam ini Bapak bawa sayur? Tumben sekali, Pak?” tanyaku melongo ke depan, dengan kedua lengan melingkari perut buncitnya.

Bapak berdeham sembari membelokkan stang. Jalanan lumayan bergelombang. “Besok Cik Lani mau menikahkan Ika, anak gadisnya. Tepuk tepung tawar1,” ujar Bapak. Kami tiba di depan halaman rumah, lantas ia memarkirkan motor di bawah pohon Ketapang.

Aku sangat senang ketika warga kampung sering menyelenggaran hajatan. Semuanya saling bantu membantu, memasak bersama, bercengkrama membahas pekerjaan, cuaca, kabar keluarga yang merantau dan banyak lagi. Bahkan pada hari pernikahan Kak Ika, aku sendiri yang paling heboh dan sibuk berdandan dan mendampingi Kak Ika. Bapak tak pernah memarahi kenakalanku. “Arifa masih kecil, belum tahu apa-apa,” begitu katanya setiap Cik Jenab dongkol dengan kelakuanku yang kadang kelewatan.

Betapa aku cinta Bapak. Betapa aku sayang Cik Jenab. Jiwaku terasa satu dengan tanah dan air yang mengalir di setiap sudut kampung Melayu ini. Namun, seperti yang Bapak bilang—Arifa masih kecil, belum tahu apa-apa—memang benar. Sesuatu menimpa Bapakku. Sesuatu terjadi pada kampungku. Dan aku tak bisa berbuat apa pun.

***

Kamera-kamera wartawan menyorotiku. Tujuan utama peninjauan kembali kasus ini tidak muluk-muluk, sebab aku hanya ingin membersihkan nama baik Bapak. Bapak bukan narapidana. Bukan pula penjahat. Relokasi itu tidak salah sepenuhnya. Jaksa penuntut umum membantah. “Berdasarkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia pasal tiga puluh tiga ayat tiga, negara berhak menguasai dan mengelola tanah yang digunakan untuk kemakmuran rakyat. Relokasi Kampung Sungai Bangang tahun 2023 dilakukan sesuai persetujuan Kepala Desa dan telah diberikan ganti rugi kepada warga yang tempat tinggalnya dialihkan!”  

“Menurut pasal 18 Undang-undang Pokok Agraria, maka untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.”

Lima belas menit berselang, persidangan terus berjalan.

Pak Ucak, penjaga lapas yang menyaksikan kematian Bapak ikut menjadi saksi. “Pasca penolakan relokasi, ada seorang oknum polisi yang menyuruh Almarhum Aizurrahman membuat pernyataan palsu dan menyebabkan beliau dipenjara. Di penjara, juga diduga terjadi penganiayaan atas korban hingga meninggal dunia.”

Aku menelan ludah. Semua Eksepsi2 yang telah kukatakan beberapa jam sebelumnya seketika terasa tak ada apa-apanya dibanding kesaksian nyata Pak Ucak yang sudah tua renta. 

***

Hari itu matahari bersinar terik, menyengat kulit kepala. Selepas makan dan mengerjakan PR, aku hendak keluar bermain, atau menyusul Bapak ke kebun. Namun, ada yang tidak biasa di sini. Beberapa orang petugas tampak sibuk di area-area tertentu Kampung Sungai Bangang. Kata Kak Ika, mereka orang dari pemerintah desa yang hendak survei lokasi. Aku tidak mengerti apa itu, tetapi mereka menghalangi kami ketika hendak bermain di lokasi yang mereka tempati. Dua minggu sudah berjalan, aku masih tidak mengerti. Ada apa?

Aku tak bisa menahan rasa penasaranku. Setelah membeli garam yang diminta Cik Jenab, aku melewati rumah Pak Kades. Ada Bapak di sana. 

“Kampung Sungai Bangang akan kami kembangkan menjadi kawasan terpadu untuk meningkatkan perdagangan, jasa, industri, dan pariwisata. Proyek ini dinamakan Sungai Bangang Eco City, Pak. Kami akan membangun fasilitas pasir kuarsa dan pasir silika serta ekosistem industri, kaca, dan panel surya.” Seorang pria berseragam ASN ditemani seorang pengusaha berbicara panjang lebar di depan sejumlah warga dan petinggi adat.

Pria itu melanjutkan, “Maka kami akan melakukan relokasi dengan memindahkan rumah warga dengan memberikan ganti sertifikat tanah di kampung Sembulang. Jadi, kami tidak bermaksud menggusur—“

“Tidak bisa kami terima.” Bapak tiba-tiba memotong. Tak pernah kudengar suaranya selantang itu. “Kami sudah tinggal di sini sejak lama. Tanah ini adalah tanah kelahiran nenek moyang kami sejak abad kedelapan belas! Kakak saya, warga di sini, tidak setuju dengan adanya relokasi, Pak! Kalian boleh membangun apapun, membuat apa pun, tapi tolong biarkan kami tetap tinggal di kampung kami! Mau diberikan sebongkah emas pun kami tidak akan sudi!”

Hanya itu yang bisa aku dengar. Selebihnya hanya perdebatan, dan sepertinya Bapak pulang dengan hati cemas. Tampak bahwa bantahannya tidak diindahkan. Kurasa Pak Kades setuju-setuju saja dengan keputusan pemerintah itu. Tapi, apa benar kami akan pindah? Aku langsung berlari cepat menuju rumah, sebelum Cik Jenab menunggu terlalu lama.

Besoknya, Bapak tidak ada di rumah untuk mengantarku sekolah. Di kelas, pikiranku melayang ke mana-mana. Kata Gani—temanku—warga kampung sedang demo besar-besaran melawan aparat kepolisian. Sebagian besar warga menentang keputusan relokasi itu. Jalanan ditutup, riuh.

Tiba-tiba guru kami menyuruh kami keluar kelas. Kelas pun jadi riuh seketika. Guru-guru dan semua murid kocar-kacir keluar kelas untuk menghindari sesuatu. Mataku tiba-tiba perih. Gas air mata, pelurunya berhamburan. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa sekolahku juga terkena?

Sepulang sekolah, aku duduk termangu di teras, menatap sebuah sampan yang tertambat di dermaga, bergoyang mengiringi arus sungai yang berkilauan terpantul cahaya mentari. Sebagian besar warga ikut gerakan menolak relokasi itu. Cik Jenab menyuruhku diam di sini, menunggu kepulangan Bapak.

Tapi Bapak tidak pulang, sampai kapan pun. Dengan mata perih, akhirnya aku menangis keras. Cik Jenab datang tergopoh-gopoh, memelukku erat. Dia bilang Bapak ditangkap polisi, dan tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Penolakan relokasi itu terhenti. Kami semua meninggalkan tanah kelahiran kami, meninggalkan semua kenangan. Kenanganku bersama Bapak.

***

Pukul 16.37, sidang peninjauan kembali selesai. Pengakuan tentang surat pernyataan palsu yang dibuat Bapak atas paksaan oknum kepolisian tahun itu berhasil memberikan keputusan akhir—Bapak tidak bersalah. Dan semoga, siapa pun yang membela kebenaran, mempertahankan warisan, tidak akan pernah dituduh bersalah.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Haziq, merangkul bahuku. Aku telah bersamanya sejak dua tahun, dan kami merencanakan pernikahan. Setidaknya, Cik Jenab masih sehat meski pun kian hari ia kian menua. Aku tak sabar memberitahu kabar ini padanya. Bertahun-tahun kami menyimpan ketidakpastian tentang keberadaan Bapak. Tak terasa, putri satu-satunya ini akan melangkah lebih jauh lagi—meniti kehidupan selanjutnya.

Dan akan kupastikan tak ada lagi seorang anak kecil yang tiba-tiba kehilangan ayahnya, tidak tahu apa-apa tentang tragedi ketidakadilan yang menimpa hidupnya.

Kuusap ujung mata, terisak. “Abang, setelah menikah nanti, temankan aku, ya?” ucapku pada Haziq.

Ia keheranann. Kami mulai memasuki mobil untuk pulang. “Abang selalu temankan Arifa. Ke mana?”

“Rumah Bapak.”

Haziq mengangguk, mengerti bahwa aku ingin kembali menatap sampan di pinggir dermaga setelah sekian lama. Setidaknya hanya itulah yang tersisa.

1Upacara adat Melayu Riau

2 Tangkisan atau bantahan (objection) yang ditujukan kepada hal yang menyangkut syarat-syarat atau formalitas gugatan.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami