Kudapan Tengah Malam

Oleh: Anggih Fidianti

Sayup angin berbisik kencang, menggoyang-gugurkan dahan dan dedaunan. Ia berembus lembut, menelisik masuk gubuk reyot melalui celah dinding bolong yang ditambal seadanya dengan plastik bekas warna-warni. Alasnya masih tanah, tidak banyak perabotan, hanya ada beberapa meja dengan buku anak-anak di atasnya yang tersusun rapi. Gubuk yang besarnya tidak lebih dari empat kali empat meter ditambah rusak dan hampir roboh, tidak layak disebut dengan tempat tinggal. Namun justru oleh sebagian orang, memiliki tempat berteduh dari panas-hujan dan tempat untuk tidur adalah suatu hal yang mereka selalu syukuri setiap harinya. Termasuk gubuk reyot ini, yang jaraknya lebih dekat dengan hutan daripada pemukiman warga dihuni oleh Ayah dan anak perempuannya.

            Anak perempuan itu meringkuk dibalik selimut lusuh. Kasur berdebu yang tidak banyak berisi busa pun tidak cukup menghangatkan badan gadis berusia tujuh tahun itu. Tangannya menekan paksa perut mungilnya, berharap bunyi di dalam perutnya bisa diam sejenak dan menunda laparnya. Tengah malam hari, burung hantu di luar tampak khusyuk melantunkan suaranya. Tak berselang lama, Ayah dari anak perempuan itu pulang. Bunyi decit pintu kayu, membangunkan gigil anak perempuan itu. Ia melompat semangat dari kasur dan berlari menuju ayahnya.

            Ia memeluk ayahnya yang tinggi badannya hanya setinggi pinggang ayahnya. Perawakannya cukup tua, tidak sesuai dengan usianya, boleh jadi faktor lainnya. Jalannya pincang, pundaknya miring ke kiri, dan rambutnya penuh uban. Ia tidak berniat membangunkan Nirian, tetapi rupanya Nirian terjaga sebab rasa lapar dan gigilnya. Sang ayah melepas pelukannya dan jongkok sejajar dengan tinggi putrinya.

            “Kenapa selalu bangun kalau Ayah pulang, nak? Badan kamu juga dingin sekali.” tanyanya sembari mengelus kepala putrinya.

            Nirian tak menjawab. Hanya mengangguk pelan. Mukanya dibuat masam dan menunduk memandangi perut. Perutnya kembali berdendang, dengan sigap ia langsung menekan perutnya kembali.

            Nirian tidak pernah protes apa-apa mengenai kehidupannya. Seakan Nirian adalah manusia dewasa di dalam tubuh anak-anak. Nirian tentu sering membayangkan kehidupan anak seusianya. Di saat Nirian kedinginan, ia membayangkan anak-anak lain hanya berteriak kepada orang tuanya, lantas mereka langsung menyalakan penghangat ruangan. Atau di saat Nirian kelaparan dan hanya bisa makan satu lauk dalam sehari, anak-anak lain hanya perlu berlari ke meja makan dengan makanan yang sudah disajikan secara rapi dengan banyak macam lauk-pauk dalam satu kali makan. Namun Nirian tidak pernah mempermasalahkan, seolah ia memahami dengan baik kondisinya dan ayahnya.

            Ayah Nirian menjulurkan kantong plastik yang sedari tadi digenggamnya kepada Nirian.

            Nirian meraihnya dengan sumringah, “Hari ini ayah bawa apa? Manis-manis atau asin?” tanyanya seraya tersenyum. Matanya berbinar.

            Tanpa menunggu jawaban, tangannya secepat kilat membuka kantong plastik.

            “Wah… singkong goreng. Banyak sekali, Ayah. Ini bisa sampai besok.” Mata Nirian terbelalak, baru kali ini ayahnya membawakan kudapan sebanyak setengah kantong plastik berukuran sedang.

            “Makanlah sampai kenyang, nak. Maaf, Ayah lagi-lagi hanya bisa membawa kudapan. Bukan kue coklat, bukan nasi, dan juga bukan ayam goreng yang kamu inginkan.” Ayah Nirian hampir menangis. Sebetulnya, ia sering sekali menangis, seringkali juga berdoa, seringkali menyalahkan dirinya sendiri karena membawa Nirian ke kehidupan yang menyedihkan ini. Tetapi di saat yang sama, Ia bersyukur, Nirian tumbuh menjadi anak-anak berkepribadian yang baik. Ia tidak pernah mengeluh, ia selalu bersyukur atas apapun makanan yang ia makan, ia bersyukur atas apapun yang ia kenakan, ia bersyukur atas apapun yang terjadi di hidupnya. Namun, anak kecil tetaplah anak kecil. Nirian beberapakali iri dan ingin sekali merasakan kehidupan seperti anak-anak di pemukiman warga dekat sana. Namun untuk sekali lagi, setiap hari, Nirian sangat memahami kondisinya dan ayahnya.

            Ayahnya memandangi Nirian yang sedang melahap beberapa potong singkong goreng. Sesekali ayah Nirian menggosok kaki putrinya, karena alas tanah tempatnya duduk hanya dilapisi karpet, masih dengan tega menusuk dingin ke kaki mungilnya.

            Nirian membersihkan tangannya dan menyeka mulutnya. Singkong yang masih sisa banyak, ia ikat rapat rapat.

            “Ayah kenapa nggak makan juga? Sepotong pun tidak, toh, akan masih cukup banyak untuk besok”

            “Terus, kenapa Niri tidak makan lagi? Kenapa cuma makan tiga potong?”

            “Niri kenyang. Walaupun cuma makan tiga singkong, Niri kenyang hanya denger cerita ayah tentang dunia ini.”

            Ayahnya selalu menyempatkan bercengkerama apapun kepada Nirian. Walaupun tengah malam, Nirian tampak khidmat mendengarkan ayahnya bercerita. Dibandingkan dengan anak-anak lain yang lebih senang diceritakan dongeng khayalan semata, Nirian lebih senang ayahnya menceritakan dunia nyata, dunia yang mereka tinggali, seisinya; orang-orangnya, sosial, budaya, agama, dan politiknya dengan ringan. Walaupun ayah Nirian tidak berpendidikan, ia sebisa mungkin memberikan pengetahuan yang tidak ia dapatkan di sekolah nanti.

            “Ayah baru ingat, besok sepertinya kita bisa makan ayam goreng, nak.”

            “Oh, Ya? Ayah sudah dapat gaji ayah?” katanya senang, sekaligus penasaran.

            “Iya, besok ada Pak RT yang mau membantu ayah mendapatkan gaji ayah. Sudah, sekarang Niri tidur sudah makin larut malam. Besok ayah belikan ayam goreng untuk Niri.”

***

            Ayah Nirian bekerja serabutan dari pagi hingga larut malam. Apapun ia kerjakan demi kehidupan Niri. Sialnya, ayah Nirian bekerja kepada orang yang salah. Ia bekerja sebagai kuli panggul beras yang perhari bisa memanggul lebih dari 10 karung beras dengan satu karung bisa mencapai 25 kg. Upah ayah Nirian dihitung berdasarkan karung yang ia panggul, satu karungnya dihargai upah 5 ribu rupiah. Tak ayal, Ayah Nirian mati matian membawa kurang lebih 10 karung untuk mendapatkan sekitar 50 ribu rupiah perhari. Namun, bos tempat ia bekerja tidak pernah bertanggung jawab atas haknya. Selalu menunda-nunda memberikan upah hariannya sampai 2 minggu. Itu mengapa, selama dua minggu Ayah dan Nirian belum juga makan nasi dan lauk, hanya sedikit kudapan dari tetangga yang meminta bantuannya untuk sekadar mengganjal beratnya lapar dan meredam bunyi yang berisik hingga esok hari.

            Ayah Nirian sudah meminta dengan bosnya secara baik-baik perihal upahnya, namun tidak pernah menggubris permintaannya. Bahkan ia sempat dibentak dan dicaci maki. Ada apa dengan dunia ini? Ayah Nirian hanya meminta haknya yang selama 2 minggu belum ia terima. 50 ribu bagi Ayah Nirian adalah segalanya, bisa membeli banyak makanan enak yang Nirian ingin, namun bagaimana dengan 50 ribu para orang kaya? Remeh sekali, biasa untuk satu kali makan satu orang. Pernahkah orang-orang berempati pada orang yang hampir tidak terlihat oleh pemerintah. Orang-orang rendahan yang tidak punya apa-apa, seperti tidak berhak mendapatkan perlakuan setara di dunia ini.

            Beberapa hari lalu, Ayah Nirian sempat mendatangi kepolisian untuk membantunya mendapatkan haknya dari bos tempat ia bekerja. Nihil, polisi hanya tertawa bersama rekannya. Bahkan mereka masih sempat meminta bayaran untuk membantunya.

            “Mau bayar kami berapa?” Ayah Nirian mengulangi kata polisi tersebut kepada pak RT setempat.

            “Bagaimana saya bisa membayar mereka sedangkan upah saya saja masih tertahan, Pak. Saya belum mendapatkan haknya. Saya kerja dari siang sampai sore dengan badan sakit-sakit, tetapi untuk bayaran yang setimpal saja saya tidak menerimanya, Pak. Tolong saya, Pak. Ada putri saya satu-satunya yang harus saya hidupi kedepannya.” Jelas pinta Ayah Nirian kemarin kepada pak RT.

            Setelah mendengarkan penjelasan Ayah Nirian yang memohon-mohon dan menangis, pak RT akhirnya setuju untuk mencoba membantunya mendapatkan upahnya.

            Keesokannya, hari ini, Ayah Nirian berencana menemui pak RT. Ia mengira akan mendatangi bosnya bersama dengan Pak RT, namun pak RT lebih dulu mengulurkan amlop kecil untuk Ayah Nirian. Ayah Nirian menerimanya dengan mata berbinar dan terharu sebab masih ada orang baik yang membantunya.

Ayah Nirian membuka amlop yang masih rekat tersebut. Mengeluarkan lembaran uang berwarna merah dan menghitungnya. Ia begitu terkejut setelah tahu hanya ada 200 ribu dari kurang lebih 700 ribu yang harus didapatkannya.

“Pak, bagaimana bisa hanya 200 ribu dari kurang lebih 700 ribu yang seharusnya dibayarkan?” mata harunya berubah lesu. Ia tidak menyangka masih dipermainkan.

“Saya nggak tahu, saya hanya diberi amplop yang masih rekat seperti itu.” Nada suara pak RT berubah tegas dari suara kemarin yang lembut penuh perhatian. “Kalau mau protes jangan ke saya, saya sudah membantu mendapatkannya, kan? Tanya langsung ke bosmu!” sambungnya.

Ayah Nirian gegas berlari dengan kaki pincangnya menuju tempat bosnya, namun lagi-lagi sial, toko bosnya tutup. Ayah Nirian tahu betul, seminggu sekali tokonya tutup setengah hari karena kepentingannya menjenguk orangtuanya yang sakit di luar kota. Karena tahu persis kepulangannya, Ayah Nirian memutuskan untuk menunggu di depan tokonya. Selang 4 jam berlalu, pukul 3 sore, sebuah mobil berwarna putih memasuki toko. Ayah Nirian yang tahu itu bosnya, gegas berdiri dan menghampirinya dan meminta kejelasan atas upah yang diberikannya melalui pak RT.

“Pri, aku udah ngasih sesuai selama 2 minggu ini, ya! Mau di amplop itu 200 atau berapa, harusnya ya nanya ke pak RT. Ahh, sial!” jelasnya sembari membuka toko.

Ayah Nirian hanya diam mematung tidak tahu siapa yang jujur, siapa yang bohong. Yang ada di pikirannya saat itu adalah Nirian makan enak, memiliki kasur dan selimut yang hangat, dan bersekolah. Setelah sadar dari lamunannya, ia berlari dengan kaki pincangnya menuju tempat beras diletakkan, merobek karung satu persatu dan mengacak-acak toko. Ia sempat kena pukul bosnya atas tindakannya. Dengan pikiran yang linglung, ia berlari menuju kediaman pak RT untuk meminta penjelasan lebih lanjut. Namun, sial demi kesialan terjadi. Kata pembantu di rumahnya, pak RT pergi ke luar kota. Tak berselang lama, polisi dari aduan bosnya datang dan menangkap Ayah Nirian. Atas tindakannya, ia ditahan selama 1 bulan.

***

            “Alasan saya membuat komunitas ini, yakni berinisiasi untuk memberikan bantuan kepada masyarakat yang tidak memiliki tempat tinggal, dapat berupa selimut, makanan, dan pakaian layak pakai. Selain itu, komunitas ini juga bergerak dengan sebisa mungkin untuk membantu menegakkan hak dan menyalurkan ke pihak berwenang apabila terjadi hal semena-mena terhadap masyarakat miskin. Demikian cerita pengalaman hidup saya, Nirian Prita Maharani, mahasiswa Ilmu Hukum selaku ketua komunitas. Terima kasih.”

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami