Kunang-Kunang, Kau Kukenang

Oleh: Hetrys Jailani

“Berhenti disini, Jon!”

Suara Pak Manurung mengagetkanku yang sudah setengah mengantuk. Roy dan Eka di sebelahku terlihat sama kagetnya.

“Ayo! Turun kita.”

Pak Manurung yang duduk di jok depan turun dari Toyota Hilux-nya dengan senapan yang memang sudah dibawanya dari tadi. Roy dan Eka masih terpaku di dalam mobil. Joni, Supir Pak Manurung juga.

“Ayo!” Bisikku pada Eka sambil memukul pahanya. Kami bertiga duduk di jok belakang. Aku duduk di tengah. Kalau Eka atau Roy tidak membuka pintu mobil kami tidak bisa keluar dari mobil ini.  Akhirnya Eka membuka pintu sebelah kiri mobil dan Roy membuka pintu sebelah kanan. Kami keluar dari mobil disusul oleh Joni. Di luar gelap, kunyalakan flash dari hp.

“Matikan senternya!” Ujar Pak Manurung. Segera kumatikan kembali. Tidak ada bintang dan bulan di langit, sehingga malam ini terasa begitu pekat. Kulihat jam di layar hp sudah menunjukkan jam sembilan malam. Itu artinya sudah dua jam kami berkeliling di kebun sawit ini. Lepas magrib tadi Pak Manurung ingin patroli ke lapangan. Aku, Roy, dan Eka yang masih ada di kantor diajaknya ikut serta. Memang lagi rawannya ada maling buah sawit. Satpam pun sudah tidak bisa diandalkan seratus persen. Sehingga kami sebagai Staf, bahkan Pak Manurung sebagai Manajer kebun harus ikut turun ke lapangan.

“Ada suara.” Bisik Pak Manurung. Kami tetap diam. Pak Manurung mengendap-endap masuk ke dalam kebun mencari sumber suara. Kami mengikuti di belakangnya. Joni tidak ikut masuk, ia diminta menunggu di mobil. Kami menuju ke parit pringgan. Perbatasan kebun dengan lahan masyarakat. Pak Manurung mencari tempat sembunyi di balik tanaman pakis lunak.

“Kita standby di sini.”

Kami bersembunyi di sana. Ada cahaya kecil mendekati kami. Seekor kunang-kunang. Sesaat aku takjub. Setelah hampir lima tahun hidup di kebun sawit, baru kali ini aku melihat kunang-kunang. Biasanya yang kujumpai paling-paling ular atau biawak. Kunang-kunang itu terbang melewati kami menuju parit pringgan yang tidak jauh jaraknya dari kami.

Tiba-tiba saja kunang-kunang itu jatuh dipukul oleh sebuah tangan. Ada seseorang masuk dengan senter kepala ke areal kami dari parit pringgan tersebut. Dia menggunakan papan untuk dijadikan jembatan agar bisa lewat di parit selebar 4 meter itu. Roy hampir berteriak melihat orang itu tetapi ditahan oleh Pak Manurung. Dia memberi kode agar kami tetap menunggu di balik semak. Syukurnya orang itu tidak melihat kami. Mobil Pak Manurung juga cukup jauh dari lokasi. Tadi Pak Manurung meminta Joni untuk mematikan mesinnya agar tidak terlalu kelihatan. Seperti dugaan Pak Manurung, tak lama kemudian datang kawannya satu per satu masuk ke areal kebun. Semuanya memakai senter kepala sampai tak ada lagi yang menyeberangi jembatan kayu tersebut.

Total ada lima orang asing yang sudah masuk ke areal kami. Sedangkan kami hanya berempat. Namun, tanpa aba-aba Pak Manurung keluar dari persembunyian. Senapannya ditembakan ke udara. Lima orang tersebut sempat melihat kami sebelum akhirnya lari untuk kembali menyeberangi parit tadi.

“Berhenti!” Teriak Pak Manurung. Mereka mengabaikannya. Empat orang sudah berhasil lolos tinggal satu orang yang masih berusaha menuju parit. Pak Manurung membidik dengan senapannya. Sekejap mata tembakannya mengenai orang terakhir tersebut.

***

Malam cerah penuh bintang. Aku duduk di bangku belakang rumah sambil memainkan hp-ku. Niatnya mau mencari lowongan pekerjaan baru. Namun yang ku buka malah FB, IG, WA. Tiba-tiba ada panggilan suara masuk dari WA-ku.

“Halo, Ded. Roy meninggal dunia.” Suara Eka diseberang sana membuat kaget malam-malam begini.

Gimana ceritanya?”

“Info dari Mandornya tadi pagi dia dicari anaknya Mubasir, tetapi jumpanya udah siang di lapangan. Kami tahunya dia dibawa ke klinik. Mau dirujuk ke rumah sakit, tapi kehabisan darah di jalan.”

“Lah. Kok Roy yang dicari? Pak Manurung gimana?”

“Nah, itulah Ded. Kayaknya yang kau bilang selama ini ada benarnya.”

Jadi teringat lagi hari-hari terakhirku di kebun sawit itu. Teringat lagi dengan Pak Manurung. Manajer terakhirku selama berkarir di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan sana. Dia sosok yang baik di mata semua orang. Sampai tak sengaja kudengar Joni, Supirnya sedang menceritakannya pada Darmin Satpam di parkiran kantor sore itu.

“Hati-hatilah sama Manajer ini. Kemarin aku ngantar dia ke Kuayan, ketawa-ketawanya dia sama maling-maling itu. Dibilangnya pula Asistennya masih muda-muda. Gampang emosi, susah dibilangi untuk sabar. Tapi disini lain lagi ceritanya. Ditekannya semua, dibilang maling harus ditangkap. Bingung aku.” Begitu perkataan Joni yang kuingat dengan logak bataknya. Namun, aku pura-pura tidak tahu saja saat itu. Dan hal itu kuceritakan pada Eka. Eka tidak percaya. Dibilangnya si Joni itu suka mengada-ada. Awalnya aku juga sangsi dengan cerita itu. Hingga suatu hari ada kejadian di Divisiku. Kontraktor angkut buah mengamuk karena pembayarannya terlambat. Ternyata Pak Manurung mendatangi mereka tanpa memberitahuku juga Pak Kasie. Untungnya aku sedang berada di rumah kontraktor tersebut. Kudengar langsung pak Manurung menyampaikan bahwa pembayaran terlambat karena Kasie memang lelet. Sudah ditegurnya katanya waktu itu. Jadi dia minta maaf untuk itu. Aku diam saja. Setahuku berkas pengajuan pembayaran itu sudah diajukan dua minggu sebelumnya. Pak Kasie mengeluhkan selama ini kalau Pak Manurung lah yang terlambat menanda-tanganinya karena bapak itu jarang memeriksa dokumen. Sejak itu penilaianku ke Pak Manurung cenderung negatif. Namun, rekan kerja-ku tidak ada yang percaya hal-hal itu. Dalam kasus Roy ini bisa jadi dia cari aman, sehingga Roy yang jadi tumbalnya.

Aku melamunkan hal itu sambil mendengar Eka bercerita. Dia menjelaskan semuanya kepadaku. Dia juga bercerita tentang rencana pengunduran dirinya, yang selama enam bulan ini selalu disampaikan kepadaku. Namun, tak kunjung direalisasikannya.

“Untunglah kau langsung resign kemarin. Aku pun mungkin segera keluar dari sini.” Begitu katanya.

Tiba-tiba saja ada setitik cahaya terbang melintasi kebun sayur Bapak. Seekor kunang-kunang. Ingatanku pindah ke kejadian malam itu, dimana Aku, Roy, Eka, dan Pak Manurung sedang mengintai maling sawit dari balik semak pakis. Ada seekor kunang-kunang juga yang muncul malam itu. Kunang-kunang yang terjatuh ke parit karena pukulan tangan seorang maling sawit. Dimana akhirnya si maling menjadi korban penembakan dari Pak Manurung.

Namanya Mubasir, dari Desa Kuayan yang bersebelahan dengan perkebunan kami. Teman-temannya meninggalkan dia di lokasi saat kejadian itu. Aku, Eka, dan Roy panik. Kami mengira dia mati di tempat. Sampai kami mendekatinya ternyata hanya luka di paha kanannya. Masih teringat olehku kami menyobek bajunya dan melilitkan sobekan itu ke pahanya. Lalu kami menggotongnya menuju mobil Pak Manurung. Tadinya aku dan Eka mau ditinggal dulu untuk nanti dijemput lagi. Namun, faktor kondisi sedang tidak kondusif akhirnya aku minta Eka ikut masuk ke dalam mobil. Aku mengalah untuk duduk di bak belakang Toyota Hilux Pak Manurung.

Sesampainya di klinik, Mubasir masih sadarkan diri. Luka tembaknya dibersihkan oleh Perawat. Namun, pelurunya masih ada di dalam pahanya. Di klinik kebun sana tidak ada dokter jaga. Adanya di kebun region pusat. Namun, jika kondisi kritis biasanya langsung disarankan untuk dirujuk ke rumah sakit di kota. Perawat menghubungi dokter jaga via WA dan dokter menyarankan pasien dirujuk ke rumah sakit malam itu juga. Namun, Pak Manurung keberatan dengan hal tersebut. Dia mau menunggu keluarga Mubasir datang ke kebun. Dia sudah menyuruh Kepala Satpam untuk menghubungi Kepala Desa Kuayan agar mengabari keluarganya.

Kami tetap menunggui Mubasir di klinik kebun. Tanpa diminta, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Kami anggap sebagai pembasuh bumi atas tragedi malam itu. Kami menunggui Mubasir hingga jam dua belas malam tetapi tidak ada satu pun orang dari desa datang. Akhirnya Mubasir menginap di klinik kebun didampingi satpam. Kami disuruh pulang oleh Pak Manurung karena besok masih akan bekerja.

Paginya di luar perkiraan kami. Mubasir yang semalam terlihat masih baik-baik saja tiba-tiba meninggal dunia. Kami bertambah panik. Ditambah lagi siangnya warga desa datang beramai-ramai ke kantor kebun. Begitu tahu warganya meninggal dunia mereka jadi anarkis. Kantor kebun diobrak-abrik. Untungnya Polisi cepat datang sehingga tidak sampai menimbulkan korban jiwa. Masih teringat olehku kami ditinggal oleh Pak Manurung saat kejadian. Dia bilang perlu koordinasi cepat ke kebun region pusat. Untungnya kami sebagai Staf juga diminta untuk segera mengungsi kesana.

Ada satu minggu kami mengungsi ke kebun region pusat. Kami menunggu hasil rundingan perusahaan dengan pihak desa. Setelah kami kembali ke kebun, Pak Manurung langsung mengadakan rapat dengan seluruh Stafnya. Dia menyampaikan semua masalah sudah selesai. Mubasir meninggal dunia bukan karena faktor tembakan, karena memang malam itu kami melihatnya masih sadarkan diri. Dia meninggal dunia terkena angin duduk. Pihak desa bisa menerima alasan tersebut dengan bukti telepon Kepala Satpam kepada Kepala Desa.  Namun, aku masih was-was saat itu. Akhirnya timbul niatku untuk resign dan kuceritakan kepada Eka. Dia mendukungku saat itu. Dia juga bilang ada pikiran yang sama. Tak sampai sebulan, aku pun mengajukan pengunduran diri. Dan kini, enam bulan setelah semuanya berlalu aku mendapat kabar mengejutkan dari Eka yang masih bekerja di sana.

“Ded, udah dulu ya. Aku mau IPD*. Besok Audit (Auditor) panen masuk. Nanti kukabari lagi ya.” Suara Eka membuyarkan lamunanku. Dia memutuskan sambungan teleponnya. Baru saja dia menyampaikan rencananya untuk segera resign kepadaku. Namun, tidak tergambarkan dengan semangat kerjanya. Berbanding terbalik denganku saat akan resign. Sudah tidak ada rencana-rencana kerja yang bagus di dalam pikiranku. Apa cerita ini hanya basa-basi? Entahlah, dia yang tahu.

Kunang-kunang yang melintasi kebun sayur Bapak juga semakin menjauh. Cahayanya yang sudah kecil semakin mengecil. Terpikir olehku, apa ini kunang-kunang yang sama dengan yang kujumpai di kebun sawit sana? Bisa saja saat terjatuh ke parit enam bulan yang lalu, ada dedaunan yang menyelamatkannya. Lalu membawanya berlayar menyusuri Sungai Mentaya sampai ke Laut Jawa. Kemudian dia terus berlayar ke Selat Karimata lanjut ke Selat Malaka, hingga akhirnya sampai di Sungai Asahan, dan memulai kehidupan barunya di Porsea. Dia meninggalkan kebun sawit di Kalimantan sana. Dia meninggalkan Eka, Pak Manurung, keluarga Mubasir, dan semua yang ada di sana. Namun, apa dia bisa bahagia tinggal di sini? Khayalanku semakin jauh. Kurasa, kunang-kunang itu semakin mirip denganku.

***

*IPD (Inspeksi Panen Detail) adalah Pemeriksaan yang dilakukan untuk memastikan kegiatan operasional panen telah berjalan secara efektif dan efisien di perkebunan kelapa sawit.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami