Malam Tidak Datang, Ia Tenggelam 

Oleh: AbuDzar

 

Belalang di sawah saja akan bertanya-tanya mengapa hari begitu cepat selesai jika malam datang melabraknya. Bilamana itu terjadi padamu yang menganggap lelap sekadar perbuatan yang mendatangkan bala, kau gegas mengusir malam dengan berkeliling di sepanjang jalanan kota serupa orang tak waras. Menjelang dini hari suara tawamu akan meledak-ledak, dan kau tengah lari lintang pukang dikejar polisi pamong praja. Seperti biasa, penghuni kompleks tiada peduli ingar bingar di sekitar mereka. 

Sudah satu bulan kau berbuat demikian. Ayah ibumu tak kuasa lagi harus berbuat apa untuk menyelamatkan akal sehat di kepalamu itu. Mereka sampai mendatangi dukun padahal tahu betul itu perbuatan kufur. Apa yang terjadi padamu? Jangankan orang lain, kau sendiri sering melamun merenungkan hal tersebut. Sebelum sering keluar dan berkeliling, kau lebih senang duduk di atap genting atau merebah di halaman belakang. Segalanya berubah kala malam memukulmu dengan kelam dan dahsyat. Sesuatu menguasai kepala, seolah ada orang yang meneluhmu dari kejauhan. Kau tak berdaya. Satu-satunya yang terpikirkan adalah minggat dari rumah. Melarikan diri atas sesuatu yang menyesakkan. 

“Apakah penyakit gila menyukaiku? Sehingga setiap malam ia datang mengetuk pintu. Walau tak ingin kubuka, ia terus memaksa. Menyergapku dalam keadaan tak utuh. Memasukiku dengan rakus,” ungkapmu tatkala pagi berpendar di antara  ujung genting dan dedaunan. Kau tidur telentang kelelahan. Bajumu kuyup oleh peluh. Rambutmu kusut masai. Tiada roman cerah serupa yang kau tampakkan di tempat kerja. 

Semalaman itu kau lari hingga puluhan kilometer. Menarik perhatian banyak orang. Padahal, kau hanya ingin menghalau pikiran yang tengah bergelut di ruang sempit antara otak dan sel-sel utama tubuh. Mengapa orang mengumpatmu di belakang seolah kegilaan itu nyata? Hanya orang gila yang mengatakan orang lain gila, begitulah pendapatmu. Sebab muskil mengetahui kejiwaan seseorang hanya dengan sekali melihatnya. Kau akan meneriaki mereka, lalu tertawa tepat di muka. Itulah bukti kau memiliki perasaan, yang ketika diinjak-injak akan terluka.

Kau mengaduh pelan, memukul lantai. Waktunya bangun dan bekerja, segenap kejadian semalam luluh di pelupuk mata. Mungkin, semacam sirkus yang tiada usai kehidupanmu itu. Siklusnya akan berlanjut entah sampai kapan. Yang dikhawatirkan, kau ambruk sebelum menemukan solusi. Akhirnya, kau pandai menyiasati waktu. Di jam istirahat kerja, ketika yang lain makan dan bercengkerama, kau akan menyepi di musala atau masjid terdekat. Lalu, memejam barang sekejap. Orang-orang di kantor mulai membicarakan kebiasaan gilamu, bahkan mereka risi bila berdekatan. Di akhir-akhir hari, kau akan pulang lebih awal dan mengabaikan segala suara. 

“Aku lelah, tolong berhentilah. Ke mana lagi aku harus lari dari ingatan buruk dan bayang-bayang kejadian jahanam itu?” Kau menekan dada, air mata tertumpah deras. Sudah tengah malam, dan kau lagi-lagi tengah berada puluhan kilometer dari rumah. Kadang, kau terguguk seperti itu meski biasanya tak sedikit pun kesadaran dibiarkan masuk. 

Segenap keburukan menginap di kepala, kau berusaha kabur darinya. Mencari jarak antara ingatan mengerikan dan kebahagiaan yang dibangun berulang. Kau menggelengkan kepala, melanjutkan langkah. Musabab penampilanmu yang mencolok, sebuah sedan menepi, menutupi jalanmu. Seorang lelaki keluar, menetapmu lamat-lamat. Ia serupa pengembara yang mencari bahala. Kau tidak peduli, naik ke trotoar. Tepat melewatinya, lelaki itu meraih tanganmu.

“Tunggu, bukankah kau Jelita? Sudah lama tidak jumpa. Apa kabarmu?” si lelaki merasa akrab dan menyapa. Seolah kalian sejawat yang lama tak bersua. 

Malam mengungkung, udaranya terasa lembap. Hawa tidak sedap menyusup ke celah-celah pakaian. Kau bergidik. Perlahan, sakelar di kepalamu menyala dan mengirimkan getaran kengerian. Menjalar ke sekujur tubuh. Kau meraung menatap wajah si lelaki. Mengibaskan tangan. Namun, cengkeraman lelaki itu kian menguat. Tak membiarkanmu lepas. Sontak suaramu menggentarkan langit, membangunkan petugas jaga, mengejutkan beberapa pengendara. 

“Hai, apa yang terjadi? Kau tidak apa? Masuklah, aku akan mengantarmu pulang.” Si lelaki tampak cemas, gegas meraih seluruh badanmu. Memasukkannya ke dalam mobil. Kau memberontak sebisa mungkin, tetapi tenaga lelaki itu mengalahkanmu.

Sepanjang jalan kau tidak diam, mengaduh seraya sesekali bersedu sedan. Ingatan jahanam membenam semakin dalam di kepala, sehingga menggulingkan kesadaran yang mengais-ngais berusaha naik ke permukaan. Di antara peperangan itu, kau memikirkan siapa gerangan lelaki yang membawa pulang? Apakah kau mengenalnya dengan baik? Percuma, sampai malam minggat dari langit kepalamu tak berguna. Roh jahat tengah tersenyum berhasil menguasai dirimu.

Tiba-tiba saja, segalanya gelap. 

Entah sengatan apa yang menggigit leher, kau tengah terkapar di sebuah ruangan kosong di dalam rumah. Suara langkah kaki menggema pada kekosongan. Kau memeluk lutut. Rambut panjangmu tergerai hingga menutupi wajah. Ayah ibu sedang pergi dan kau sendiri. Sialan, kau tidak pernah suka kegelapan. Mengapa lampu berkedip tanpa aturan? Kau menenggelamkan kepala di antara lutut, gema langkah kaki itu semakin mendekat. Kau bisa mendengar kelontang pintu yang ditutup perlahan. Astaga, harus sejauh apa lagi kau berlari untuk menghapus ingatan ini. 

Semuanya masih gelap. Ingatan tersebut berlanjut, menari-nari di kepala seolah setiap kejadiannya adalah lelucon, sementara kau tunduk tidak berdaya. Malam itu, awal dari pertunjukan sirkus. Kau menghindar ke pojok ruangan, tetapi lengan kuat milik si penyusup yang jemarinya kasar menjambakmu tiada ampun. Ia melemparmu ke tengah, lantas memukul kepalamu dengan benda tumpul. Darah segar mengucur. Entah siapa gerangan sebenarnya, kau terlalu takut untuk memahami mengapa lelaki itu berbuat sampai demikian. Memaksa memasuki dirimu. 

“Kau tidak apa-apa?” Suara seorang lelaki terdengar di telinga. Serak dan berdahak. “Aku khawatir karena tiba-tiba kau pingsan di jalan. Sekarang kita sudah sampai, kau tengah berbaring di kasur.” Lalu, kau bangun dengan terkejut. Matamu membelalak ketakutan. Sebuah kebohongan besar. Mana mungkin kau pingsan dengan rasa nyeri di kepala dan pakaian yang tanggal. 

“Aku tidak gila sampai khilaf melepas pakaian dalam keadaan tidak sadar, sementara di depanku duduk seorang lelaki.” Suaramu bergetar. Rasa takut menusuk-nusuk. Kau merangkul selimut. Ingin rasanya beranjak dari ranjang laknat ini. Sebab segalanya di lakukan di sini. Perbuatan jahanam itu. 

“Baguslah. Artinya, kau ingat dengan baik dua bulan lalu apa yang kita lakukan.” Si lelaki menyeringai buas. 

“Bedebah!” Kau menendangnya, lalu turun dan mengambil sehelai jas yang menggantung di antara pakaian. Biadab sekali lelaki itu. Rasa cemas serta gejolak kengerian mengusai dirimu. Kau kini ingat betul lelaki itu adalah lelaki sama, yang telah menghilangkan kewarasan dan merenggut sesuatu yang amat berharga. Membuatmu serupa orang gila karena berlarian di sepanjang jalan. Kau ingin bebas, mencari ketenangan di luar. Rumah mengutukmu. Bilamana kau beranjak memasuki kamar, kenangan jadah itu menyala-nyala di balik pintu. Kau akan meringkuk mati di sana sampai pagi mengusir kelam. 

Hari itu, saat kejadian, orang tua kedatangan tamu. Katanya kawan sepekerjaan. Mereka memperkenalkannya dengan Om Rojak. Tak ayal tampangnya rupawan dan katanya masih melajang. Kau baru pulang kerja ketika melihat lelaki itu duduk di ruang tamu. Ia menyapa, kau membalasnya hanya dengan anggukan kepala. Dari kejauhan, kau tahu Om Rojak memperhatikan. Sekali sebelum memasuki kamar, kau bisa lihat rona matanya membesar dan pipinya berubah kemerah-merahan. Kau pikir ia sudah sinting dan mungkin memikirkan sesuatu yang kotor. 

Selepas magrib, orang tua mengabari akan berangkat ke luar kota bersama lelaki itu. Kau bersikap biasa saja sebab itu sering terjadi. Pukul tujuh malam mereka pun pergi. Tak tahunya, sejam kemudian Om Rojak kembali. Kau tidak memiliki prasangka buruk sebab ia bilang kedatangannya hanya untuk mengambil barang yang tertinggal. Sungguh bagaimana pun, lelaki pesong memiliki banyak akal untuk rencana jahatnya. Akibat dari kebiadaban itu kehidupan seorang perempuan rusak. Kejiwaannya terusik berat. 

Wanita tetap wanita. Walau rupanya serupa gelandangan dengan rambut kusut masai dan baju kotor, lelaki pesong akan memandangnya sebagai objek memuaskan. Lelaki seperti Om Rojak yang berkeliaran di malam hari pasti tak terhitung banyaknya. Apalagi, tuhan mereka berada di antara selangkangan. Apa pun yang diinginkannya, mereka akan berusaha memenuhi sepuas diri. Kau benci lelaki macam itu, sebagaimana kau benci perbuatan biadabnya. Jikalau sanggup melakukan pembunuhan, kau ingin membumihanguskan mereka semua. 

Sampai mana harus pergi? Kakimu lunglai, dan kau meringkuk di bawah tangga. Sekujur tubuh gemetar hebat. Hari ini atau tempo lalu, semuanya sama saja. Tiada seorang pun bisa menolong. Kau sudah membicarakannya dengan orang tua, tetapi mereka menyangkalnya dan menganggapmu berlebihan. Mereka sering pergi, bahkan malam ini raib entah ke mana. Pihak berwajib pun sama saja. Mereka mendewakan bukti, dan Om Rojak mudah saja mengelak. Kali ini kau menyerah. Tiada ketenangan di mana pun kau berada. Masyarakat mana pun akan beranggapan sama, bahwa kau sudah tak waras. 

Gelak tawa lelaki itu terdengar. Ia menuruni tangga dengan rangah. Kau menenggelamkan diri pada kegelapan. Badanmu kian bergetar. Roh jahat yang memasukimu terbahak-bahak. Di anak tangga terakhir, si lelaki bergumam, “Jelita, kemarilah. Percuma kau bersembunyi. Orang tuamu saja sudah menyerah soal kesehatanmu. Kenapa tidak sekalian menjadi gila dan puaskan aku malam ini?” 

Inilah akhir penderitaan, suara hatimu memberi semacam kekuatan. Tanganmu mengepal kuat. Orang sudah menganggapmu gila sebab tak berperilaku sama seperti mereka. Tak mengapa, boleh jadi mereka benar atas sorak-sorainya di jalanan. Kau mengangguk, air mata bercucuran membasahi pipi. Genderang hati bertalu-talu. Tidak mengapa, semua ini akan usai. Kemudian, kau keluar dari kegelapan. Mendorong si lelaki hingga tak mampu lagi bergerak. Kau memukulnya membabi buta seraya tersenyum. Perjalanan akan sampai di tujuan. Biarkan setiap manusia mendapatkan hak dengan semestinya. Perampok harus dihukum tanpa jeda. 

Sayang, tenaga lelaki itu lebih unggul. Satu kesempatan saja, ia menendangmu dengan keras. Kau terpental. Kepalamu membentur lemari, lantas jatuh berdebum ke lantai. Dorongan dahsyat itu membuat kaca lemari terburai, menghujani kepalamu. Lantai mengilap oleh darah segar. Kau akhirnya menemukan ketenteraman dari pelarian setiap malam. Kau menutupnya dengan senyum hangat.

Sinar matahari menerobos gorden. Membasuh permukaan. Dari kejauhan suara sirene terdengar. 


 

 

 

 

 

 

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami