Oleh: Devy Rianita Hanifah
|1|
Pada mulanya riuh,
aku membacamu dari setumpuk muram di wajah-wajah berita
yang sembab—menumpahkan warta tangis derita
di sepanjang jazirah duka
beraroma getir sungkawa.
“Sebab, hari ini (dan yang lalu) darah telah mewarna di genangan air mata.”
Seperti sajak nan remuk—t
u
m
p
a
h—di kecah ratap nelangsa
menatap raga-raga nan lelap di tubuh nisan
: rebah memagut mesiu-mesiu duka.
|2|
“Dan tidakkah kaudengar pekik lara nan menusuk tubuh nuraga?”
Di Gaza, tanah bermandikan air mata
ribuan ajal telah menjabat
menyelimuti usia
& kecemasan yang ranum mekar di punggung janabijana.
“Juga tiada henti doa kami langitkan—berpacu melawan api-api besi yang mengudara.”
Meski tak kunjung redam maut melanglang
nan jua turut mengudara
menuju baka
menyisakan duka tak berkesudahan.
(2023)