Penghujung Mantra Rama Bargawa

Oleh: Abdul Rohman



Sebuah wujud telah datang dari jalan haribaan Sang Sukma Sejati Punakawan yang memicingkan semua indra, kala melihat pejalan di atas awan yang menyala-nyala memangku gelimang senyum ironi dari Harjunasasra yang menemuinya di ujung mulut-mulut pusara para petapa di tanah yang memerah di barat negeri tua–Jatisrana. 


Jauh di sana, tanah memerah, para Pandhawa dari carita berbeda yang bertapa, tiga di antaranya kini rapi tertutupi asap putih kahyangan saat melukis darah dari mantra yang menghunusnya dengan kesumat pada lindap yang terang dalam semadinya. Hilang pandang dari mereka yang datang saat yang masih berdetak tersisa tengah berlari menunggu setiap warsa dengan membawa abjad yang dieja perlahan dari harum telapak kaki dan tangan para pengasihan.


Lantas yang lalu kini telah singgah demi meminta angka per angka yang disusupi Yamadipati menjadi layon yang perginya tak berguna tanpa membawa sengketa. Guratan tua kerabat istana–Partawijaya yang terhimpit dalam puluhan warsa tetiba datang dengan isyarat di dadanya yang dirajam senjata tua tak bernama pada pagar istana kala petang belaka. 


“Oh..kakang, kini hatiku menggelayut lalu pecah, sungguh tak ada lagi titahku yang sanggup memberangus setiap tatapan angkuh dari macam gelagat pada setiap gelap yang hangat saat anak-anakku akan disusupi Yamadipati di esok hari. Sungguh tak tahu persis dimana tanah pijakmu berada, dengan harapku kini jeneng sira tak membawa siuh dirimu pada rentang yang jauh.” penghibahan seorang raja yang tersimpu pada Sang Ismaya yang kini membawa kaki-kakinya tak berarah. “Ooeei, mbegegeg ugeg-ugeg humel-humel sadulito. Dari deru yang samar itu, kini telah cukup membawa cakapan untuk jeneng kita melingkup jauh.” dari perkata yang tak tergapai lagi dalam sembah yang musti tersembunyi.


Barangkali yang sanggup Raja tua itu hibahkan hanyalah dengan menjejak keremangan di petang yang tembaga demi menuju ke selatan bersama Jemparing yang akan melesat bersama tutur yang Ia arah. Seketika firasatnya mengalun pada telinga, bahwa ada rasa yang tetiba datang bersama yang tak diundang, tak permisi, dan tak perlu dikasihani.

“Aku bungsu dari Resi Jamagdani, telah ku tumpas seluruh jagad hidupmu yang menyelinap di malam padam yang menjadi rona dari bangkai kakak-kakakku, tiba saatnya sangkutan tak tercatat itu Engkau bayar dengan peluh dan ludiramu, Raden.” Ia kidungkan angkara dari wajah yang bau darah para kesatria. “Nggerr…awan kini menghitam, lebam, meredam. Barangkali kita juga, lalu tangis menghidu dari bola mata yang pecah pada jagad hidupku itu yang telah bersemayam di tanah-tanah berapi karna ulah tindaknya. Kita tak ada beda.” dalam kata yang merayap pada telinga yang penuh pola.


Ketika itu asa mendekap jisim raja yang telah lapuk dan melingkap pada dingin arus Masehi yang memecah bencana, dendam tak tersentuh, dan mengenal lirih tersembunyi dari Rama Bargawa yang matanya penuh sesak pasak api, berahi, ironi, barangkali imaji pembalasan.


Kini langit kelabu, semu, seperti lagu-lagu yang menyusup dalam rajut benang waktu yang membawa mereka beradu di atas padang ilalang, yang luas, tak terbatas. Petang datang menghunus warna saat mereka beradu daya, mata yang menganga lupa, darah-darah yang abadi kini menjelajah kebajikan yang mati ditikam pusaka sendiri. (Harjunasasra moksa)


“Tak cukupkah perangaianmu dalam tahta itu, pusara itu, iman-iman itu. Kau telah lalai, melambai, dan sampai, pada setiap langkah yang kini dusta. Untuk apa dikuasa setiap tanah negeri yang hayati jika dipenghujung itu ada dendam dan lara. Waktu tak tergoyah, penuh makna, barangkali istilah, yang saling membentang dalam panjang bayangan, dalam ingatan, hingga doa-doa itu menghilang.” sekelebat isyarat dari bahasa kutukan Rama Bargawa yang memuncah bencana para kesatria.


“Bapa Kuasa, Ibu Penolong”

“Bisa Teguh, Luput Sengkala”

“Yang Lekat, Akan Erat”

“Yang Ilhami, Akan Kasihi”

“Yang Datang, Memandang”

“Yang Pergi, Diingkari”

“Dari Lara, Sampai Amarah”

“Dari Darah, Para Kesatria”


“Aku Rama Bargawa menisbihkan Mantra yang dipenghujungnya ada amarah Kalabenda.”

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami