MENCARI RADEN SALEH

Kurnia Effendi

 

Hujan tidak menghentikan upacara. Bendera merah putih tetap ditarik mendaki tiang. Lagu “Indonesia Raya” bergema di negeri yang pernah menjajah kami. Kurasakan kehangatan di antara cipratan air dari langit di wajahku. Tercecap asin saat menyusup ke celah bibir. Aku terus memberi hormat mengangkat muka 60 derajat sampai: Hiduplah Indonesia Raya!

Siapa menyangka aku ikut berdiri bersama kawan-kawan dari tanah air yang bekerja atau melancong ke Negeri Kincir Angin? Bambang Hari Wibisono, konsulat yang kukenal menjelang keberangkatan ke Belanda, hari itu menerima penghargaan dari Kepala KBRI. Sesudah berebut gembira makan nasi tumpeng, ponselku bergetar. Om Frank!

“Sudah selesai? Saya tidak perlu parkir ke dalam. Menunggu di tepi jalan. Sedan hitam.” 

“Baik. Segera keluar.”

Menggendong ransel berisi kamera DSLR, aku pamitan kepada kawan sebarisan. Seorang ahli bangunan yang sudah setahun merantau. Tanggal 17 Agustus menjadi puncak kerinduan yang kami tempuh.

Frank van Oortmerssen mantan Kepala Museum Litografi yang bergiat sebagai peneliti. Dia asli Belanda yang pernah kuliah di Universitas Pajajaran dan pintar bahasa Sunda. Goy Gautama, teman seangkatanku di ITB membagikan nomor kontakku kepada Frank dan sebaliknya. Begitulah, pria dengan kumis dan cambang itu tak hanya ramah di telepon.

“Akhirnya kita bertemu!” sambutnya dengan salaman hangat begitu aku duduk di sebelahnya. “Ke rumah anakku dulu. Kita bisa buka internet. Kau harus kenal menantuku, artis sinetron Indonesia.”

Aku gembira menerima tawarannya. Begitu sampai, Frank kaget melihat nama jalan di depan rumah Dirk. “Van der Capellen? Apa artinya ini?”

“Om baru sadar? Astaga … Raden Saleh mengikuti kita,” ujarku tertawa tanpa meyakini kebetulan.

Di rumah itu, aku berkenalan dengan pasangan muda yang belum punya anak. Rupanya Avni, sang menantu, juga pintar menulis. Kami bertukar buku bertanda tangan. 

“Minum apa? Aku bikin bubur kacang hijau … mau, ya?” Avni meluncur ke dapur.

Frank sudah membuka situs yang membahas cukup lengkap tentang Raden Saleh dalam bahasa Belanda. “Sini catat yang penting, aku terjemahkan.”

Kurang lebih satu jam di sana, Frank menepati janjinya mengajakku ke Museum Kota Den Haag. Nah, di situ—yang setiap tahun mengganti materi lukisan—kutemukan karya-karya para seniman sezaman Raden Saleh di s-Gravenhage, sekitar 1850-an. Kutemukan juga sebuah kar skala besar kota itu memenuhi dinding. Kubaca kata Malieban, lapangan tempat Raden Saleh dahulu menonton sirkus pertama kali.

“Sekarang namanya Malievield.” Frank menjelaskan. 

“Di situ, Raden Saleh mulai belajar menggambar hewan. Modelnya binatang sirkus milik Martin, asal Prancis,” kataku.

“Beruntung kau, bisa ambil banyak foto lukisan di sini.” Frank seperti turut bersyukur. 

Setelah dua jam, kami melanjutkan mengobrol di kantin museum sembari minum kopi. Frank ke kasir, tetapi lama berada di pojok cendera mata. Dia memberiku sekaleng permen dan kartu pos klasik. “Untuk memudahkan mengingatku.”

Dibawanya aku ke tempat yang indah—ah, semua memesona menurutku—dengan danau membentang. Frank mengambil sejumlah gambarku dengan latar gedung-gedung khas Belanda. Model gedung yang nyaria tak bersisa di Indonesia karena kurang dirawat.

Dalam perjalanan mengantarku ke stasiun kereta, ponsel Frank berdering. 

“Temanku. Nanti kutelepon balik.” Frank patuh aturan dilarang bertelepon saat mengemudi. “Kapan jumpa lagi? Apa lagi yang dibutuhkan?”

“Aku sudah menyusuri semua jalan yang diperkirakan jadi tempat main Eyang Saleh. Herengraht, tempat menumpang awal di rumah keluarga Nibbelink. Aku ke Princengraht, tapi tidak tahu tempat Studio Kruseman dulu berada. Kususuri Hoogstraat, memang menyenangkan, ramai dan artistik. Pantaslah Saleh muda betah tinggal di sana. Banyak kafe, galeri, gerai buku, toko parfum, salon, dan orang-orang berjalan kaki. Bahkan pengamennya pun keren.”

“Bisa dibayangkan, sejak dulu daerah itu kawasan seniman,” komentar Frank.

“Tempat mabuk yang inspiratif.” Aku berimajinasi. Kudengar Frank tertawa setuju, sementara sejenak aku seperti disedot ke alam masa lalu. Mendadak pemandangan di luar jendela menjelma hitam putih.

“Hampir sampai stasiun. Posisi kita di seberang pintu utara.”

Aku disadarkan suara Frank. Lanskap kembali berwarna, tapi jiwaku setengah mencelos.

“Terima kasih banyak, Om.” Aku menyalami erat. Dia akan menyetir panjang ke Eindhoven. Aku hanya memerlukan setengah jam tiba di Leiden Centraal dan berjalan kaki ke Marienpoeltraat 67, tempatku tinggal sepanjang zomer

Kumasuki rumah berpintu yang tumben sepi. Meski matahari masih sepenggalah di langit barat, sekarang pukul 8 malam. Di meja makan sudah terhidang … astaga, rijsttafel! Tika, istri Mas Nur, menyediakan menu istimewa.

Aku naik ke kamar, membongkar ransel, bergegas mandi. Betul, lambungku minta diisi. Air dingin mempertegas lapar. Kukenakan kaus lengan panjang dan turun begitu mendengar panggilan mengajak makan. Tapi, suara siapa?

Alangkah terkejutku sesampai di ruang makan. Eyang Saleh dengan … itu pasti Jonghe, gadis blonde pemilik kedai roti. 

“Makanlah bersama, kau pasti letih berkeliling mencari studioku.” Raden Saleh melambai sembari melanjutkan mengambil pilihan lauk menaruh ke piringnya.

“Eyang, selamat malam. Tante Jonghe—”

“Ah, kau sudah kenal rupanya. Duduklah. Ini hanya untuk kita bertiga. Habis itu Jonghe akan menyiapkan anggur.”

Aku mengucek mata, berharap kedua orang yang semeja denganku menjelma Mas Nur dan Teh Tika. Namun, sia-sia belaka. Akhirnya aku mengalir mengikuti takdir. Makan dalam diam, sementara Raden Saleh mengobrol santai dengan Jonghe dalam bahasa Belanda. 

Sebelum kuteguk anggur, kudengar samar ponselku berdering. Aku minta diri ke kamar. Nama Marije Plomp tertera … membuatku lega. Aku kembali ke masa kini.

“Maraya … malam-malam—” 

“Maaf, hanya mengingatkan besok kita ketemu di Van Gulik, ruangan kerjamu. Pagi. Jangan lewat jam 9, karena aku mau ke Amsterdam.”

Si cantik Marije adalah Kepala Asian Library yang banyak membantuku dalam riset.

“Oh, baik. Semoga pagi tidak hujan.” Aku hampir menutup telepon ketika teringat kejadian aneh ini. “Maraya, aku mau bilang sesuatu.”

Secara singkat kuceritakan acara makan malamku. Marije justru ingin tahu kejadian sebelumnya. Aku pun berkisah pengalaman sejak mengikuti upacara kemerdekaan negeriku di Wassenar. 

“Coba kaulihat kartu pos dari Frank,” saran Marije. “Kurasa itu kuncinya.”

“Gambar Kota s-Gravenhage tahun 1848 ….” Aku tertegun menatapnya di meja. 

“Nah, setiap waktu kau bisa masuk ke masa itu. Kau akan kembali ke masa kini bila ada seseorang memanggilmu, menyadarkanmu.”

“Aduh! Aku takut ….”

“Aku akan sering meneleponmu.” Kudengar tawa ringan di akhir pembicaraan.

Aku belum berani kembali turun, padahal ingin kusesap anggur seabad lalu. 

 

***

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami