Pencari Etiket

Oleh : Joni Halawa

Ia hanya punya waktu seminggu sekali selama tiga bulan nanti untuk membimbing mahasiswanya, itu pun dalam jaringan. Selama tiga bulan itu ia sibuk melakukan penelitian tentang kesejahteraan psikologis akibat status sosial ekonomi dan budaya masyarakat di pulau terpencil bagian Sumatera. Ia akan berupaya memenuhi waktu bimbingan sekali seminggu ditengah-tengah kesibukannya. Jika benar-benar tidak bisa, ia akan berupaya menyampaikan revisi melalui feedback tertulis. 

Bagi mahasiswa yang mengagumi ketelatenannya dalam membaca skripsi, kerap kali merasa bahwa skripsi itu memang berguna. Namun, bagi mahasiswa yang ugal-ugalan, apapun yang disampaikan Doktor Burhan semuanya tidak berguna. Kelompok mahasiswa itu juga menganggap skripsi tidak berguna. Saat peraturan menteri terkait kebijakan skripsi bukan lagi syarat wajib kelulusan, kelompok mahasiswa itu konvoi sepanjang Jalan Sudirman dan diam-diam merayakannya dengan wiski di sebuah kos di Jalan Magelang.

 Beruntunglah lima mahasiswa yang dibimbing Doktor Burhan atas pilihan doktor sendiri. Sebelumnya ada sekitar sembilan belas mahasiswa yang memilih Doktor Burhan, tetapi atas prinsip kemerataan dan keadilan, dan atas permintaan Doktor Burhan, diputuskanlah lima mahasiswa. Lima mahasiswa yang pasti tak akan membuat doktor sakit kepala, sebab kemampuan secara akademis sudah terlatih sejak semester satu, ditambah dengan kebiasaan membaca buku.

Setelah memberitahu agendanya selama tiga bulan nanti, Doktor Burhan melanjutkan dengan marah-marah. Bukan kepada mahasiswa bimbingannya, tetapi kepada entah apa.

“Saya lahir di zaman teknologi belum secanggih hari ini. Zaman susu sapi diperah pakai tangan dan cinta disampaikan lewat surat. Waktu itu semuanya klasik, tapi sangat istimewa. Mestinya zaman berkembang, yang telah ada jangan sampai hilang.” Kata Doktor Burhan, lalu ia mengambil sebuah buku tipis di lemari mejanya.

“Apa yang dulu pernah ada, tetapi sudah menghilang?” Tanya seorang mahasiswa.

“Etiket. Saya ketemu etiket 40 tahun yang lalu. Seseorang mempertemukan kami dan orang itu meninggalkan catatan tentang etiket di buku ini.” Ucap cepat doktor sambil menyodorkan buku tipis itu. Lima mahasiswa bingung.

“Kami tidak paham maksud, Pak Burhan. Etiket tidak ada dalam variabel penelitian kami. Apa hubungannya?” 

Disertai dengan gertakan meja yang dahsyat (yang kemudian membuat mahasiswa tak meneruskan pertanyaan), lima mahasiswa diminta menemukan etiket dan mendokumentasikannya dalam bentuk gambar atau video. Tugas itu setara skripsi. Skripsi selesai, tapi etiket tak ditemukan, nilai setinggi-tingginya “B”. Lima mahasiswa menjadi bingung. Etiket tak ada dalam variabel penelitian dan mereka tak punya bacaan soal etiket, mereka adalah mahasiswa psikologi dan sejak semester satu mereka hanya membaca psikologi. Lalu, dimana mereka harus menemukan etiket?

Untuk pertama kalinya, mereka putus asa dan tiba-tiba merasa bahwa memang skripsi tak ada gunanya. Permintaan dosen itu aneh-aneh. Mana mungkin bisa menemukan etiket, sama sekali tidak ada pembenaran untuk permintaan Doktor Burhan. Mereka keluar ruangan dengan muka menyesal, mengapa mereka tak ikut saja dengan mahasiswa lain yang minum-minum wiski di sebuah kos di Jalan Magelang.

Namun demikian, tak ada salahnya mencoba selangkah lagi sebelum langkah terakhir. Lima mahasiswa mulai melakukan penelitian. Mereka ingat: 3 bulan. Setelah itu, mereka harus kembali ke kampus menghadap Doktor Burhan secara langsung, secara tatap muka. Mereka mengumpulkan semua data lalu menuliskannya, dan yang terpenting di luar itu semua, mereka harus membawa etiket dalam wujud foto atau video. Sebuah perjalanan yang entah ditakdirkan untuk apa.

Konsep-konsep etiket diperkenalkan oleh murid-murid Pythagoras zaman Yunani Kuno. Sesuatu yang abadi dalam jiwa dan bila terus menerus mencari maka itu adalah hukuman, sehingga mesti disucikan. Tubuh adalah penjara bagi jiwa. Di dalam buku tipis itu juga dijelaskan bahwa waktu itu sudah lama sekali, zaman sebelum Sokrates, penggagasnya abadi dalam nama dan peninggalan dan Pythagoras lebih dikenal dalam buku-buku matematika.

“Teorema Pythagoras?”         

“Apakah itu berarti kita harus membaca buku-buku matematika?”

“Goblok. Wawancara saja guru matematika.”

Lima mahasiswa meluncur ke sebuah sekolah yang dekat dengan tempat penelitian. Sebuah sekolah dipelosok, guru-gurunya lulusan sarjana yang sudah lama dijanjikan durian manis.  Guru matematika yang akan mereka wawancara adalah guru seni yang baru saja menikah dan istrinya sedang mengandung anak pertama. Dari guru matematika itu mereka mendapatkan informasi, tetapi…

“Saya terakhir ketemu etiket waktu saya masih duduk di bangku SD. Kira-kira 20 tahun yang lalu. Setelah itu pernah sekali, suatu waktu di gereja. Melintas, tapi tak tinggal. Saya kehilangan jejak. 20 tahun yang lalu, saya dan etiket bertemu atas kebaikan hati seorang guru saya.”

“Apakah kami bisa meminta nomor guru SD, Bapak?”

Guru memandang.

“Bodoh. Kalian ini bodoh matematika. Itu sudah 20 tahun yang lalu, sekarang saya sudah 35 tahun. Usia guru saya waktu mempertemukan saya dengan etiket adalah 50 tahun. Kira-kira berapa usia guru saya sekarang? Tidak tahu? Dia sudah meninggal, goblok. Bodoh kalian, tolol. Minta nomor WA? Ya, orangnya sudah mati, sudah ketemu dengan Tuhan. Ya, kalau dia tidak di neraka.” Guru matematika itu terkekeh, lalu batuk-batuk karena ketawa kencang.

Guru meneruskan.

“Lalu, kenapa kalian menemui saya? Siapa yang menuntun kalian kemari?”

Seorang mahasiswa mengeluarkan buku tipis dan mengangkatnya. Guru ternganga. Ia tahu buku tipis itu. Ia juga punya dan seperti peninggalan lainnya, jangan-jangan ia mengenal siapa yang punya buku itu. Ia lalu menjelaskan. Hanya ada 3 orang yang memiliki buku itu. Satu orang Belanda, dua orang lainnya orang Indonesia, tapi tidak ada yang tahu persis siapa orang Belanda itu. Saya tahu orang Indonesia, satunya sudah tua, seorang dosen. Satunya lagi sudah meninggal.

“Kalian dapat darimana buku itu?”

“Doktor Burhan.”

Namanya tidak asing di telinga guru.

“Bapak tahu dari mana soal buku ini?”

“Dari orang Indonesia yang satunya. Ayah saya. Ayah saya dan Doktor Burhan bersahabat sejak kuliah. Saya juga dulu ditugaskan ayah saya untuk mencari etiket sambil menyusun skripsi, tapi gagal. Ayah tidak marah. Dia meninggal karena kanker tulang.”

“Buku itu…?”

“Suduh dikubur bersama ayah saya.”

Lima mahasiswa semakin dekat pada kemungkinan etiket tak dapat ditemukan lagi. Apa yang telah dirumuskan sejak meninggalkan ruang Doktor Burhan menemui jalan buntunya. Apa yang mereka sebut satu langkah lagi sebelum langkah terakhir, kini sudah selesai. Etiket sudah hilang, ditelan zaman, ditelan teknologi, telah pergi jauh. Doktor Burhan akan kecewa, mungkin skripsi mereka tidak akan diterima, mungkin lebih baik mereka berubah haluan menjadi setuju dengan keputusan menteri yaitu skripsi tidak menjadi kewajiban. Dan mereka akan mencari waktu sendiri untuk merayakannya. Dan, satu lagi, buku itu akan mereka kubur juga bersama Doktor Burhan. Ya, seperti guru mengubur buku itu bersama ayah tercinta.

Memang sudah saatnya etiket hilang. Untuk apa? Biarlah itu menjadi sesuatu yang pernah ada, dan anggaplah itu kalah pasar dengan tuntutan zaman. Bila digali lagi, keuntungannya untuk siapa. Pasti bukan untuk penggali, ia tidak dapat apa-apa. Tidak juga terima kasih, sebab terima kasih adalah bagian dari etiket. Tidak maaf, apalagi tolong, meski itu masih ada, tapi pasti akan sirna. Suatu saat nanti. Dulu, pasti ada juga yang menduga bahwa etiket akan hilang, dan sekarang itu benar-benar hilang. Tak ada jejaknya, maka tak ada salahnya mengira-ngira di kehidupan selanjutnya semua yang berinduk pada etiket akan hilang.

Toh juga sistem tidak mendukung. Etiket memang ingin dihapuskan. Apa yang dicontohkan jauh dari etiket. Dan apa yang diupayakan sering membelakangi etiket. Skripsi dihapus, bukan? Padahal disana ada etiket sepersekian persen, barangkali itu juga yang dirasakan Doktor Burhan. Sekarang itu tidak butuh, yang penting adalah apa kata kebanyakan orang dan tentu saja uang. Uang bisa membeli etiket dan apa kata kebanyakan orang. Etiket akan kalah dengan uang dan apa kata kebanyakan orang. Etiket akan kalah pasar, generasi berikutnya pasti tidak dapat warisan etiket.

Tetapi …

“Apakah bapak punya sesuatu yang bisa membuka jalan buntu ini?” Seorang mahasiswa yang belum putus asa mencoba mencari jalan keluar. Saat bersamaan, pesan singkat dari Doktor Burhan masuk: bimbingan online via zoom, minggu pkl 20.00 Wib.hrp semua bisa ikut. pastikan sdh oke dgn variabel penelitian, jgn berubah lgi… dan jangan lupa etiket ditunjukan ya…

“Saya punya suatu petunjuk, tapi saya tidak yakin ini berhasil.” Kata guru.

Lima mahasiswa menuju sebuah tempat yang lebih pelosok lagi, suatu hutan yang hanya dihuni satu keluarga. Di sana tidak ada listrik negara dan tidak ada jaringan internet, tidak ada teknologi. Tempat seperti itu rupanya masih ada di dunia, mungkin satu-satunya. Sesuai petunjuk dari guru, lima mahasiswa membuka topi sebelum mengetuk pintu, menyampaikan salam dan maaf sebelum mengutarakan maksud, menyampaikan terima kasih setelah mendapat informasi, dan membungkuk badan saat hendak berpamitan. Karena demikian, mereka diperlakukan sangat ramah oleh satu keluarga. Dan, seperti yang mereka harapkan, mereka dipertemukan dengan…

Mereka menemukan etiket mengambang di permukaan kolam, serupa lumut. Warnanya hijau kental seperti daun pisang muda. Bergaris-garis dan berdiri sendiri-sendiri seperti sisir. Membentang sepanjang kolam. Di sana ada kodok, eceng gondok dan teratai yang menemani. Semuanya itu menggeleng saat lima mahasiswa mengulurkan tangan, tetapi karena sedikit berani akhirnya bentangan itu diangkat. Mereka terkejut. Kodok, eceng gondok dan teratai melarikan diri. Lima mahasiswa sadar, pencarian mereka sia-sia. Lalu…

Pesan masuk. Kali ini dari sekretariat prodi: mas, tlg itu kalian cari dosen pembimbing. Pak burhan ditangkap polisi. Kasus penganiayaan terhadap anak sendiri. Kalian tau kan info itu,,, yang minum-minum wiski di kos di jalan magelang ternyata ada kumpul kebo juga, di sana ada anaknya pak burhan…

TAMAT

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami