Samurai Berdarah Menagih Maaf

Oleh : Halwanisa Syazwina

“Bocah itu menggigit putus urat lehernya!”

Kematian Ki Ganapatih menambah keributan kampung, setiap sudut ambil peduli lewat pergunjingan cakap angin. Tak pernah terpikirkan akan ada suatu drama tragis semacam ini di suatu sore menjelang malam yang lembap macam hari ini, mengingat musim penghujan dan gagal panen sudah bukan main bikin pening.

Adalah benar bahwa Ki Ganapatih―kamitua kampung ini mati hari ini, tak ada yang menyangka, sebab pagi tadi masih tampak berseloroh dengan betina-betina warung kopi dengan kedipan mata khas tua bangka kurang perhatian. Sesungguhnya tak ada yang tahu alasan kenapa malapetaka macam ini mendatangi Ki Ganapatih senja-senja begini, namun pergunjingan telah merewak, sampai takhayul-takhayul mengerikan pun disangkut pautkan.

“Manusia macam apa yang bisa mengigit leher manusia lain?” Itu suara Jayanegara yang parau akibat kerap menyesap asap rokok. Namanya memang mirip nama raja era Kerajaan Majapahit, tapi realitanya pekerjaan pun tak punya, hanya tahu cari-cari muka.

Gama, nama bocah yang tertuduh sebagai yang merenggut nyawa Ganapatih. Padahal kesehariannya hanya memancing dan jadi buruh angkut yang kulitnya bersisik entah karena keseringan dihantam matahari atau karena terlalu jarang mandi. Nurani seluruh penduduk kampung pun tahu ini bukan perbuatan Gama, apalagi sampai menghabisi nyawa dengan cara yang ganas semacam membuat penyembelihan yang tak tuntas atau menciptakan bau semerbak amis darah yang menggelosor dari leher serupa pipa leding yang bocor―tidak mungkin.

Kendatipun semua tahu seberapa bengisnya Ki Ganapatih dalam bertindak, dan agaknya satu atau dua orang mensyukuri kematiannya, lelaki ini memesona selengkapnya, bisa mengundang dan menjadi pujaan banyak pecinta liar. Sempat menjadi seniman kapiran yang menyenangi arak ketan putih, sampai entah bagaimana jalurnya bisa menjadi sosok yang dihormati. Sungguhpun demikian, ia tak segan meniduri banyak perempuan―tak ada yang benar-benar dipelihara sebagai gundik—padahal istrinya masih bernapas.

“Sungguhlah ia bukan orang macam itu. Anak itu hanya pemurung yang tak banyak bicara,” Mbah Kahar menimpali persoalan yang dibahas oleh Jayanegara, sembari mengepul asap cerutu. Sebagai yang siang malam melihat Gama berkeliaran di pasar, Mbah Kahar agaknya berani bertaruh demi nama baik bocah ingusan itu. Meski nakal dan doyan keluyuran di tongkrongan para begundal, rasanya ia tak akan menjadi sebengis yang ditudingkan.

***

            Langkah terseok dengan kaki telanjang. Siang bolong, menenteng samurai yang terdapat bercak darah yang telah kering sejadinya, diseret hingga menciptakan garis sengkarut di tanah. Tatapannya tetap kosong, walau siapapun tahu isi kepalanya berisik dan berantakan.

            Samurai yang lebih mirip rongsokan itu peninggalan perang zaman Jepang. Pernah indah wujudnya, dianggap menjadi jimat dan kecintaan pemiliknya, sebelum akhirnya terbengkalai dan rusak akibat garam di udara dan menjadi karat. Kendati demikian, benda ini pernah agung, pernah menjadi penakluk ajak-ajak bengis di tengah musim perburuan.

Muka lugu Gama kecil pernah menatap gerakan tangan ibunya yang pelan menutup peti kaca samurai, dan dapat ditangkapnya gigitan bibi yang bergetar demi menahan pilu yang tengah sekuat tenaga ditahannya. Anak yang tak sampai sepinggang ibunya itu mendongak menatap wajah pucat malaikat itu dengan penuh kenaifan kanak-kanak, menelisik apa yang sebenarnya terjadi lewat air muka namun berakhir tak mengerti barang satupun jawaban.

“Abah telah mati.” Keluguan itu sirna. Gama kecil mengerti artinya kematian dan alasan kepedihan yang ditangkapnya di muka ibunya. Kini bocah ini berdiri di tengah ruang tamu, menatap samurai yang berada di peti merah yang digantung di dinding. “Dan kini, Mbok ikut mati,” dilanjutkannya penuturan dengan suara getir tak tertahan bagaimanapun.

Dilepasnya peci hitam yang bertengger di kepalanya, langkahnya kemudian meninggalkan ruang tamu yang masih beralaskan karpet permadani pinjaman masjid untuk rumah yang tengah berduka, melewati Mbah Kahar yang duduk bersila di dekat pintu―keheranan melihat gelagat Gama yang tak ada aroma berkabung sedikit pun padahal baru saja ditinggal mati ibunya.

“Bukan main, tengah mengandung si jabang bayi.” Celotehan ibu-ibu pelayat yang kegemaran desas-desusnya mengalahkan kemampuan anjing melolong menyapa pendengaran Mbah Kahar, membuatnya tersadar bahwa Gama telah ditinggal mati ibu dan calon adiknya.

***

            “Jika pun bukan dengan menggigit putus urat leher Ganapatih, bocah itu pasti menusuknya dengan samurai yang ditentengnya sejak siang bolong tadi.” Jayanegara tak terima selengkapnya dengan pembelaan Mbah Kahar atas tuduhan pembunuhan ganas Gama terhadap Ki Ganapatih.

            Cerutu tua Mbah Kahar tidak jadi menyentuh mulut si empunya, berganti ke tatapan heran mata berkeriput itu ke arah Jayanegara. “Samurai apa yang dimaksudkan itu?”

            Tak perlu dijawab pun semuanya tahu samurai yang dimaksudkan adalah samurai tua yang pernah menjadi si jago yang dielu-elukan sebagai andalan dari ayah Gama, samurai tua yang dianggap jimat oleh keturunan dari dua generasi sebelumnya.

Mbah Kahar segera memburu motor bebeknya yang terlentang dekat batang cokelat, lalu berusaha mengengkolnya sekuat tenaga, mesinnya memang selalu begitu, susah hidup dan sekalinya hidup untuk mati lagi. Kemudian ada kesempatan mesin menyala dengan suara menderu keras, Mbah Kahar langsung melompat dan menahan gas kencang dan kembali membuat suara menderu-deru serta menimbulkan kepulan asap hitam di belakang akibat mesin yang telah terlampau usang. Meski motor ini sering ngadat dan mengeluarkan suara yang lebih pekak daripada suara genset tua milik Pak Lurah, motor ini tetap menjadi kesayangan Mbah Kahar―barangkali karena adanya cerita manis di baliknya atau hanya karena tak punya cukup uang untuk membeli gantinya.

            “Tak usah diambil pusing, Mbah. Tak menangis berarti ia memang tak sedih.” Begitu kata salah satu pelayat pada Mbah Kahar di sore selepas Ibu Gama diistirahatkan di liang lahat.

            Ibu Gama memutuskan untuk menyusul suaminya ke nirwana, mengadu nasib kesengsaraannya pada penghuni-penghuni surga, dan dengan membawa si kecil yang hanya tinggal dua minggu lagi akan lahir ke dunia―namun tak jadi karena sang ibu terlalu merindukan surga. Maka jelas Mbah Kahar terpikir kondisi Gama setelah tahu bahwa bocah ingusan itu yang memergoki badan ibunya menggelantung di langit-langit kamar pagi-pagi selepas subuh.

            “Aku tak marah,” jawab Gama setelah Mbah Kahar mengatakan padanya bahwa ia boleh marah dan sedih. Bagaimana pun nasib yang amat pilu ini telah membuatnya menjadi sebatang kara di usia yang bahkan belum genap satu dasawarsa. Meski demikian, jawabannya terdengar getir tanpa emosi. Mbah Kahar yakin bocah ini masih terkejut atas kematian hari ini sebab anak ini pun pasti tak menyadari kehadiran malaikat maut bertengger di bahu ibunya.

            Menelisik isi kepala bocah di depannya, Mbah Kahar kembali terbayang saat badan wanita paling cantik di kampung ini kaku di lantai ruang tengah rumah ini pagi tadi, tenggelam oleh jarik cokelat yang menggelombang mengikuti besar perutnya sebab tengah bunting. Mbah Kahar telah menyaksikan pertumbuhan Sarinah sejak menjadi gadis kecil dan bagaimana citranya di seluruh penjuru kampung sebagai gadis yang cantik memesona selengkapnya, dengan kulit seputih susu dan senyuman manis yang dapat membuat siapa pun jatuh cinta.

***

            “Aku tahu semuanya. Sungguh, sejak awal aku telah tahu.”

            Ki Ganapatih yang berlutut di tanah kebunnya sendiri kini ternganga, menghadap bocah yang tak sampai sebahunya. Pria tua yang amat dihormati kini terlihat tak berdaya di depan bocah yang bahkan mengenakan baju tak layak pakai, saking tak ada orang yang mengurusnya dan memilih bajunya. Napas Ganapatih tercekat bahkan untuk menelan ludah pun rasanya sulit, matanya mulai memanas, tak disangkanya hal yang paling ditakutinya akhirnya tiba hari ini.

            Sesungguhnya sejak berjalan menyeret samurai, tempat ini telah menjadi tujuan utamanya. Bukan hanya sejak pagi ini, tapi sejak kesengsaraan sesungguhnya menghampiri, merenggut kebahagiaan dan orang-orang yang dicintainya segenap napasnya.

            Keliru jika berpikir anak sekecil ini telah memiliki niat bengis untuk menghentikan hidup seorang Ki Ganapatih, walaupun memang kedatangannya telah dianggap oleh Ganapatih sendiri sebagai undangan untuk segera mati. Datang ia kemari, di siang menjelang sore di kebun berisi angsana dan cengkih milik Ganapatih sendiri.

Bukan rahasia lagi bahwa Ganapatih telah lama menaruh atensi pada Sarinah―ibu Gama sejak wanita itu masih muda dan memesona bukan main. Namun seolah tahu akan ada kebengisan dan kesan tanpa moral dari sosok ini, hingga ketertarikan itu tak pernah diterima oleh Sarinah hingga memilih lelaki lain untuk dikawini. Ganapatih semakin kuat hasratnya untuk memiliki Sarinah meski di sisi lain ia telah memperistri orang lain.

            “Kau tusuk Abahku dengan samurai kesayangannya demi bisa memperistri Mbokku. Aku pun tahu yang satu itu, Wahai Ganapatih.” Tangan kurus Gama menggerakkan samurai di tangannya, menunjukkan bahwa ia masih menyimpan benda celaka ini di kehidupannya.

Tak disangka anak sekecil ini harus mengingat cerita dan realita semenjijikkan ini atas alasan kematian ayahnya, dan ingatan itu dibawanya ke setiap tidurnya sepanjang tahun-tahun terakhir ini demi bisa mengingat semuanya dengan baik seiring dengan pertumbuhannya, agar tak mati ayah dan ibunya dari benaknya.

Ganapatih terisak, bahunya naik-turun sementara badannya tertunduk saat kedua kakinya masih berlutut, dan tangannya yang kapalan karena rajin berkebun belakangan ini tengah meremas ujung singlet kekuningan yang dikenakannya.

Adalah fakta bahwa Ganapatih meminang Sarinah selepas merenggut nyawa suami wanita ini, bahkan saat masa idahnya akibat cerai mati belum tuntas. Dan kenyataan ini membuat istrinya membuncah, sebab meniduri banyak wanita tidak sama dengan menikah lagi.

“Kemudian istrimu membuat Mbokku dipanggil pelacur bahkan germo dengan entah fitnah apa yang disebarkannya,” Gama menusuk jantung hati Ganapatih lewat ucapannya. Masih tak ada setetes air mata, barangkali kesengsaraan ini telah membunuh jiwanya.

Entah fitnah macam apa dan didapatnya dari mana, istri Ganapatih membuat kehidupan Sarinah semakin menderita dengan isu-isu mengerikan hingga seluruh kampung kemudian menyebut Sarinah sebagai Si Janda Cantik dengan bisikan tambahan, “dia bisa dipakai.”

“Tidakkah kau berutang maaf dan moral padaku, Ganapatih?”

***

            Di sinilah Mbah Kahar, di depan gubuk gelap yang sedikit remang oleh cahaya bulan. Gubuk ini telah lama ditinggalkan, oleh karenanya dihuni lebih banyak cicak dan codot daripada manusia.

            “Bukan aku, Mbah. Bukan aku yang membunuhnya,” lontar Gama begitu ditangkapnya Mbah Kahar di ambang pintu bambu yang tinggal setengah akibat disantap rayap.

            Mbah Kahar mendekat seraya melipat tangan―udara dingin seperti malam ini sesungguhnya tak baik untuk badannya yang tinggal tulang karena dimakan waktu. Duduk tepat di sebelah Gama yang membungkuk sambil melipat kakinya, perhatian Mbah Kahar tertuju pada samurai rongsok yang tergeletak menyedihkan dengan bercak darah ayah Gama yang telah kering pun masih kentara.

            “Telah lama aku menunggu bisa cukup besar untuk menemuinya macam hari ini.” Suaranya yang baru pecah akibat pubertas kini semakin pecah karena tercekat berusaha menahan sesuatu untuk keluar. Gama meremas jari tangannya sendiri hingga memerah. “Tak ada maksudku membunuh orang, Mbah. Sekalipun orang itu telah membunuh milikku.”

            “Ganapatih mati sendiri. Barangkali karena malu terhadapmu.”

            Memang benar bahwa akibat malu dan merasa bersalah, Ganapatih memilih mendatangi Tuhan sendiri. Meski lebih bengis dari segala hantu, Ganapatih masihlah memiliki nurani, dan merasa bersalah pada anak tak berdosa ini adalah salah satu bentuk kemurnian hatinya. Tak disangkanya Gama mengerti, mengingat semua insiden terjadi saat anak ini masih terlalu kecil untuk mengerti. Kenyataan bahwa Gama mengetahui sedetail itu, membuat Ganapatih merasa memanglah ia harus membayar seluruh dosanya.

            “Aku hanya ingin sebuah permohonan maaf.” Tangisan yang selama ini ditahan karena tak mau semakin kalut, kini pecah juga. Ternyata bukan karena tak berperasaan, namun anak ini masih menanggung ketidakberdayaan sendiri untuk mencerna dan mendapatkan apa yang dicarinya: permintaan maaf.

            Tangan keriput itu meraih bahu Gama si bocah sebatang kara yang jelas tampak melemah ke dekapannya, mengusap pelan namun tak berkata apa-apa, sebab ia tahu kata-katanya takkan berguna setelah beban besar yang ditanggung anak ini selama hampir setengah hidupnya. Dekapannya semakin erat begitu terdengar pengumuman dari masjid yang memekik tentang pemakaman Ki Ganapatih yang akan dilakukan esok pagi.

            “Abah dan Mbokku mati, Mbah. Dan calon adik yang kutunggu-tunggu pun telah mati.” Isak Gama semakin menjadi-jadi, seakan tangis menyesakkan ini akhirnya bisa lepas.

            “Ya. Tapi kau masih hidup. Hidup terus berjalan, Nang.”

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami