RENJANA EN KRASSEN

Dita Reista Nurfaiz

Suasana pagi di Passer Baroe perlahan berselimut kabut dingin. Bukan karena masih pagi buta, saat itu bahkan sudah pukul 9. Jadi, mungkin saja itu pertanda akan turun hujan. Ya, mungkin saja. Seorang Gerji[1] manis bernama Renjana pun tak luput dari akibatnya. Ia tetap berjalan walau pandangan sedikit buram. Bersama dengan Nyonya dan Mpok Lela, seorang Baboe[2], mereka berlari pelan menuju sebuah toko tekstil. Di sana, Nyonya sendiri yang akan memilihkan kain. Kain itulah yang nantinya disulap oleh Renjana menjadi gaun indah nan cantik. Yah, meskipun tak jarang ada ketidakcocokan dari kain pilihan Nyonya dengannya. Mau bagaimana lagi, sebagai seorang pembantu, Renjana hanya mengangguk untuk mengiyakan. Apapun perintahnya, Renjana siap laksanakan.

“Saya bosan, Mpok,” ucap Renjana pada Mpok Lela.

“Kamu ini, sudah syukur dikasih waktu istirahat sebentar sama Nyonya, tapi masih bisa berkata demikian?!” jawab Mpok Lela kebingungan.

Pasalnya Renjana benar-benar merasa bosan. Ia melihat sekelilingnya berjalan tanpa ada warna. Maksudnya, hanya Nyonya yang dilihatnya menawan dengan pakaian hasil karyanya. Ia pun berandai, bisa saja hasil karyanya yang lain dikenakan orang-orang sekitar. Imajinasinya semakin berkembang. Renjana membayangkan para Noni Belanda mengenakan gaun rancangannya dan berjalan gemulai di sekitaran Passer Baroe, yang adalah kawasan tanpa pernah sepi pengunjung.

Tekad itu dibulatkannya sungguhan. Renjana dengan giat menggoreskan pensil untuk mendesain gaun-gaun yang menawan. Selembar demi selembar akhirnya terkumpul, pun dengan desainnya yang dulu Renjana pernah buat. Tinggal bagaimana Ia memolesnya sedikit lebih baik.

Ia kembali ke Passer Baroe, menjajakan desainnya ke toko tekstil, konfeksi satu dan lainnya. Namun, tak satu pun yang menerima ide-ide Renjana. Ia hampir putus asa, dan ditambah hujan yang tiba-tiba mengguyur seakan turut mengamini kesedihannya. Renjana memilih menepi di teras toko terdekat, adalah toko tekstil impor bernama B&Y. Dari etalase luar toko, Ia melihat gaun-gaun yang dipajang dengan sangat epiknya di dalam sana. Terlihat sangat elegan. Sementara desain gaun Renjana masih tak sempurna pikirnya.

Rupanya, ada seorang pria jangkung dalam toko yang diam-diam memerhatikan Renjana. Ia, seorang keturunan asing, sedang melihat seorang gadis pribumi yang hampir basah kuyub di sekujur tubuhnya. Karena tak tega, si pria itu memperbolehkan Renjana masuk.

“Masuk, masuk sini tidak apa,” kata si pria jangkung.

Melihat pria itu yang adalah orang asing, Renjana menjawab dengan Bahasa Belanda khasnya, “Nee, meneer. Ik ben gewoon hier,” (Tidak, Tuan. Saya di sini saja).

“Bahasa Belanda-mu bagus, sangat mengagumkan,” balas si pria.

Renjana hanya terdiam mendengarkan, tanpa membalas satu pun kata.

“Jangan khawatir! Bilang saja kau datang bersamaku kalau ada yang bertanya,” tambahnya pada Renjana.

Lantas Ia menyabet paksa kertas-kertas yang ada di tangan Renjana dan dibawanya ke dalam. Renjana pun akhirnya mengikuti. Si pria jangkung itu melihatnya sepintas dan langsung terbuai dengan desain dari Renjana.

“Tuan, saya mohon maaf. Saya hendak meminta kembali kepunyaan saya itu,” pinta Renjana dengan muka polos.

“Ini sungguh luar biasa. Apa ini semua benar kau sendiri yang buat? Sungguh menakjubkan! Dengan tangan semungil itu bagaimana bisa membuat sesuatu yang semengagumkan ini?!” pujinya pada Renjana.

Renjana sangat terhormat mendengar pujian itu, sekalipun masih merasa takut ada sesuatu yang lain di balik keramahtamahannya. Ia lalu perlahan menceritakan tujuan dari membuat desain-desain, dan juga kegagalannya di hari ini.

Si pria jangkung mendengarkan ceritanya seksama. Ia lalu memperkenalkan diri sebagai anak pemilik toko, Dagoberto. Tuan Dagoberto tanpa pikir panjang ingin memberi kesempatan baik untuk Renjana. Ia diperbolehkan bekerja di toko B&Y sebagai desainer tanpa nama. Hal ini juga telah dipikirkan oleh Renjana sebab masih terikat sebagai pembantu di rumah Nyonya. Renjana akan diam-diam mengirimkan desainnya setiap kali berkunjung ke Passer Baroe. Itu tidak lama, karena Nyonya seringkali pergi ke Passer Baroe untuk berbelanja ini itu ataupun sekedar berbincang dengan nyonya-nyonya lainnya.

Hari-hari pun berlalu. Perlahan tapi pasti, dari goresan desain Renjana kian berubah menjadi barang pasar yang diminati banyak orang.

“Bianglala,” ucap Renjana tiba-tiba.

“Mana ada barang seperti itu di sini?!,” jawab Dagoberto yang duduk di sampingnya, dekat bantaran sungai di bawah jembatan Passer Baroe.

“Bukan, yang kumaksudkan bianglala di sini adalah pelangi. Lihatlah, Berto! Di sekitaran kita jadi lebih banyak warna,” ungkap kekaguman Renjana sambil melihat sekelilingnya.

Ia menyibakkan kaki ke sungai. Arah pandangannya pula tertuju ke segala penjuru dan yang selalu membuatnya bisa bangga terhadap diri sendiri.

Mellihat senyum hingar bingar Renjana, Dagoberto mengelus rambutnya dengan manis sambil melontarkan kata-kata.

“Di Schouburg[3] seberang sana, bisa saja karyamu terpampang megah di dalamnya,” kata Dagoberto.

Renjana terdiam dengan bualan khayalan itu. Ia saja sudah merasa cukup melihat banyak orang terkesan dengan karya-karya yang Ia buat. Tapi sebenarnya, ada rasa belum puas dari diri Renjana. Perkataan Dagoberto dianggapnya benar, karena sesuatu tidak ada yang tidak mungkin. Asal ada usaha dan tekad yang bulat dan benar.

Nyatanya, tak berselang lama dari itu, impian-impian tinggi Renjana dan Dagoberto harus pupus di tengah jalan. Tidak, itu bahkan belum dimulai. Yang dilakukan oleh mereka hingga saat itu masih berupa pengantar ke babak utama.

Ketika Renjana sampai di rumah, tiba-tiba saja Nyonya melempar vas ke arahnya. Ia lalu dicambuk di bagian kaki tanpa ada alasan yang jelas. Kulitnya pun tergores hingga berdarah. Nyonya sangat marah ketika mengetahui desainer tanpa nama yang diagung-agungkan oleh seantero orang di Rijkwikstraat[4] itu rupanya adalah Renjana. Ia sangat iri dengan popularitas Renjana yang melebihi dirinya. Memang benar Nyonya adalah pemilik rumah ini, seorang wanita inlander[5] yang dididik penuh dengan gaya Eropa. Namun, rupa daripada dirinya sangatlah jauh dengan Renjana. Renjana yang meskipun adalah gadis pribumi tulen, tapi Ia berparas manis dan berkulit langsat bersih. Tak jarang pula banyak orang yang baru berjumpa salah menduga Renjana sebagai Nyonya rumah. Itu adalah awal dari ketidaksukaan Nyonya pada Renjana.

“Ini adalah hukumanmu! Kau akan tinggal di gudang sini dan biar Mpok Lela beri makan sehari sekali,” ucap lantang Nyonya.

Seperti biasa, Renjana hanya menurut pada majikannya itu walaupun tidak melakukan kesalahan satu pun. Apa daya?! Ia hanyalah seorang Gerji lusuh yang tak punya kuasa, bahkan untuk dirinya sendiri. Selain disekap, Renjana dipaksa juga untuk mendesain kebaya dan pakaian Eropa dalam jumlah yang banyak.

Dalam ruangan sempit tanpa jendela itu Renjana terus melakukan tugasnya. Kalau saja Mpok Lela tak datang menemuinya untuk membawakan makanan, maka Renjana pun tidaklah tahu apakah hari itu pagi atau siang ataupun malam hingga larut.

Namun, keadaan di luar sana masihlah sama tanpa memerdulikan apa yang terjadi dengannya. Nyonya muda itu diam-diam melobi sesama rekan nyonya lainnya dan menggiring opini bahwa dialah si desainer tanpa nama. Respon orang-orang jelas saja percaya, mengingat pakaian yang Ia kenakan selalu sangat menarik mata. Kini, popularitas berporos pada Nyonya muda. Ia menjadi terkenal bahkan hingga ke telinga para pejabat ternama. Hal itu juga yang menjadi batu sandungan suaminya untuk bisa menduduki jabatan yang lebih tinggi di internal pemerintahan Hindia Belanda.

Pada saat itu Dagoberto sedang di negeri Belanda untuk mengurus beberapa persoalan bisnisnya. Secepat dari kepulangannya, Ia lalu mendatangi rumah majikan Renjana di saat sedang sepi. Mpok Lela yang mengenalnya baik berusaha membantu dengan mempertemukan mereka.

Di saat pintu kayu itu terbuka, betapa terkejutnya Dagoberto melihat kondisi Renjana yang memerhatikan. Kurus kering hanya dalam waktu seminggu dan mata berkunang-kunang terpancar jelas pada diri Renjana. Banyak mimpi yang terkubur, mengobarkan waktu tidur serta putus asa yang kembali menegur. Itulah kondisi Renjana yang membuatnya pingsan seketika di hadapan Dagoberto.

Kala peluk terbuka, Renjana melihat langit-langit rumah berbeda dari biasanya.

“Kau sekarang di kediamanku. Kau aman di sini, jadi beristirahatlah,” pinta Dagoberto pada Renjana.

Ia berbaring di kasur yang empuk, dan sekali lagi Ia memejamkan mata kembali.

Kebungkaman Dagoberto selama ini akhirnya memuncak juga. Ia tidak lagi berdiam diri dan memilih untuk melaporkan Nyonya atas perbuatannya. Nyonya yang sebelum itu diketahui telah melapor ke Kepolisian dan beberapa opsir sudah menyebar untuk mencari Renjana, kembali berbalik arah untuk menangkap dirinya. Nyonya ditangkap di kediamannya yang bak kastil itu.

“Kalian tidak bisa menangkap saya! Saya Nyonya rumah ini dan dia hanya Gerji!” jawab Nyonya mengelak.

Niet![6] Renjana tidak lagi seorang Gerji sekarang, tapi adalah Nyonya Martinez. Mulai saat ini, Renjana sudah secara hukum adalah istri saya,” tegas Dagoberto yang datang menghampiri Nyonya.

Nyonya tidak bisa berkutik apapun lagi dan jabatan suaminya juga tak mampu menolongnya. Kedudukan sosial keluarga Martinez memang tak sembarang dapat diadu dengan yang lain. Yang tersisa hanyalah Nyonya yang meronta dan memohon untuk dibebaskan.

Renjana dan Dagoberto berhasil melalui persoalan-persoalan dan menyatukan perasaan mereka. Keduanya mengembangkan usaha bersama lagi di dunia fesyen dan bahkan berhasil menjadi pioner diadakannya pentas busana jalanan di Passer Baroe.


[1] Pembantu bidang perjahitan dalam rumah tangga masa Hindia Belanda

[2] Pembantu utama perempuan

[3] Gedung Kesenian Batavia pada zaman Hindia Belanda

[4] Kawasan sekitar Passer Baroe atau yang sekarang adalah Jl. Majapahit, Jakarta Pusat

[5] Keturunan campuran Eropa dengan pribumi

[6] Tidak

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami