Saat-Saat Terakhir Mayor Fransisco Soledad

Sigit Candra Lesmana

Begini rasanya menunggu kematian, tenang, damai, seakan terbebas dari beban yang sangat berat. Sebuah batu besar yang selama ini menindih tengkuknya, seakan diangkat begitu saja meninggalkan rasa ringan dan lega. Aneh sekali, tak ada rasa takut sedikitpun seperti yang banyak orang perkirakan. Hanya saja, mengecewakan.

            Mayor Fransisco Soledad duduk termenung di atas ranjang besinya. Dia tak bisa tidur malam ini. Beberapa jam lagi saat fajar tiba dia akan digelandang ke tiang gantungan. Sinar biru bulan purnama menyusup masuk ke ruang tahanan melalui sebuah lubang fentilasi kecil berbentuk persegi yang terletak jauh di atas dan dipasangi tiga buah teralis besi.

            Tak seperti hari-hari sebelumnya, saat pikirannya terus berkecamuk dan dihantui rasa cemas yang teramat sangat. Terutama pada hari saat dia dijatuhi hukuman gantung. Dia didakwa berkhianat terhadap negara saat menentang rencana komandannya untuk menyerang sebuah desa kecil yang hanya dihuni oleh para petani jagung.

            “Maaf komandan, penyerangan ke desa ini tidak akan memberikan keuntungan apa-apa bagi pasukan kita dalam perang ini!” tegas Mayor Fransisco Soledad menentang rencana komandannya saat rapat strategi.

            Sang komandan menggebrak meja dengan sangat keras ketika mendengar bantahan dari Mayor Fransisco Soledad. Merasa dipermalukan, tanpa pikir panjang, sang komandan yang lalim langsung menyuruh Mayor Fransisco Soledad untuk melucuti dirinya sendiri. Dia lalu memerintahkan anak buahnya yang lain untuk menggelandang sang mayor ke dalam tahanan.

            Segala bentuk pengabdian yang dipersembahkan untuk negara seakan runtuh tepat di depan wajahnya. Dia pernah hampir mati karena mendapat beberapa tembakan di sisi perut kirinya saat memimpin pasukan dalam sebuah perang, tapi dia tetap bertahan hidup demi bisa berjuang lebih lama untuk tanah airnya.

            Kenangan lain juga terpatri ketika dirinya harus terkulai lemas di sebuah tenda tempat pasukannya mendirikan markas sementara. Sendi di seluruh tubuhnya nyeri, dia tak bisa berbuat apa-apa selain berbaring karena terserang penyakit tropis bernama Malaria. Lagi-lagi dia berhasil bertahan hidup karena semangat juangnya untuk negara. Namun, segala jasa dan keberuntungannya di masa lalu tak mampu menyelamatkan dirinya dari hukuman mati sang komandan.

            Berbagai memori masa lalu biasa berkelindan di benak orang yang sesaat lagi akan menemui ajalnya. Dari sekian banyak kenangan, hal yang paling jelas terpatri adalah kenangan masa kecilnya. Dia memiliki seorang sahabat, Armando Diaz namanya.

            Fransisco Soledad dan Armando Diaz terkenal sebagai karib yang tak terpisahkan sejak kecil. Di sekolah mereka selalu sekelas, begitu juga saat mereka bermain mereka selalu satu tim. Bahkan mereka dikenal sebagai duo stiker haus gol saat bermain sepakbola bersama anak-anak lain di desa.

            Pernah sekali waktu kedua anak nakal itu bermain-main dengan alpaca milik peternak tua berjenggot tebal di desa sebelah. Armando Diaz mencoba untuk menunggangi alpaca putih yang tak terlalu tinggi. Sebelum bisa duduk dengan mantap, alpaca itu tiba-tiba bergerak dan membuat tubuh Armando Diaz terjungkal dan mendarat dengan bagian kepala terlebih dahulu.

            Akibat benturan yang cukup keras, Armando Diaz langsung tak sadarkan diri. Fransisco Soledad panik, tak ada satu pun orang dewasa di dekat mereka saat itu. Orang tua berjanggut tebal sedang berada jauh di luar desa. Tak ada pilihan lain, Fransisco Soledad harus menggendong temannya itu ke rumah Dokter Emmanuel yang berjarak empat kilo meter.

            Saat mengingat pengalaman itu, tubuh Mayor Fransisco Soledad bergidik. Dia amat bersyukur tiba tepat waktu di rumah Dokter Emmanuel meskipun dengan susah payah. Terlambat sedikit saja, Armando Diaz mungkin sudah menjadi hantu.

            Persahabatan karib mereka terus berlanjut hingga dewasa. Isu tentang perang yang melibatkan negara mereka semakin santer terdengar ketika mereka duduk di sekolah menengah atas. Lulus sekolah, mereka pun sama-sama memutuskan untuk masuk ke dunia militer.

            Suara jeruji besi yang terbuka membuyarkan lamunan Mayor Fransisco Soledad, tiga orang sipir membuka pintu selnya.  Cahaya mentari yang baru saja terbangun perlahan masuk ke dalam sel.

            “Sudah waktunya, Mayor,” ucap salah seorang sipir itu tanpa mengurangi rasa hormat.

            Mayor Fransisco Soledad berdiri dengan tenang. Para sipir itu lalu memborgol tangannya ke arah belakang, lalu membawanya menuju tiang gantungan yang terletak di tengah-tengah konpleks penjara.

            Tiang gantungan itu berdiri tegak. Besinya terlapisi karat yang cukup tebal, menandakan tiang gantungan itu sudah tua dan sudah menunaikan banyak tugas. Mulai dari perompak besar di laut timur, tawanan perang, tawanan politik, hingga bandit legendaris pernah meregang nyawa di tiang gantungan itu.

            Mayor Fransico Soledad memandang dengan khidmat tiang gantungan yang sesaat lagi akan menjadi tempat terakhirnya menghembuskan nafas. Dirinya sama sekali tak merasa takut meskipun jarak ajal sudah tinggal sejengkal. Tak ada rasa cemas dan gundah, hanya ada rasa kecewa.

            Masih dengan tangan terborgol ke belakang, Mayor Fransisco Soledad menaiki satu demi satu anak tangga menuju tambang berayun-ayun yang akan menjerat lehernya sebentar lagi. Saat tambang itu terkalungkan ke lehernya, Mayor Frasisco Soledad menatap komandannya yang duduk dengan angkuh, menonton eksekusi dari kursi kebesarannya.

            Tatapan merendahkan dilempar sang komandan pada Mayor Fransisco Soledad. Tatapan itu memantik rasa kecewa dan mengubahnya menjadi api amarah dalam hati sang mayor yang sedari tadi tenang bagai lautan tak berombak.

            “Keparat kau, Armando Diaz,”  teriak Mayor Fransisco Soledad sesaat sebelum lantai kayu di bawah kakinya terbuka dan lehernya terjerat tambang.

            Sang komandan, Kolonel Armando Diaz hanya tersenyum sinis melihat tubuh Mayor Fransiso Soledad tergantung bagai sekarung pasir di tiang eksekusi.

Lamongan, 9 Desember 2022

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami