Telur, Susu dan Kalajengking

Pius Katon Jatmiko

Rembulan membulat sempurna di atas sana. Cahaya kuning keemasannya menyelisik melalui celah-celah dedaunan pohon yang berjajar di sepanjang jalan perkampungan. Halimun tipis memenuhi langit malam – membuat suasana kampung semakin mencekam. Aroma tanah yang bercampur kemenyan menguar di udara, menyambangi setiap rumah di Banyutirta.

            Seminggu sebelum pemilihan kepala desa dilakukan, seluruh calon tidak boleh melakukan kampanye lagi. Hal ini ditujukan supaya suasana desa sedikit tenang dan tidak memancing pertikaian antar warga. Di tengah gelapnya malam, suara ketukan pintu terdengar di setiap telinga pemilik rumahnya. Sekelebat bayangan hitam terlihat meninggalkan rumah warga dengan langkah kaki yang begitu cepat. Mereka memilih mengabaikan suara ketukan tersebut dan tidak menggubris untuk membukanya. Mereka tahu, orang-orang suruhan Djagad, Darso dan Darmadi sedang melakukan tugasnya.

Surti yang memiliki rasa penasaran sangat tinggi memberanikan diri untuk mengintip melalui celah jendela rumah. Terlihat olehnya pria dengan wajah terbungkus sarung seperti seorang ninja berdiri di depan rumahnya. Surti terkejut saat matanya bertemu dengan mata laki-laki yang sekarang tengah menaruh bungkusan plastik di depan pintu. Sorot mata pria itu seketika menajam, sambil meninggalkan rumah Surti ia menunjuk lehernya sendiri sembari membuat gerakan yang dimengerti oleh Surti sebagai tanda peringatan untuknya.

***

Bulan emas meninggalkan tempat peraduannya tatkala kokok ayam jago mulai terdengar. Matahari perlahan merangkak naik ke atas dari kaki langit timur, sinarnya yang diikuti oleh kehangatan menerobos melalui celah-celah jendela. Menyapa warga Banyutirta yang masih bergelung di kemul lusuh dan kasur yang mulai kempes.

Lasmi yang sejak subuh tadi sudah bangun mendapati dua bungkus plastik di depan rumahnya. Satu berisikan telur kurang lebih dua kilogram dan yang satu berisikan empat botol susu sapi yang masing-masing botol berisikan setengah liter. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri – memastikan tidak ada yang salah pagi itu, diambilnya dua bungkusan tadi, lantas dibawanya segera ke dapur. Ia tahu, plastik berisi telur tadi milik Djagad, sedang plastik berisi susu milik Darso. Loh bagaimana ini, aku kira Darmadi akan memberikan beras. Beras di rumah tinggal sedikit lagi. Wah memang tidak modal Darmadi ini!

Saat hendak membuat telur dadar, aroma busuk menguar dari telur yang dipecahkan oleh Lasmi. Putih telurnya sudah sangat encer, sedang kuningnya berbau tidak sedap. Lasmi menutup hidung sambil menahan muntah. Sialan, telur busuk seperti ini diberikan kepadaku. Memang asu Djagad ini.

“Asu, apa maksud Djagad memberikan telur-telur busuk ini!” suara Yu Pon terdengar dari seberang rumah Lasmi. Lasmi yang mendengar umpatan Yu Pon beranjak meninggalkan dapur dan pergi menuju rumah Yu Pon yang hanya enam langkah dari rumahnya.

“Wah, punyamu juga bosok, Yu? Sialan betul si Djagad ini. Dikira karena kita orang miskin kita boleh menerima barang rongsokan seperti itu!” Suniah yang kebetulan lewat depan rumah Yu Pon menimpali.

“Memang bangsat dua orang itu. Susu pemberian Darso juga basi. Baunya kecing, untung anakku tadi belum sempat meminumnya!” jawab Dasiyah yang tiba-tiba muncul di rumah Yu Pon.

“Memang keparat dua orang itu! Dipikir kita orang miskin terima diperlakukan seperti itu! Kalau memang tidak mau memberi ya sudah tidak usah! Kalau begini harga diriku seperti diinjak-injak!” Lasmi yang sejak tadi emosi akhirnya bersuara sambil menggebrak meja.

“Ada apa ini ibu-ibu? Kok ramai betul?” sekarang giliran Surti yang ikut menimpali kerumunan pagi itu.

“Ini loh, Sur. Telur dan susu yang ada di depan pintu kami semuanya tidak layak konsumsi. Memangnya kamu tidak dapat?”

“Loh tidak layak bagaimana, Yu? Kurang banyak begitu, toh?” jawab Surti membuat mereka berang.

“Bukan begitu loh Sur, telur milik Djagad itu sudah busuk semua. Susu sapi punya Darso juga sudah basi, baunya sudah tidak enak! Ini sama saja penghinaan, Sur!” jawab Lasmi ketus.

“Aku belum membuka bungkusan-bungkusan itu, ibu-ibu. Tapi aneh ya juragan ayam sama juragan sapi kok ngasihnya seperti nggak niat gitu. Apa mereka sudah bangkrut?” jawab Surti.

“Aku tidak peduli mereka bangkrut atau apa, tapi ini sama saja penghinaan toh! Ayo kita ke rumah Djagad dan Darso saja! Aku nggak terima diperlakukan seperti ini oleh mereka. Meskipun aku wong cilik tapi aku masih punya harga diri!” usul Yu Pon kepada mereka.

Matahari beranjak naik ke tempat peraduannya. Pagi itu, dengan amarah yang membara di hati masing-masing, perempuan-perempuan Banyutirta melangkahkan kaki menuju rumah Djagad. Rumahnya tak jauh dari balai desa, setelah mengunjungi rumah Djagad mereka akan meneruskan ke rumah Darso. Begitu rencananya.

Para leluhur sepertinya sedang berpihak kepada mereka. Di tengah perjalanan menuju balai desa, mereka bertemu dengan Djagad. Djagad tidak berjalan sendirian, di belakangnya beberapa lelaki dengan pakaian berwarna serba putih mengekor mengikuti arah langkah kaki Djagad. Dengan wajah yang garang mereka menatap kumpulan ibu-ibu yang sekarang sudah berdiri di depan juragan mereka.

“Hei Djagad, apa maksudmu memberi kami telur-telur busukmu!” ucap Lasmi dengan garang. Sepersekian detik Djagad tampak terkejut, ia membenarkan posisi pecinya lantas berdeham.

“Anggap saja itu sebagai sedekah dari keluarga saya. Kemarin peternakan kami baru saja panen. Hasilnya juga lumayan, daripada mubazir saya sekeluarga memutuskan untuk memberikan kepada warga Banyutirta,” jawab Djagad penuh wibawa. Ia tersenyum dengan alis terangkat satu.

“Masalahnya, Gad, Djagad. Telur yang kamu kasih ke kami busuknya minta ampun. Sudah tidak layak dikonsumsi. Kalau memang ingin dipilih di pilkades nanti ya paling tidak telur-telur bagus yang kamu kasih! Mau kalau keluarga kami keracunan? Terus mati, terus tidak ada yang memilih kamu di pilkades nanti?” kini Yu Pon yang menjawab. Setiap kata dilontarkannya dengan penuh tekanan terutama di bagian kata ‘mati’.

“Astagfirullah, busuk bagaimana toh ibu-ibu? Semua telur yang saya berikan itu kualitas super. Sudah dipastikan semua layak konsumsi!” sanggah Djagad dengan suara sedikit meninggi.

“Kualitas super dari Hongkong! Busuk ini loh, Gad! Sur, kamu bawa telur-telur tadi? Bawa ke sini, kita buktikan ke pemiliknya langsung!” Lasmi menyuruh Surti untuk membawa telur miliknya yang belum sempat ia buka.

Tanpa menunggu aba-aba, Lasmi mengambil telur milik Surti lantas memecahkannya di hadapan Djagad. Seketika aroma busuk menguar menyambangi cuping hidung mereka. Semua orang yang berada di sana seketika menutup hidung. Beberapa bahkan ada yang tak sanggup lagi menahan mual.

“Wah ada keributan apa ini?” Darso yang tak sengaja lewat bersama dengan rombongan pendukungnya memutuskan untuk mampir di tengah kerumunan. “Astaga, bau apa ini? Busuk sekali! Ini telur dari kandangmu, Gad?” tanya Darso sembari mencibir.

“Ibu-ibu saya turut prihatin atas kejadian ini! Lebih baik, telur-telur yang ibu-ibu terima dibuang saja. Atau lebih baik dikembalikan kepada si pengirim,” Darso mengatakan hal tersebut sambil menatap Djagad dengan tatapan penuh kemenangan.

Pagi itu matahari beranjak naik tepat di atas kepala mereka. Ketiga kubu sekarang saling berhadapan, siap untuk memuntahkan segala bentuk amarahnya. Orang-orang Djagad sudah bersiap untuk mengirimkan tinju kepada anak buah Darso. Begitu pula orang-orang Darso – yang berpakaian serba merah, siap untuk melemparkan batu yang berada di sekitar sana kepada rombongan baju putih di depannya.

“Aduh, lebih baik kau diam saja, Darso! Susu ibumu itu, juga basi. Kalian berdua sama saja, sama-sama gendeng!” ujar Lasmi dengan sorot mata penuh amarah. Darso terkejut mendengarnya, ia memandang ibu-ibu yang baris di depannya dan seketika itu juga mereka menganggukan kepala tanda menyetujui pernyataan Lasmi.

“Eheem, hanya orang pengecut yang menyuruh anak buahnya membuka tutup botol susuku supaya keesokan harinya basi!” ucap Darso menuduh Djagad.

Djagad yang jelas-jelas dituduh oleh Darso merasa tidak terima. Ia menggulung lengan bajunya dan berdeham menyiapkan serangan balik, “Aku tidak ingin menuduh, tetapi aku curiga ada orang yang iri dengki sehingga menukarkan telur-telurku dengan telur busuk yang bisa didapat di belakang Pasar Banyutirta. Cih, begundal munafik!”

“Ucapanmu itu fitnah, Dar! Mulutmu seperti tidak disekolahkan!” jawab Djagad dengan emosi yang membara.

Ibu-ibu yang sejak tadi kompak untuk mengeluhkan permasalahan terkait telur dan susu kini bungkam. Keringat mengucur dari dahi mereka, beberapa dari ibu-ibu tadi menahan dengkulnya supaya tidak bergetar saat peristiwa menegangkan yang sedang berlangsung berada tepat di depan matanya. Lasmi dan Yu Pon sebagai pemimpin mereka pun tak kalah takut, mereka sembunyi di barisan belakang sembari mengusap keringat dingin di telapak tangan.

Orang-orang semakin gelisah. Pasukan berbaju putih sudah siap memasang kuda-kuda terbaik mereka, sedangkan mereka yang memakai pakaian merah sudah siap mengambil batu dari mana saja. Melihat keadaan yang semakin memanas, beberapa ibu memilih lari terbirit-birit meninggalkan tempat kejadian.

“Wah, Juragan, ucapan si Darso ini sudah kurang ajar!” anak buah Djagad tak tahan mendengar bosnya dihina. Mereka sudah ancang-ancang menarik baju anak buah Darso. Namun, Darso menenangkan mereka. Ia menatap sekeliling seperti mencari sesuatu untuk menyerang Djagad. Seekor kalajengking tampak di bawah batu yang diambil oleh anak buah Djagad. Darso tersenyum licik.

“Kau lihat kalajengking itu? Aku bersumpah, jika anak buahku yang mengganti telur-telurmu menjadi telur busuk, aku akan mati disengat kalajengking!” ucap Darso tegas dan penuh amarah. Anak buah Darso bersorak saat juragan mereka selesai mengatakan sumpahnya. Ia tersenyum puas.

“Tapi, kalau ternyata anak buahku tidak menukar telur-telurmu, maka kalajengking beratus-ratus jumlahnya akan menyengatmu sebagai gantinya!” lanjut Darso.

“Baik, aku tidak takut dengan tantanganmu. Lagi pula siapa yang benar akan selalu dilindungi oleh Allah!” jawab Djagad tenang, ia menghela napas beberapa kali sambil tersenyum kecut.

***

Seminggu berlalu dengan hawa penuh amarah. Berbagai pertikaian terjadi di setiap sudut Desa Banyutirta. Mulai dari adu mulut hingga adu jotos antar pendukung ketiga calon terjadi di hampir setiap. Namun, di antara ketiganya, pendukung Darmadilah yang sedikit tampak tenang.

Ada empat bilik suara berbahan seng berjejer rapi di tengah balai Desa Banyutirta. Tiga kotak suara diletakkan di masing-masing bilik dengan nomor urut yang sudah disesuaikan. Suasana semakin riuh saat pagi menjelang siang. Para pendukung masing-masing calon berdiri di pintu masuk. Anak buah Darso dan Djagad memberikan amplop berisi pecahan seratus ribu kepada setiap pemilih sambil menunjukan seringai mereka. Sedangkan pendukung Darmadi, mereka memberikan nasi kotak berisi nasi kuning, telur balado, telur ayam, dan ayam goreng. Tak lupa sebotol kecil susu kedelai diberikannya kepada warga setempat.

Menjelang maghrib surat suara sudah hampir selesai di hitung. Papan tulis yang sudah usang menampilkan goresan berbentuk garis dengan kapur di atasnya. Di atas papan tulis tersebut, Darmadi memimpin jumlah suara dengan selisih yang cukup jauh dari kedua calon lain. Darso dan Djagad saling bertatapan. Aneh.

***

Pagi itu, setelah pemilihan kepala desa selesai dilaksanakan dengan penuh pergolakan, Darmadi siap menyambut hari sebagai kepala desa baru. Namun, Desa Banyutirta seperti tidak diperbolehkan untuk beristirahat sejenak dari carut marut kehidupan. Saat kabut masih berembus melewati rumah-rumah warga, suara jeritan Marda – istri Darmadi – terdengar begitu memilukan. Tanpa menunggu aba-aba warga Desa Banyutirta menuju rumah Darmadi dan langsung berkerumun di depannya. Marda masih menangis sambil memanggi-manggil nama suaminya. Beberapa pria masuk ke dalam rumah dan menemukan tubuh Darmadi yang terbujur kaku di kasurnya. Badannya biru, mulutnya mengeluarkan busa, beberapa bagian tubuhnya dipenuhi oleh luka. Tepat di samping tubuhnya ditemukan kalajenging kurang lebih sepuluh ekor.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami