Akhir Pekan di Ibukota

Oleh: Asep Sukirman

 

Di tengah malam yang pekat, sepasang kekasih tengah pergi dengan mobil. Pria yang menyetir fokus melihat jalan. Wajahnya tegang namun dipaksa untuk tetap tenang. Kekasihnya duduk mengangkat kaki ke atas jok, memeluk lutut, menenggelamkan wajah menahan tangis, dengan harapan agar malam segera berakhir.

Si pria menghentikan mobilnya di sisi jalanan yang tiada tanda-tanda kehidupan manusia. Hanya tikus-tikus got yang hilir mudik mencari tempat istirahat bersama angin malam yang menusuk tulang belulang. Gelap lagi sunyi. Dua sejoli berada dalam ketakutan, dan penyesalan, dan mereka tahu serta sadar, bahwa penyesalan adalah kenangan yang amat menyakitkan. Namun, malam ini harus segera diselesaikan. Keputusan sudah bulat. 

“Tunggu sebentar!” Kata si pria keluar lalu membuka pintu belakang. Diambilnya kardus bekas yang tertutup. Dengan segera menyeberang jalan tergopoh-gopoh dan tanpa pikir panjang langsung menyimpan kardus itu di sisi jalan. Dua sejoli pergi meninggalkan bayi mungil yang tengah pulas tertidur di dalam kardus. Alangkah hitam putih hidup yang tak pernah terduga.

***

Sabtu pagi yang cerah di Ibukota, artinya akhir pekan telah tiba. Orang-orang mulai menyusun rencana liburan setelah lima hari ke belakang bergelut dengan dunia kerja yang formal. Ada yang sudah terjadwal, ada pula yang serba instan. Tidak sedikit yang masih tidur atau sekedar bermalas-malasan. 

“Hari ini ada jadwal?” Tanya Pak Siak kepada lawan mainnya setelah memindahkan gajah terang ke petak c4. Terpampang di atas papan catur pembukaan terkenal, Italian Game

“Tidak ada,” Jawab lawannya malas seraya memindahkan gajah gelap ke c5. “Lebih tepatnya belum ada, kawan.” Lanjutnya menopang dagu. Mereka bermain catur di teras warung kopi di pinggiran jalan.

Terkakak-kakak Budi di dalam gerobak sampah yang ditarik Bundanya. Tak henti Budi bercakap-cakap, tertawa, bertanya ini dan itu yang hanya bisa diterjemahkan oleh Bunda seorang. Hampir satu tahun usia Budi dan setiap harinya berkeliling Ibukota bersama Bunda memungut sampah-sampah untuk dijual. 

“Budi….” Panggil Pak Siak melambaikan tangan ketika Budi dan Bundanya lewat. Pak Siak membeli beberapa makanan dan minuman untuk mereka. 

“Bilang apa?!” Seru Bunda merayu Budi. “Makasih, Paman.” Lanjutnya menjawab sendiri. Lawan catur Pak Siak senyum-senyum kecil melihat kawannya itu bermain mengangkat-angkat Budi naik turun. 

***

Azan zuhur berkumandang. Gerobak sampah Bunda terparkir di teras masjid. Di tempat solat khusus perempuan yang tertutup, Bunda melakukan solat. Budi yang duduk di depan, tersenyum dan tertawa, kepalanya naik turun mengikuti gerak Bundanya yang rukuk, berdiri, sujud, dan duduk. Terus seperti itu hingga salam tahiyat terakhir. Selesai salam, Budi merangkak cepat ke pangkuan Bundanya ingin dipeluk. Bagi Bunda, inilah definisi bahwa kebahagiaan itu sederhana. 

Waktu merupakan sesuatu hal yang penting. Kesempatan yang ada adalah sebuah anugerah bagi siapa yang mampu mengambilnya. Bagi Bunda, kesempatan bersama Budi setiap waktu, setiap saat, lebih berharga daripada sesuatu apapun. 

Dalam perjalanan menuju asar, Bunda menunjuk gedung pencakar langit dan memberitahukan kepada Budi, “itu namanya gedung”. Lalu menunjuk pohon-pohon dan memberitahukan lagi kepada Budi. Menunjuk mobil, segala macam jenis mobil, “Lihat, Budi, mobil sedan; Wah, mobil molen; Mobil truk; Mobil polisi, Budi, ada mobil polisi. Siap, Pak Polisi!” Budi tergelak, Bunda bahagia. 

Azan asar berkumandang. Diparkir gerobak sampah di sisi musola. Budi duduk tenang, kepalanya naik dan turun melihat Bundanya solat. Selesai salam, Budi merangkak cepat ke pangkuan Bunda. Bunda menciumi kening dan rambut Budi seraya membacakan doa. 

Sepanjang sore hari, Bunda dan Budi telah berkeliling dipenuhi canda dan tawa. Tawa Budi adalah kekuatan buat Bunda. Lembutnya kulit Budi adalah ketenangan hati Bunda. Hembusan nafas Budi adalah kehidupan Bunda. 

Magrib tiba. Gerobak sampah terparkir rapi di teras masjid. Bunda solat berjamaah dan Budi duduk tenang di depan. Kepalanya kembali naik turun melihat Bundanya solat. Hanya Bunda yang dilihat oleh Budi dari sekian jamaah perempuan. Selesai salam, seperti biasa, Budi merangkak cepat ke pangkuan Bunda.

“Budi memang begini, Bu.” Jawab Bunda tatkala ditanya oleh yang lain.

Selepas isya, Bunda beranjak pulang.

***

Diparkirnya gerobak sampah di sisi jalanan yang tiada orang lalu-lalang, senyap dan sepi. Angin malam turut membuat dedaunan saling bergesekan. Dipakaikan untuk Budi jaket bomber bekas. Jaketnya kebesaran, seukuran dewasa, karena didapat dari bongkahan tempat sampah. 

Bunda duduk memangku Budi. Dipasrahkan punggungnya menyentuh pohon. Kedua tangan melingkari tubuh Budi yang masih asyik terjaga dengan celotehan-celotehannya yang hanya mampu diterjemahkan oleh Bunda seorang. Tingkah Budi membuat hilang semua lelah dan letih Bunda seharian penuh. Namun, itu tak cukup mampu menyembuhkan kantuknya yang teramat. Sekian lamanya waktu tak pernah berhenti. Mata Bunda perlahan mengatup, menyamarkan pandangannya pada si Budi. Hanya telinga yang masih terjaga ketika mata tak lagi kuasa. Namun, jiwa manusia dalam kuasa-Nya, sunatullah adalah bentuk kebijaksanaan Tuhan.

“Andai Bundamu punya banyak uang, Budi, akan selalu Bunda belikan jaket yang pas untukmu. Tidak akan pernah kebesaran seperti ini lagi.” Bunda pun tertidur pulas.

Saat tidur Bunda di puncak lelapnya, adalah datang mobil Ferrari merah yang mendekat dan berhenti di depan gerobak sampah. Di dalamnya pasutri, pasangan suami istri. Pintu kiri terbuka, keluar sang istri membawa cek tunai dan secarik kertas, disimpan di depan Bunda, ditindih oleh batu agar tidak terhembus angin. 

***

Satu tahun berjalan. Sabtu pagi yang cerah di Ibukota, akhir pekan telah kembali. Orang-orang mengisi liburan dengan berbagai cara dan acara. Lima hari ke belakang merupakan kesibukan yang sama dan berulang, melelahkan, di dalam dunia kerja yang formal. 

“Pagi ini ada jadwal?” Tanya lawan catur Pak Siak seraya membuka permainan dengan pion d4. 

“Tidak ada.” Jawab Pak Siak seraya mendorong d5. Lawannya membalas mendorong c4, pembukaan gambit menteri. “Tahu sendiri hari-hariku adalah di masjid, kawan. Azan lima kali sehari, menyapu mengepel masjid, membayar listriknya, mengganti lampunya yang mati. Ya, selain di masjid kau sendiri tahu aku ini seorang__”

Pengangguran! Ya, itu yang akan kau katakan, bukan?” Pak Siak terdiam, kawannya pun diam. Saling diam. Sementara tangan keduanya terus memindahkan buah catur sesuai teori. 

“Ada yang salah?” Pak Siak memecah keheningan.

“Tidak, kawan, tentu saja tidak ada. Hanya saja kau seperti merendahkan diri sendiri dengan status itu. Pekerjaanmu adalah seorang takmir masjid, dan itu__”

“Marbot!”

“Baiklah. Pekerjaanmu sebagai marbot itu adalah pekerjaan yang sangat mulia. Bersyukurlah, kawan. Tapi aku tidak ingin membahasnya, ada yang ingin aku ceritakan.” 

“Tentang?” 

“Bundanya Budi.” 

“Ceritakanlah!” 

Dialog keduanya dibarengi dengan bermain catur, memindahkan bidak-bidak catur sesuai teori dan juga langkah-langkah yang presisi. 

“Tahun ini usia Bunda genap enam puluh tahun. Dan Budi, adalah anak yang dilahirkan oleh Bunda, meskipun tanpa Ayah.”

“Ya, tahu. Korban kejahatan, lebih tepatnya pelecehan.” 

“Tapi, jauh sebelum itu, Bundanya pernah memungut seorang bayi di dalam kardus. Terjadi tiga puluh tahun yang lalu.” Pak Siak terkejut, terpaku, sehingga membuatnya tak bisa berpikir jernih dan melangkahkan bidak secara autopilot. 

“Anda lengah, kawan, ini skakmat dalam tiga langkah.” Pak Siak menyesali langkah blundernya dan menyerah. Keduanya menyusun kembali bidak-bidak catur ke susunan awal.

“Apakah bayi itu dicuri lagi?” Tanya Pak Siak.

“Kawan, aku akan mengajakmu ke suatu tempat.”

***

“Ini kan Bundanya Budi?” Tanya Pak Siak.

“Ya.” 

“Sering ke sini?”

“Selalu. Tahukah, kawan, Bunda kecil tidak pernah sekolah dan dia tidak pernah bisa membaca, karena memang tidak pernah belajar membaca. Sehingga kertas bertuliskan, anakmu aku ambil, ini cek seratus juta sebagai gantinya, ditinggalkan begitu saja. ” 

“Tapi ceknya hilang, kan?”

“Oleh tangan jahil. Bagi Bunda, tidak ada yang lebih berharga selain Budi, kawan.”

“Mari kita doakan.” Seru Pak Siak seraya menengadahkan tangan memimpin doa diikuti kawannya meng-aamiiin-kan. Mereka berdoa di samping pusara Bunda Budi.

***

Sabtu sore yang tenang di Ibukota, akhir pekan yang dinantikan. Di teras warung kopi, Pak Siak dan kawannya kembali bermain catur. Permainan dibuka dengan Sicilian Defence.

“Kawan, kau belum menjawab pertanyaanku.” Pak Siak menyela.

“Tentang?”

“Bayi yang kau ceritakan.”

“Ah, iya, aku lupa, kawan. Maafkan.” Sambil cengengesan. “Kawanku, bayi itu kini telah berusia tiga puluh tahun, seorang pekerja kasar, dan dia duduk di hadapanmu, sebagai lawan caturmu.” 

***

 


Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami