Utang Pernikahan

Oleh: Joni Halawa

 

Yang berbahagia atas nama Aekhula Putra Halawa, anak tunggal pasangan Sozisokhi Halawa (sudah berkeluarga dipanggil Ama Ndaono) dan Nibenia Lase (dipanggil Ina Ndaono). Punya dua anak, Aekhula nomor dua, tapi disebut ‘tunggal’ karena anak pertama tak diakui lagi. Ndaono itu kabur ke seberang pulau dan melimpahkan semua utang pernikahannya pada orang tua. Habis manis sepah dibuang. Semua nomor keluarga besar dia blokir, tak ada lagi yang tahu dimana Ndaono dan istrinya berada. Anak durhaka.  

Akhirnya, oh, akhirnya. Setelah perjuangan panjang, Aekhula menikah. Kisah cinta Aekhula bukan tak berliku-liku. Pernah kenal dan dekat dengan gadis Jawa, tapi tak dapat restu orang tua karena berbeda pulau. Sudah ketemu yang sama pulau, tapi juga tak dapat restu sebab senyum mereka berbeda. Keteduhan senyumnya sama, tapi pada senyum si gadis tak ada tanda salib saat menunaikannya. Sempat putus asa dan mengurung diri di dapur.

Namun, cinta Aekhula mekar lagi akhir tahun 2019, ia semacam dihujani durian runtuh. Paman yang dari kota menelepon kalau ada gadis yang mau kenalan. Di saat yang bersamaan, tantenya yang kebetulan sedang hamil mau mengenalkan Aekhula kepada sahabat lamanya. Lalu, baru saja terjadi, messenger Aekhula berdering, sebuah pesan yang telah lama dia kirim pada seorang gadis di dunia maya akhirnya dapat balasan. Ada banyak gula di hadapan semut, tapi Aekhula bukan orang yang serakah.

Aekhula pernah membaca pepatah kuno, bahwa yang mengejar kelinci kedua-duanya akan kehilangan kedua-duanya. Aekhula menjadi sangat serius sejak kabar-kabar itu, ia tak mau diganggu oleh siapa pun sebab dirinya tengah bergumul pada Tuhan. Jawaban datang dari pencarian, memilih salah satu berarti melepaskan yang lainnya, Aekhula melayangkan panggilan telepon kepada tantenya.

Tak lama di tepi, kini Aekhula sedang mempersiapkan pernikahan dengan perempuan cantik yang dikenalkan tantenya. Tentu ia tak ingin lagi membandingkan dengan gadis yang dari paman atau yang dari media sosial. Masa depannya sekarang yaitu cinta dan rumah tangga yang bahagia. Sekali-sekali memang terbesit dalam pikiran, apakah pilihannya salah, apakah nanti akan ada penyesalan, atau jangan-jangan semuanya sudah terlambat. Orang bilang janda lebih menggoda, pikir Aekhula untuk menenangkan diri sendiri. 

Mendengar Ama Ndaono sedang mempersiapkan pernikahan anaknya, seorang tetangga yang botak dan sudah lama tak akur tiba-tiba mengunjungi rumah Ama Ndaono, sekitar pukul 6 sore. Yang akan berbahagia, alias Aekhula, sedang mandi waktu itu. Maka yang menyambut Si Botak adalah Ama Ndaono dan Ina Ndaono. 

“Halo, selamat sore menjelang malam. Ama Ndaono, cepat saja, saya tidak punya kepentingan lain, maka tidak perlu buatkan kopi. Dengar-dengar anakmu mau nikah, ya? Bisa bayar utangmu dulu?”

“Masuklah dulu, Pak Beni.” Ina Ndaono yang menjawab. Saat meminjam dulu, Ama Ndaono yang berkompeten karena ia yang paling bisa dipercaya, ia memang kelihatan jujur, mata dan seluruh organ tubuhnya seolah memperlihatkan kejujuran. Namun, saat ditagih, Ina Ndaono yang akan mengambil alih, sebab mungkin karena perempuan, ia punya bakat memelas. 

Dengan sedikit awas, Pak Beni masuk.

Utang itu adalah utang pernikahan Ndaono, tapi karena Ndaono semacam meninggalkan tahi kepada orang tuanya, tentu yang ditagih adalah orang tuanya sendiri. Utang lain sudah lunas, tersisa utang kepada si botak Beni. Secara besaran pinjaman, sebenarnya sudah lunas. Hanya saja karena waktu melunasi sangat lama, bunganya semakin banyak. Bunganya itu yang tak mampu dilunasi. 20 persen. Bahkan bila semua harta berupa tanah digadaikan, tetap itu tak bisa tertebus. 

Itulah yang membuat Ndaono beserta istri tercinta meninggalkan pulau. Malam itu sangat panas dan sepi. Tumben Ndaono membuatkan secangkir kopi untuk ayah tercinta. Ndaono mengatakan bahwa ayah dan ibunya adalah pahlawan. Ia tak ingin meninggalkan orang tuanya, apa pun yang terjadi. Istri mendekat dan meraih tangan ibu mertua, menciumnya berkali-kali. Ama Ndaono dan Ina Ndaono terkejut, merasa geli juga merasa sendu. 

            “Suatu saat nanti, kalian harus membawa kakek dan nenek kalian naik pesawat!” Kepada anak-anaknya Ndaono berucap demikian. Kebetulan anak-anak itu baru kelas 1 SD dan malam itu sedang tak pakai celana, maka untuk menyambut perkataan bapaknya, mereka berdiri di hadapan kakek sambil mengibas-ngibaskan burung mereka. Suasana malam yang sepi menjadi canda tawa, hingga mereka semua terlelap dalam tidur.

            Dini hari ketika Aekhula mau ke toilet, pintu rumah terbuka total. Curiga mulai ada. Ia kaget benar ketika melihat kamar kakaknya sudah kosong. Ia membangunkan ayah dan ibu, dini hari heboh, tetangga juga pada bangun. Ndaono dan keluarga sudah sampai di pelabuhan sebelum matahari terbit. Hendak menyeberang.

Pagi hari dengan kesabaran yang ditinggi-tinggikan, Ama Ndaono menelepon Ndaono. Berdering sekali, lalu tak ada respon pada panggilan berikutnya. Giliran pakai nomornya Aekhula, berdering sekali, lalu tak ada respon pada panggilan berikutnya. Hubungi lagi menggunakan nomor yang lain, hasilnya sama. Kesal dan marah membuat Ama Ndaono murka. Ia mengutuk anak sulungnya dengan kata-kata, dan dengan demikian anaknya kini tinggal satu yaitu Aekhula. 

Setahun kemudian dapat kabar dari angin kalau Ndaono dan keluarga sudah sejahtera di Kalimantan Barat, bekerja di perusahaan kelapa sawit. Istrinya Ndaono tengah mengandung anak ketiga. Berbekal kabar angin itu, Ina Ndaono coba menjawab Si Botak.  

“Ndaono sudah sejahtera, kalau nanti ada pulsa, kami coba hubungi lagi. Ia pasti akan mengirimkan uang. Begitu dia kirim, saya akan datang mengetuk pintu rumahmu dan melunasinya.” Pak Beni tak mau terima begitu saja, sebab sebelumnya juga katanya begitu.

Hari pernikahan terhitung 9 hari lagi. Semuanya dipersiapkan, keluarga sangat sibuk. Ama Ndaono merencanakan latihan 1maena pada hari Minggu nanti. Juga, kerabat-kerabat dikumpulkan untuk saling tolong menolong memberikan pinjaman atau menyusun 2jule-jule. Begitulah kebiasaan adat di daerah itu. Bila nanti yang berbahagia sudah serumah, bertahun-tahun mereka akan membanting tulang untuk melunasi utang-utang pernikahan. Beberapa berhasil, sebagian lainnya gagal. Berhasil artinya mampu bertanggung jawab atas utang itu, anak-anaknya masuk sekolah dan keluarga mereka tetap berbahagia. Gagal berarti tak mau tanggung jawab, contohnya Si Ndaono. 

            Lebih beruntung jule-jule dibanding pinjaman. Jule-jule tak berbunga. Itu semacam investasi tradisional pernikahan di kampung itu. Seperti ciri investasi, yang ditanamkan adalah kejujuran, kepercayaan dan keberuntungan. Hanya saja investor pada kasus ini tak mengalami keuntungan secara materi, uangnya tak naik, tapi ia mendapat keuntungan lain yaitu dihargai sepanjang rangkaian acara pernikahan. Orang yang mau terlibat jule-jule biasanya karena terlibat budaya balas budi, cerita lama dan kisah yang tak terlupakan. 

Muka sekeluarga bersinar pada pernikahan Aekhula karena jule-jule sudah mampu mem­-backup semua biaya pernikahan, ditambah dengan tabungan Aekhula. Jadi tak perlu lagi meminjam uang. Berbekal itu pula, Ina Ndaono meneruskan kalimatnya.

            “Dan tak usah khawatir, Pak Beni. Utang kami pada Pak Beni tetap menjadi prioritas. Kami tak susah lagi pada pernikahan Aekhula, sebab jule-jule sudah cukup. Perhatian kami tak akan terbagi. Pernikahan berjalan, utang kepada Pak Beni akan lunas.” 

            Jurus memelas Ina Ndaono kali ini tak tembus. Segala teknik lidah ludah tak dapat dipercaya.

            “Tidak malu ya berkata begitu, Ina Ndaono?”

            “Pak Beni…”

            “Ama Ndaono kok diam saja, datang meminjam bawa muka, ditagih buang muka.”

            Ama Ndaono dirinya di situ, tapi seolah ia tak mendengar semuanya, ia fokus merokok.

            “Pokoknya saya tidak mau dengar alasan apa lagi. Bayar utangmu sekarang, Ama Ndaono. Anakmu sudah menikamati kebahagiaan pernikahan, tapi seolah tak malu meninggalkan utang.”

            Ama Ndaono tersinggung. Asap rokok yang mengepul di udara itu sama sekali bukan kabar baik. Bentuknya macam-macam. Ama Ndaono lihai membentuk asap rokok mengepul sesuai kehendak bibirnya. Ina Ndaono tak bicara lagi. Mati kamus.

Dalam pada itu, Aekhula baru saja pulang mandi. Handuk masih melilit bagian bawah tubuh, bagian atas telanjang. 

            “Ehhh, ada om botak…”

            Pak Beni murka dipanggil botak. 

            “Mau menagih utang, ya?” Lalu dia menutup satu jendela. Rokok Ama Ndaono sudah mau habis.

            “Bunganya 20 persen, ya?” 

            “Itu utang pernikahan abangmu!” Pak Beni mulai tak nyaman, sesuatu yang aneh dirasakannya. 

            “Ohh, utang pernikahan abang saya, ya?” Aekhula pelan-pelan kembali menutup jendela yang satunya. 

            “Wahh, sore-sore begini menagih utang. Mengganggu kebahagiaan orang yang mau nikah, ya?”

            Menyadari yang aneh-aneh akan terjadi, Pak Beni beranjak dari kursi. 

            “Besok saya akan kembali lagi!”

            Namun, Ama Ndaono gesit langkah, lebih cepat dari gerakan Pak Beni yang mau pulang. Dijatuhkannya rokok ke lantai, lalu berlari ke arah pintu dan menutupnya. Pak Beni terjebak di dalam rumah.

            “Apa-apaan ini!”

            Tanpa menunggu aba-aba, Ina Ndaono berlari ke arah dapur. Tampaknya mau mengambil sesuatu. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1Tarian tradisional pernikahan adat di pulau Nias

2Sistem di masyarakat adat untuk saling membantu, tanpa bunga. Contoh: saya akan menolongmu 3 juta untuk pernikahan anakmu, dan uang itu akan kamu kembalikan sebesar 3 juta saat anakku menikah 3 tahun lagi. 


Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami