Bukan Dari Rahim Indo

Oleh: Yusnia Agus Saputri, S.Pd.

 

 

            “Berapa lama kau akan berada di sini, Munira?” tanya Acok saudara laki-lakiku. Ada sirat keprihatinan dari bola matanya, melihatku yang lama terpaku tanpa sepatah kata di latar rumah masa kecil kami. Terlebih lagi jika mengedarkan pandangan ke penjuru bangunan, tak ada orang yang mau tinggal menginap barang semalam pun di sini.

            Aku menghela napas tatkala langkah terayun pelan.

Melewati pagar teras. Mendorong pintu yang berderit kasar dari engsel berkarat. Sejenak menatap setiap benda usang yang tersisa di sana.

Bingkai tanpa potret bergambar. Kusen jendela lapuk dengan tambalan papan yang sama lapuknya. Ada pula kursi tanpa dudukan. 

Masih terasa baru dalam ingatan, tetapi usang dalam pandangan. 

Sewaktu angin berembus melewati pori-pori atap yang bolong, sebesar lubang jamban yang orang terdahulu buat sebelum akhirnya menimbun tai, dinding tak bertambal di sekitarku menyeruakkan bau kayu lapuk yang khas. 

Menyeret satu ingatan ke permukaan. Menayangkan kejadian-kejadian lawas.

            Di ruangan ini, Ambo, Indo, aku dan para saudara laki-laki menutup hari sebelum akhirnya beranjak tidur ke kamar masing-masing.

            Ambo akan duduk sembari menyesap segelas kopi hitam pekat tanpa bubuhan gula. Indo akan menyicil tempahan kain yang dititip oleh pelanggannya demi disulap sesuai model baju yang diminta. Sedang kami bermain di sekitar keduanya hingga perintah untuk tidur diberikan oleh Ambo.

            Ruangan ini pula yang menjadi saksi ketika Ambo membawa pulang bene barunya. Perempuan yang bahkan tak lebih cantik dari ibu kami. Belum lagi usianya terpaut jauh dari Indo. Sudah lah tak cantik, mengapa pula harus janda berumur yang Ambo jadikan madu baginya.

            Meski berusaha tak mengingat ulang kejadian itu, rekamannya tereka dengan sendiri. Ketika kami memasang telinga dari balik dinding kamar yang hanya bersekat papan setinggi dua meter. Kami bisa mendengar pembicaraan orang dewasa yang semestinya tak dikuping oleh bocah ingusan yang belum paham permasalahan orang dewasa, apalagi menyikut rasa.

            “Apa yang kurang dari iyya’, Daeng? Bukankah Daeng sendiri yang pernah berjanji, tak akan ada orang lain lagi setelah Indo-nya Munira tiada. Sudah cukup Daeng membawa anak itu ke rumah ini, harus kubagi kasih sayangku sebagai seorang ibu tanpa pilih kasih kepada Munira dan ana’ urane ta’. Dua anak lelaki yang kulahirkan untukmu.”

            Mataku memanas tatkala kalimat itu meluncur penuh luka dari lisan ibu kami. Setiap bulir yang berembun jatuh, menegaskan kepedihan perempuan yang kupanggil Indo. Sesalku berlapis-lapis, mengapa harus aku yang terlahir dan menjadi pembawa aib itu?

Benar, anak yang kehadirannya terpaksa ia pangku. Sejak masih serupa bayi merah yang kehilangan ibunya dalam bilangan menit setelah lahir ke dunia.

            Aku lah anak perempuan yang lahir dari hubungan gelap Ambo dengan perempuan bernama Mutia yang tak pula sempat kutatap seperti apa rupanya.

            “Anak pungut kau, Munira! Kau dipungut dari bawah pohon pisang beralaskan daunnya.” Hardik Nene’ setiap kali melampiaskan kemarahannya tanpa alasan pasti. 

Dulu kupikir ucapan Nene’ bermakna kebencian belaka sebab aku yang terlahir sebagai ana’ makkunrai diantara dua saudara lelaki yang lain. Nene’ berkata bahwa kelahiran anak perempuan bukanlah suatu kebanggaan dalam keluarganya. Apa yang bisa dilakukan oleh anak perempuan tidak lebih baik dari anak lelaki dalam silsilah keluarga Bugis-nya.

            Benarkah? Hingga kini benakku masih mempertanyakan apakah Nene’ sungguh membenci kelahiranku tersebab takdir mengharuskanku lahir dengan alat reproduksi perempuan, bukannya lelaki. Sebuah takdir yang seolah memberikan perbedaan bagai langit dan bumi diantara keduanya. Atau karena aku lah cucu yang tak pernah ia harapkan, lahir dari madu yang juga baru mereka ketahui ketika Ambo membawaku pulang.

            Rumah ini, separuhnya adalah bangunan luka. Pun separuhnya lagi adalah bangunan yang pernah memberiku cinta, meski keberadaanku sendiri adalah kehadiran yang sempat tak diharapkan.

            Satu-satunya hal yang membuatku bermakna adalah hidup sebagai anak perempuan Indo, sekalipun tak terlahir dari rahimnya.

            Sepanjang ingatan itu melemparku ke masa lampau, Acok hanya diam dari jarak sekian meter, memberiku ruang lebih untuk menuntaskan kerinduan pada sosok Indo; ibu kami. 

Begitupun saat kesadaranku terhentak sebab papan lantai yang kupijak sudah sedemikian ringkih hingga nyaris membuatku terjerembab jatuh.

            “Kau tak apa, Munira?” tanya Acok mencemaskanku.

Bukan karena papan yang lapuk itu hampir menyisakan luka baret di kedua kakiku, tetapi ingatan akan Ambo dan Indo silih berganti menyingkap duka sekaligus kenangan berharga yang ada di sana.

            Ah, andai bisa memutar waktu dari sebelum ruhku ditiup pada janin berusia 120 hari di rahim Mutia, ibuku.

            Jika bisa memilih, akan kupilih kelahiran terbaik agar Indo tak merasakan luka sebab kelahiran anak perempuannya ini. Benih yang sama dari suaminya, kendati tak berasal dari rahim sucinya.

            Tetapi bukankah tak ada manusia yang bisa memilih takdir?

            Entah terlahir sebagai anak perempuan atau anak lelaki. Entah di keluarga mana dan dengan cara apa ia terlahir, sejarah yang bahkan tak bisa dikompromikan pada-Nya yang menetapkan kehidupan.

            Takdir bukan hal yang bisa kita gugat.

 

            Betapa banyak hal yang terjadi di ruangan ini. Kesedihan dan harapan, suka dan duka, cita atau lara, kenangan dan kepedihan, masih merebak dari tiap sudutnya yang berdebu. Barangkali hanya kenangan tentang Indo yang menghidupkan ruangan sepuh di depan mata kami.

            Kursi pojok yang kehilangan kakinya tergeletak tak berdaya. Itu kursi yang pernah memangku lesak tubuh Indo yang duduk di atasnya. Ketika aku yang kala itu meratapi ketidak beruntungan sembari menangis di hadapan Indo.

            “Maafkan Munira yang harus lahir, bahkan hadir di kehidupan Indo dan Ambo.” Sesalku getir.

            Indo menggeleng pelan.

Membelai lembut rambut di kepala gadis yang kala itu hendak pamit meninggalkan rumah. 

Ya, aku berniat meninggalkan rumah yang menjadi saksi bahwa kelahiranku sempat menyematkan lara di hati Indo. Meski setelahnya, aku pula yang mengisi hari-hari Indo dengan tawa bahagia. Seperti apa yang Indo pernah katakan, tak sekalipun ia menganggap hadirku sebagai pengingat luka yang Ambo berikan padanya. Tak sekali ia berkata, bahwa kelahiran dan kematian bukan manusia yang menetapkan.

            Entah benar atau salah jalannya, manusia hanya menjalankan apa yang sudah diskenariokan padanya. Begitu pesan Indo.

            “Setiap kelahiran anak adalah berkah dari Tuhan. Bukan anak yang meminta dilahirkan. Akan tetapi orangtua lah yang menghendaki seorang anak terlahir. Sebab itu, tak ada manusia yang bisa memilih takdir. Bahkan membuat kesepakatan pun tidak, Munira. Yang bisa kita lakukan adalah menerimanya, menjalaninya, dan meyakini bahwa semua yang berlaku sudah guratan takdir yang harus kita lalui. Pahami apa rencana terbaik Tuhan di balik itu semua. Karena sudah pasti, setiap takdir memiliki ketetapan terbaik dari-Nya. Maka jangan kau sesalkan kelahiranmu, Nak. Sebab Indo pun tak pernah membenci adanya Munira sebagai anak perempuanku.”

            Bagaimana bisa perempuan yang bahkan tak pernah mengandung anak yang ia akui sebagai darah dagingnya, mengaku ikhlas menerima buah dari hubungan yang pernah menghujamkan luka pada batinnya?

            “Apa Indo tidak pernah sekalipun membenci, Munira?”

            Indo lagi-lagi menggeleng dengan tegas. Aku ingat betul tatapan matanya, keyakinan yang ia coba hujamkan padaku yang meragukan keberadaan diri.

            “Allah pasti punya rencana sendiri, Nak. Mengapa kelahiranmu sampai kepada kami. Dan mengapa kami yang Allah pilih untuk mengemban amanah itu.”

            “Apa Indo tidak pula membenci Ambo karena membawa Munira pada keluarga ini?”

            Indo menghela napas, sesaat terdiam. Lalu berusaha menghadirkan sesabit senyum di sana, anehnya senyum itu bermakna ketulusan. Tak ada yang Indo rekayasa perkara hati dan penerimaannya.

“Kemarahan dan kebencian semestinya berlandaskan karena Allah. Tak boleh ada kebencian yang justru menarik kita keluar dari jalan Allah, Nak. Kau boleh membenci sesuatu hal, tetapi jangan sampai kebencian itu memadamkan mata air cinta dalam hatimu. Ambo-mu memang bersalah. Akan tetapi yang membuatnya bersalah adalah keburukan yang dilakukan olehnya. Jika pun Indo menaruh benci, semata-mata bukan karena Ambo lah pelaku keburukan itu. Cara salah yang ditempuhnya lah yang layak dibenci, itu pun bukan untuk merutuk takdir, tetapi agar ada pembelajaran yang dapat diambil darinya. Kau paham sampai di sini, Nak?”

            Mataku mengerjap basah. Nalarku tak mencerna baik maksud Indo, sebab hanya orang yang berlapang jiwa lah yang bisa melakoni pilihan tersebut. Barangkali Indo salah satunya, yang meletakkan batasan benci pada ketetapan-Nya semata. 

Benci saja perbuatannya, bukan orangnya.

            “Dan yang terakhir Nak, tak boleh ada kebencian yang justru melahirkan kedzaliman yang lain. Indo tak berhak membenci anak yang terlahir dari kesalahan Ambo-mu. Kau tak salah, Nak. Jangan pernah mengerdilkan diri bahwa kau lah yang bersalah sebab terlahir ke dunia ini. Justru hidupmu adalah bukti kebesaran-Nya. Indo juga belajar menerima ini semua, agar bisa berdamai dengan ketetapan yang dikehendaki oleh-Nya. Tak boleh tidak. Kami yang justru akan berlaku dzolim jika menghukum kelahiranmu sebagai dosa sekaligus aib, sedangkan Allah yang menetapkan demikian.”

            Pappaseng almarhum Indo yang telah mengejawantahkan kebesaran-Nya dalam hidupku. Hidup yang semula kuanggap pembawa lara bagi semua. Akan tetapi hati Indo juga membuka hatiku, bahwa semua yang terjadi tak dalam kendali kami berdua. Baik aku dan Indo, kami adalah perempuan yang tertempa kehidupan untuk memaknai kata ikhlas dan penerimaan yang sesungguhnya.

            Sebab hanya dengan menerima setiap sejarah yang menjadi bagian dari diri sebagai anak manusia, sebagai hamba-Nya, dengan cara itu lah setiap hati yang merasakan kepahitan akan menemui penawar langsung dari-Nya.

 

            Acok menepuk pundakku sekali. Ia mengingatkan kembali waktu keberangkatan pesawat hanya tersisa dua jam lagi.

            Aku mengangguk pelan. 

Kuhirup dalam aroma yang tertinggal di sana, membayangkan sosok Indo, perempuan pemintal ikhlas hingga titik akhir napasnya. Yang beristirahat dalam damai dengan raut wajah tersenyum, bercahaya, dengan tubuh sewangi bau kasturi. (*)   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami