CARA MUDAH HIDUP SUSAH 

Oleh: Kurnia Gusti Sawiji

 

 

            Di dunia ini, di antara langit dan bumi, tidak ada yang tidak dibenci oleh Manusia W. Homo sapiens berjenis kelamin separuh-pria-separuh-senjata-termonuklir itu, melalui serangkaian percobaan dan pengalaman, menyimpulkan bahwa dunia dengan penciptaan sedemikian rupa yang jauh dari kesempurnaan hanya melahirkan kebencian demi kebencian, dan memang tindakan saling membenci itu jauh lebih mudah dari saling mencintai. Ketika dirinya sudah mencapai usia akil baligh, dia menyadari bahwa begitu banyak hal yang dapat dibencinya dengan mudah: teman-teman seusianya yang mudah puas hanya dengan mencari ular atau memanjat plafon sekolah atau menonton video biru, guru-gurunya yang mengajar seperti seorang gembala yang menggiring onta-onta tersesat, atau orang tuanya yang tidak bisa membedakan antara bertengkar dan bersanggama. Kini, di usianya yang hampir 30 tahun, dia menemukan satu hal lagi yang mudah dibenci, yaitu dirinya sendiri. 

            Tetapi pola pikir dan cara pandang itu berubah ketika tetangga sebelah rumahnya menggelar hajatan. Abu Shoe Jack (bukan nama sebenarnya) yang merupakan salah satu tokoh masyarakat di RT tempat Manusia W tinggal memang memiliki seorang anak gadis yang akan menikah dengan seorang pria dari Kota Tangerang. Sebagai tokoh masyarakat dengan calon menantu yang ciamik, tidak bisa tidak, hajatan harus digelar meriah, tidak peduli kalau rumahnya yang sebesar kaleng sarden itu untuk dijadikan sepatu saja sudah tidak cukup. Alhasil, hajatan digelar di depan rumahnya yang menghadap pertigaan jalan, memakan semua akses masuk dan jalan di depan empat rumah sekaligus, termasuk rumah Manusia W dan keluarga. Di situlah pola pikirnya berubah: bahwa seluruh kebenciannya terhadap seisi semesta harusnya difokuskan untuk memusnahkan Abu Shoe Jack dan hajatan keparatnya.

            “Tentu kau memahami diagram Maslow, alternatif hierarki kebutuhan hidup dalam ilmu psikologi?” yang bertanya itu adalah Kiwari, seorang pria buncit, hitam, berkacamata, berambut keriting, dan satu-satunya manusia di rumahnya yang tidak dia benci. 

            “Tentu saja. Dalam diagram Maslow, puncak dari kebutuhan hidup bukanlah sandang atau pangan atau papan sebagaimana kita tahu, tetapi aktualisasi diri,” balas Manusia W. 

            “Berdasarkan definisi Goldstein ataupun Maslow sendiri, aktualisasi diri merupakan sebuah upaya merealisasikan potensi ataupun unsur diri menjadi suatu manifestasi fisik—sesuatu yang aktual.”

            “Artinya, jika aku bisa mengerahkan segala kemampuan dan kebencianku untuk menghancurkan acara hajatan Abu Shoe Jack, aku telah berhasil mencapai hierarki teratas kebutuhan hidupku.”

            “Dan kehidupan seseorang akan mencapai tingkat kemudahan tertinggi ketika semua kebutuhan hidupnya sudah tercapai,” simpul Kiwari.

            Maka dalam rangka menciptakan pembenaran terhadap rencananya menghancurkan acara hajatan Abu Shoe Jack, Manusia W terlebih dahulu merumuskan beberapa alasan mengapa acara hajatan itu patut dihancurkan. Tentu, tidak akan ada yang mau menerima tindakannya, kalau dia mengaku bahwa dia melakukannya semata-mata untuk mengaktualisasikan kebencian-kebenciannya. Beberapa alasan itu adalah:

  1. Acara hajatan digelar di pertigaan jalan yang merupakan akses keluar masuk RT, sehingga siapa pun yang ingin keluar dari RT 04 harus berputar dulu ke RT sebelah,
  2. Acara hajatan digelar dengan menjadikan pekarangan rumah Pak Puji (nama lengkap: Puji Syukur Ke Hadhirat Tuhan Yang Maha Esa—bukan nama sebenarnya) yang berada di depan rumah Abu Shoe Jack sebagai tempat peletakan barang rongsokan dan parkiran, tahu betul bahwa empunya rumah kini lebih sering berada di kecamatan Tigaraksa,
  3. Acara hajatan digelar dengan memainkan lantunan shalawat menggunakan pengeras suara yang sember dan intoleran, padahal tiga keluarga di RT 04 beragama Kristen. 

            Sebenarnya dia berniat membuat genap seratus alasan, tetapi dari kejauhan terdengar suara parau seorang wanita manula. Itu adalah suara ibunya. Dan ya, sebagaimana semua pria berusia hampir 30 tahun yang masih hidup bersama ibu mereka, Manusia W sangat menyayangi ibunya. Tutur kata beliau selalu membuatnya kuat, ungkapan-ungkapan beliau selalu membuatnya termotivasi, dan tindakan-tindakan beliau selalu membuatnya merasa harus bangkit dan melakukan suatu perubahan.

            “Hei, bangsat. Saya mau tidur, bukannya sudah saya suruh kau untuk menutup semua jendela, hah!?” ujar ibunya ketika dia masuk ke kamar beliau. Keadaan gelap, tetapi sosok kurus kering itu terlihat sedang berbaring di dipannya. 

            “Iya, sedang kulakukan, Bu.”

            “Bangsat, anjing kurap! Kalau bukan gara-gara kau mendengkur malam tadi, saya sudah bisa tidur pulas! Sekarang ketika si pantat Abu itu mau hajatan, baru saya bisa tertidur! Anak haram, menyusahkan orang saja kau, sama seperti bangsat ayah kau yang sudah mampus itu! Mau berapa lama kau sembunyi di balik ketiak ibu kau yang sudah renta ini, hah!? Ketika teman-teman seusia kau sudah menikah, memiliki pekerjaan, kau masih netek saja sama ibu kau. Bangsat, sana kau!”

            “Baik, Bu.”

            Sungguh, Manusia W sangat menyayangi ibunya.

            Seusai memastikan rumahnya sudah kedap suara, Manusia W kembali kepada rencana besarnya menghancurkan acara hajatan di balik jendela-jendela yang sudah ditutupnya. Ada banyak alternatif sebenarnya, tetapi dia ingin menemukan cara yang paling mudah dan paling tidak dapat dideteksi, supaya orang-orang dibuat gelagapan saat acara itu sudah menjadi abu secara harfiah. Hanya dengan berbekal bolpoin dan kertas, dia mulai merencanakan kehancuran itu. Kiwari ada di sebelahnya, menikmati ubi goreng bersama secangkir kopi hitam. Dalam segala rencananya, Kiwarilah yang biasa menjadi penasihatnya.

            “Ada minyak tanah kan, di gudang? Buat bom molotov saja, pakai kain bekas,” saran Kiwari. Manusia W tampak berpikir keras.

            “Tapi jendela semua kan sudah kututup. Pun kalau misalkan kubuka sedikit jendela lalu kulemparkan molotov, jarak di antara aku sebagai pelempar dan target terlalu dekat, sehingga berbahaya untukku,” terangnya. Kiwari mengangguk-angguk.

            Bagaimana kalau kau melempar dari atap? Bukankah di atapmu ada sebuah celah yang mana tanganmu muat keluar masuk?” saran Kiwari lagi.

            Pada saran ini Manusia W berpikir agak keras, lalu berkata, “Itu saran yang bagus, tetapi terakhir kali aku coba memanjat masuk ke ruang atap menggunakan tangga lipat, aku malah meruntuhkan plafon gara-gara tidak muat masuk ke celah menuju atap.”

            “Tidak apa-apa, bukankah kau sudah berdiet? Anggap ini sebagai uji hasil dietmu selama dua minggu,” pungkas Kiwari. Manusia W diam, namun akhirnya setuju. Lantas, Kiwari pun mengambil tangga lipat dan bahan-bahan molotov, dan mereka berdua memanjat ke ruang atap. Rupanya, diet yang dilakukan Manusia W membuahkan hasil: tidak kurang dari lima menit, mereka berdua sudah berada di ruang atap yang beralas beton, celah terlihat di hadapan mereka, langsung menghadap ke atas tenda hajatan Abu Shoe Jack.

            Manusia W berpikir kembali tentang apa yang baru terjadi pada dirinya. Setidaknya sejak awal tahun ini, apa yang dihadapinya adalah rentetan kegagalan. Kegagalan demi kegagalan. Gagal menembus wawancara, gagal memasarkan usaha kursus yang dibangun ibunya, gagal mengikuti lomba menulis novel yang sudah ingin dia ikuti sejak tiga tahun yang lalu, gawainya rusak dan harus meminjam uang lagi ke adiknya yang sudah bekerja sebagai guru, gagal, gagal, dan gagal. Tetapi pada usaha kali ini, sebuah usaha yang didasarinya dengan kebencian, dia dapat melaksanakannya dengan begitu mulus. Berarti memang inilah aktualisasi diriku, pikirnya. Dengan melontarkan molotov yang sedang disiapkannya ini, dia akan mengaktualisasi segala kebenciannya, dan dari sanalah mungkin dia akan mulai mengetahui bagaimana rasanya hidup yang enak, nikmat, dan mudah.

            Molotov dilempar.

            Tenda terbakar.

            Orang-orang berseru dan menjerit, pengeras suara dimatikan, para peserta hajatan terlihat menyala-nyala. Terbakar, berkobar. Kelak mereka akan hangus. Rumah Manusia W adalah rumah dua tingkat, dua kali lebih tinggi dari rumah Abu Shoe Jack. Di ketinggian itulah dia dan Kiwari berada. Sembari mendengarkan lagu Wonder of You oleh Elvis Presley yang diputarnya melalui gawai barunya, Manusia W menikmati pemandangan itu. 

            Sampai dia kembali mendengar jeritan seorang wanita manula.

            “Hei! Bangsat! Apa-apaan ini!? Kebakaran! Kebakaran! Di mana kau!? Ada kebakaran di bawah kita! Bunga-bunga saya! Bunga-bunga saya ikut terbakar! Tolong, tolong!”

            Itu adalah suara ibunya. Dan ya, sebagaimana semua pria berusia hampir 30 tahun yang masih hidup bersama ibu mereka, Manusia W sangat menyayangi ibunya. Dan ya, sebagaimana semua orang yang menyayangi ibunya, dia panik ketika mendengar hal itu dan berusaha melihat ke bawah. Tetapi tidak bisa. Celah tempat dia mengeluarkan tangannya hanya cukup untuk tangannya, sehingga dia pun menendang-nendang dinding semen di sekitar celah itu sampai retak. Tetapi tidak bisa juga. Akhirnya dia kerahkan seluruh kekuatannya untuk mendobrak dinding retak itu. Satu, dua, tiga, dobrak!

            Dinding runtuh. Jatuh bersama puing-puing semen adalah Manusia W. Dia bisa merasakan jatuhnya terjadi dalam gerakan perlahan, atau slow motion, sembari lagu Wonder of You oleh Elvis Presley yang diputarnya melalui gawai barunya berlantun sederhana. Dia menengok ke arah jendela tingkat dua rumahnya, dan dilihatnya ibunya, seseorang yang sangat dicintainya, menunjuk-nunjuk kepada dirinya dengan gerakan bibir menyerupai sumpah serapah. Hanya menyerupai, tetapi pasti bukan. Karena Manusia W yakin, aktualisasi kebenciannya, aktualisasi dirinya telah berhasil, dan dia telah menuntaskan segala kebutuhan hidupnya sampai hierarki teratas. Orang-orang yang telah terpenuhi segala kebutuhan hidupnya adalah mereka yang layak mengecap semua kemudahan yang ditawarkan hidup.

            “Tetapi tentu kau memahami bahwa cara paling mudah untuk membuat hidupmu susah adalah dengan terus menjalaninya, bukan?”

            Manusia W menoleh. Itu suara Kiwari. Tetapi tidak dilihatnya Kiwari di mana-mana. Masih sambil mencari-cari Kiwari, pria buncit, hitam, berkacamata, berambut keriting dan berusia hampir 30 tahun itu pun pecah kepalanya menghantam jalan dan ikut menari-nari bersama api yang menyala-nyala.

 

Tangerang, Juni 2023

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami